Setelah memahami syair lagu tersebut dengan seksama, ternyata ketiga stanza itu menggambarkan rangkaian cerita perjalanan bangsa Indonesia yang diimpikan oleh sang pencipta lagu WR Soepratman. Stanza I adalah harapan ketika bangsa ini belum merdeka. Jadi isinya menggambarkan ajakan kepada semua pihak untuk bersatu sehingga bisa merdeka atau mendirikan Indonesia Raya. Stanza II menggambarkan rasa syukur setelah bangsa ini bisa merdeka, yaitu: bangga memiliki tanah air Indonesia dan berdoa (bekerja) agar bangsa Indonesia bisa bahagia (sejahtera) serta perilaku bangsa ini selalu terjaga. Stanza III berisi keinginan, ketika bangsa Indonesia sudah mapan, maka semuanya diharapkan mau berjanji untuk tetap bersatu. Dimana di versi 1958 itu, kata “bersatu” diganti dengan kata “abadi”. Hanya saja refrainnya cuma satu, yaitu menyerukan “merdeka-merdeka” yang disembunyikan dibalik kata moelia-moelia.
Artinya, selama ini kita hanya menyanyikan lagu ndonesia Raya yang stanza pertama saja. Apakah stagnannya (muter-muternya) kondisi Indonesia saat ini, terkait dengan syair lagu Indonesia Raya ini ? Karena jelas, “doa yang kita panjatkan” setelah Indonesia merdeka tetap sama, yaitu semua harus bersatu agar Indonesia ini bisa merdeka, yang artinya bebas dari bangsa penjajah. Padahal cita-cita merdeka itu sejak 17 Agustus 1945 sudah berhasil diwujudkan.
Pekik sehari-harinya atau dalam acara-acara resmi juga sama saja, yaitu: merdeka-merdeka-merdeka. Merasa aneh tidak ? Ini sebenarnya sudah saya rasakan sejak lama, sehingga di artikel saya kalau ada pekiknya, saya buat yang berbeda: Indonesia Kompak-Indonesia Sejahtera-Indonesia Jaya.
Walaupun kemudian kalau ada pertanyaan tentang penggunaan pekik “merdeka” ini, ada yang menjawab: kita belum merdeka sepenuhnya, kita juga ingin merdeka dari kemiskinan, ingin merdeka dalam berkumpul dan berserikat, ingin merdeka dalam beribadah, dll. Yang sebenarnya kalau kita renungkan, itu maksudnya bukan merdeka lagi, tetapi SEJAHTERA. Karena bangsa yang sejahtera itu akan bebas dari kemiskinan, bebas dari penindasan, bebas dari bencana, bebas dari rasa ketakutan, dll.
Jadi seharusnya setelah “doa” Indonesia Raya stanza I tercapai, yaitu Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, maka selanjutnya kita harus mengganti atau merevisi “doa“ kita berikutnya. Kalau kita mengetahui adanya syair berkelanjutan dari lagu Indonesia Raya ini, maka seharusnya sejak merdeka kita mengganti/merevisi syair lagu Indonesia Raya yang ada dengan stanza II, yang intinya menyatakan bahwa Indonesia ini merupakan negara yang diberkati dan kaya. Di sana (Indonesia) ini kita hidup untuk selama-lamanya. Indonesia ini merupakan harta warisan kita semua. Mari kita bekerja sama untuk Indonesia yang sejahtera. Berkembang baiklah negaranya, semangatnya, bangsanya, juga rakyatnya. Jaga kesadaran hati dan akhlak kita semua untuk Indonesia Raya.
Karena setelah merdeka, mimpi bangsa Indonesia berikutnya adalah Indonesia sejahtera, tentunya dalam lagu Indonesia Raya stanza II itu perlu ada perbaikan. Pekiknya (refrainnya) tidak lagi merdeka-merdeka tetapi s’jahtera-s’jahtera. Dengan demikian mimpi bangsa ini terus bergerak maju. Tidak stagnan minta merdeka terus, seolah-olah kondisi negara belum merdeka saja.
Disamping itu, untuk bisa mewujudkan Indonesia yang sejahtera dibutuhkan situasi yang damai. Tidak bisa kalau situasinya gaduh terus. Atau tenang kemudian ramai lagi, tenang kemudian ramai lagi yang datang silih berganti. Oleh karena itu, sebelum meneriakkan pekik sejahtera, kita perlu meneriakkan pekik “damai”, agar bangsa Indonesia bisa tenang terlebih dahulu. Dan, pekik ini bisa kita terapkan di refrain lagu Indonesia Raya sehingga menjadi sbb.:
Sebaliknya, yang semakin nyata justru “perpecahan anak bangsa” terjadi terus, dengan dalih apapun. Kalau seperti ini terus, kapan kita bisa sejahtera ? Karena untuk mencapai kesejahteraan bangsa itu butuh kebersamaan atau kekompakan semua pihak. Tidak bisa jalan sendiri-sendiri.
Kemudian sebagaimana yang terjadi pada Indonesia Raya stanza I, ada yang mengganjal pada Indonesia Raya stanza II ini, yaitu juga pada kalimat kedua, sbb.: “Disanalah Akoe Berdiri Oentoek Slama-Lamanja “.Tampaknya ada yang perlu kita perbaiki dengan penggunaan kata “disana” tersebut. Ini pernah menjadi bahan diskusi kami, mengapa WR Soepratman menggunakan kata di sana? Apakah ketika membuat syair lagu tersebut beliaunya sedang tidak berada di Indonesia atau bagaimana ? Karena kalau kita tetap menggunakan kata “disana”, rasanya ada yang tidak pas dalam jiwa kita. Untuk kemantapan perasaan kita itulah, sepertinya kalimat itu perlu diganti dengan “Kami bangga memilikinya dan kan menjaga slamanya”. Sehingga syair lengkapnya menjadi sbb.: