Media Indonesia, selama ini saya nilai sebagai media massa yang cukup aktif dalam mendukung upaya perbaikan untuk menyejahterakan bangsa Indonesia. Karena tanpa dukungan media massa, apa yang dilakukan pemerintah atau siapapun itu cuma “omong kosong” saja. Salah satu bentuk upaya menyejahterakan bangsa Indonesia itu adalah memberantas korupsi. Berbagai pemikiran tentang pemberantasan korupsi diulas oleh MI melalui tajuk Editorial MI di metrotv. Sejak April 2016 sampai saat ini ada terdata bahasan, sbb:
Menguak Korupsi Legislasi Senin, 4 April 2016
Agar Korupsi Raperda tak Berkembang Liar Senin, 11 April2016
Menggebu Memburu Buron Koruptor Sabtu, 23 April 2016
Mempertahankan Pengetatan Remisi Rabu, 27 April 2016
Mengurai Kerumitan Pemberantasan Korupsi Selasa, 17 May2016
Menaklukkan Kebebalan Koruptor Kamis, 30 June 2016
Bukan Mengampuni Pengemplang Pajak Jum'at, 15 July2016
Sesat Pikir Wacana tidak Membui Koruptor Rabu, 27 July 2016
Menolak Remisi bagi Koruptor Kamis, 11 August 2016
Membersihkan Kleptokrat di Sektor Pertambangan Jum'at,26 August 2016
Pantang Lelah Perangi Korupsi Selasa, 6 September 2016
Rampas Aset Koruptor Hadirkan Efek Jera Kamis, 15September 2016
Bergerak Bersama Menyetop Korupsi Senin, 19 September 2016
Menghadapi Penghambat Amnesti Pajak Selasa, 20 September2016
Kolaborasi Mengungkap Rantai Korupsi Selasa, 27 September2016
Mempermalukan Koruptor Kamis, 29 September 2016
Mereformasi Hukum dari Hulu Jum'at, 7 October 2016 05:01WIB
Apa yang dilakukan oleh Media Indonesia ini sejalan dengan apa yang coba saya perjuangkan. Ketika pemerintah mengajukan RUU Tax Amnesty versi 2016 yang menerima wajib pajak peserta Tax Amnesty tanpa melacak asal harta pesertanya, saya tergerak untuk meluruskannya. Saya jadi terinspirasi untuk membuat konsep UU Pembuktian Terbalik, yang kemudian saya kirimkan kepada Presiden Jokowi, Ketua Komisi III DPR RI, Ketua DPD RI, dimana ketika RUU Tax Amnesty tersebut masih dalam pembahasan DPR.
Dalam surat tersebut sudah saya tunjukkan, kekurangan dan keunggulan antara RUU Tax Amnesty waktu itu, dan konsep UU Pembuktian Terbalik yang saya buat, akan memberi dampak yang berbeda, yaitu akan banyak lebih menguntungkan konsep Pembuktian UU Terbalik di sini. Namun, sepertinya konsep yang saya kirimkan tersebut diabaikan saja.
UU Tax Amnesty versi 2016 memberi peluang para koruptor dan penjahat lainnya bisa menyusup dengan tebusan 2% saja. Sedangkan dengan UU Pembuktian Terbalik, negara bisa mengembalikan harta kekayaan yang dimiliki oleh warga negara secara tidak benar, misalnya: dengan merusak lingkungan, merusak mental anak bangsa, mencuri uang negara, terlibat kasus penyuapan, perdagangan manusia, dll. Juga, kalau UU PembuktianTerbalik yang diterapkan, maka dampaknya bisa membuat badan-badan usaha Indonesia, warga negara Indonesia, baik rakyat biasa, calon-calon pejabat dan mantan pejabat menjadi bersih dari perilaku jahat dalam mencari dan mengumpulkan harta kekayaannya.
Artinya UU Pembuktian Terbalik itu akan menjadi alat yang efektif untuk memberantas dan mencegah tindak korupsi serta tindak pidana lainnya. Karena itu, ketika saya menyaksikan Editorial MI di metrotv sedang membahas dukungannya terhadap Tax Amnesty, dengan topik Bukan Mengampuni Pengemplang Pajak Jum'at, 15 July 2016; saya lalu mengirim email tentang konsep UU Pembuktian Terbalik ini. Tetapi sepertinya tidak dibaca atau diabaikan, karena Editorial MI metrotv berikutnya justru memunculkan ulasan yang terkait tindak korupsi yaitu: Rampas Aset Koruptor Hadirkan Efek Jera Kamis, 15 September 2016 .
Menyikapi hal tersebut, kemudian pada tanggal 20 September 2016 saya mengirimkan berkas Konsep UU Pembuktian Terbalik melalui Pos Express. Saya berharap dengan mengirimkan berkas konsep tersebut secara langsung, Tim Editorial MI ini mau mempelajari dan mengkajinya. Tetapi seminggu kemudian yang muncul justru membuat saya kecewa, ternyata masih tema itu-itu saja: Kolaborasi Mengungkap Rantai Korupsi Selasa, 27 September 2016, kemudian Mempermalukan Koruptor Kamis, 29 September 2016. Dimana dalam ulasan mempermalukan para koruptor itu diusulkan dengan cara dipamerkan atau diarak saja dijalanan/mall dengan tulisan “jangan meniru seperti saya”. Yang menurut saya, pemikiran ini justru tidak serius dan hanya main-main saja. Respon pemirsanyapun ada yang lebih sadis lagi ,yaitu beri sangsi sosialnya potong tangan saja, agar bisa terlihat seumur hidup akibatnya.
Saya ingin bertanya kepada pengusul ide tersebut. Bagaimana kalau yang terjerat korupsi itu ternyata kerabat Anda sendiri ? Kakak, adik, anak, orang tua, saudara, atau istri/suami. Masihkan bisa berteriak lantang seperti itu ? Mohon, ini benar-benar dipikirkan dengan seksama, jangan asal teriak saja ! Masihkah kita akan dengan gagah berani mengatakan hal-hal tersebut ? Saya saja, walaupun itu orang lain, misalnya: tetangga atau teman, tidak akan tega membiarkan hal yang demikian.
Karena saya sadar, bahwa pelaku korupsi di negeri ini jumlahnya jauh lebih banyak daripada orang yang jujur. Kalau tidak percaya,misalnya ekstrimnya semua pekerja negara Indonesia ini dimasukkan dalam penjara, kemudian yang bukan koruptor boleh dilepaskan, maka yang akan bebas, pasti hanya sedikit orang saja. Ini bisa dimaklumi, karena di negeri ini korupsinya sudah terjadi sedemikian rupa, yaitu: dari kalangan atas sampai jajaran bawah, pada semua bidang, bahkan tokoh pendidikan, aparat hukum dan tokoh agama juga. Ada yang melakukannya karena terpaksa, ada yang ikut-ikutan karena tidak enak dengan teman, ada juga yang karena serakah.
Untuk itulah sebagai orang yang “cerdas dan bijak”, kita tidak boleh hanya lantang berteriak, tetapi tidak paham dengan akibatnya, yang juga bisa mengenai keluarga atau kerabat kita sendiri.
Mengajukan RUU Pembuktian Terbalik, merupakan solusi yang bijaksana. Sebelum kita menghukum berat para pelaku tindak kejahatan tersebut (tentunya nantinya akan ada revisi UU Tipikor, KUHAP, dll yang terkait), kita beri kesempatan orang itu untuk bertobat. Sambil kita sendiri juga berusaha mengingatkan, kalau-kalau ada orang-orang dekat di sekitar kita yang ditengarai terlibat tindakan tercela tersebut. Apalagi caranya gampang. Tinggal mengamati mereka, sesuai tidak antara kemungkinan gaji dan gaya hidupnya ? Mudah, bukan ? Supaya nantinya kita tidak terjebak “kasak-kusuk menyelamatkan kerabat kita”, kalau ternyata orang-orang di sekitar kitalah yang dikejar-kejar para aparat penegak hukum. Apabila sudah tahu ada kesempatan itu, kitanya cuma diam saja, berarti kita sendiri ikut menjerumuskan mereka, dan sudah tega kalau melihatnya suatu saat diketahui melakukan tindakan korupsi atau kejahatan lainnya yang berlanjut dengan merasakan hukuman berat serta hidup keluarganya menjadi kesulitan.
Bersamaan dengan itu, nantinya untuk anak-anak sekolah, harus ada pelajaran tentang korupsi. Tetapi, bukan seperti yang kemarin dilakukan yaitu membuat kafe-kafe kejujuran yang membayar sendiri dengan dalih untuk mendidik kejujuran seorang siswa. Dimana ujung-ujungnya, banyak kafe tersebut yang tidak berlanjut.
Yang diajarkan kepada anak-anak sekolah SD – SLTA yaitu tentang sebab dan akibatnya, kalau para orang tua, atau siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi atau kejahatan lainnya, maka sangsinya sudah diketahuinya. Juga ditunjukkan contoh-contohnya. Sehingga mereka sudah tahu akibatnya, apabila orangtua mereka melakukan tindakan korupsi. Dengan cara ini, diharapkan anak-anak bisa mengingatkan orang tuanya untuk tidak korupsi, dan tidak meminta dibelikan barang-barang ini itu yang berlebihan, atau melakukan aktivitas yang berbiaya mahal, dll. Paraistri/suami juga akan mendapat pembinaan tentang hal demikian, sehingga tidak ada alasan lagi bahwa mereka tidak mengetahuinya.Artinya, semua orang sudah tahu, kalau ada orang ketahuan korupsi, maka hidup keluarganya akan menjadi sangat susah.
Jadi misi utama diterapkannya UU Pembuktian Terbalik itu bukan untuk memenjarakan orang, mempermalukan koruptor, atau menyusahkan keluarga para koruptor, tetapi justru untuk MENYADARKAN MEREKA, agar jangan sampai tertangkap dan diperiksa aparat penegak hukum karena dicurigai atau disebut-sebut rekan kerjanya sebagai orang yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi atau yang lainnya. Di samping itu, negara bisa mengembalikan harta kekayaan rakyat yang terlanjur mereka ambil secara tidak benar, dan bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki kembali apa-apa yang telah rusak akibat tindakan mereka tersebut. Dengan demikian, mereka ini diupayakan untuk bisa sadar terlebih dahulu. Kalau tetap tidak mau atau tidak peduli, baru kita “sikat”.
Mengapa hal ini perlu dilakukan ? Karena pelaku korupsi di negara ini sebenarnya sangat banyak. Tujuan kita bukanlah memenjarakan atau mempermalukan orang sebanyak-banyaknya, supaya orang lain menjadi takut. Tetapi juga menyadarkan mereka yang sudah terlanjur korupsi, agar orang lain tidak menilainya bahwa yang sedang tertangkap itu hanyalah orang yang lagi apes saja. Pemikiran seperti inilah, yang juga harus dihilangkan. Sekali lagi, bahwa misi kita justru mau menyadarkan orang sebanyak-banyaknya, dan mencegah tindak korupsi semaksimal mungkin.
Untuk menyukseskan hal itu, kita juga jangan lagi mengatakan kalau ada yang ditangkap aparat hukum karena indikasi korupsi sebagai musibah, sehingga keluarganya harus tabah. Kemudian dengan dalih memaafkan, kita tetap mau bergaul dengan para pelaku kejahatan ini. Kalau terjadi demikian terus, maka sampai kapanpun, korupsi di negeri ini tidak akan bisa diberantas. Inilah namanya membangun peradapan atau budaya baru yang positif.
Hal itu harus kita lakukan, karena sebelumnya para pelaku korupsi dan keluarganya ini sudah diingatkan dengan adanya UU PembuktianTerbalik. Para istri atau suami tidak boleh ada lagi yang begitu saja menerima uang dari pasangannya tanpa tahu darimana asal-usulnya. Anak-anak sekolah juga sudah diberi tahu agar tidak meminta sesuatu yang berlebihan dari orang tuannya. Kalau ternyata hal itu masih terjadi berarti mereka telah sengaja menjerumuskan pasangannya atau orang tuanya dalam perilaku yang tidak benar. Karena itu pasangannya atau keluarganya harus dikenai sangsi sosial, yaitu dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Namun, kalau mereka ada kesadaran mau mengembalikan harta yang telah perolehnya secara tidak benar, baru kita akan memaafkannya dan boleh bergaul dengan mereka lagi.
Oleh karena itu, kita tidak bisa begitu saja memberi usul pokoknya harus dihukum berat, harus diterapkan hukuman mati. Atau diberi hukuman penjara minimal 20 tahun, dan dipermalukan serta harus dirampas hartanya, dll. Karena sebenarnya banyak orang yang jadi begini, juga akibat dari sistem kebijakan-kebijakan negara yang salah dan sampai sekarang belum diperbaiki. Sampai ada yang mengatakan: “Kalau tidak edan, tidak akan bisa makan. Yang tidak ikut arus akan terkucil, dll”. Itu ada benarnya, bukan ungkapan kosong. Sayapun sudah merasakannya. Walaupun sebenarnya banyak juga, yang terjadi karena keserakahannya saja.
Apalagi setelah Tax Amnesty, sebenarnya kondisinya lebih mudah lagi. Bukankah katanya Tax Amnesty tidak menghalangi pengejaran tindak pidana pesertanya ? Tinggal Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan PPATK kerja cerdas untuk menerima laporan dan menyelidiki berbagai hal yang ada. Kemudian memanggil orang-orang atau badan usaha yang hartanya dicurigai tidak jelas itu. Lalu mereka diberi kesempatan untuk melakukan pembuktian terbalik, terlebih dahulu. Kalau tetap membandel, silahkan diproses hukum, dan publikasikan secara luas proses hukum orang-orang/badan yang hartanya ditengarai tidak jelas itu. Demikianlah, garis besar pemikiran saya yang mengiringi lahirnya konsep UU Pembuktian Terbalik tersebut.
Semoga Media Indonesia bisa memahami penjelasan ini, dan mau ikut serta memperjuangan konsep UU Pembuktian Terbalik yang sudah saya kirimkan itu menjadi RUU yang harus diperjuangkan oleh Pak Jokowi saat ini. Nasib bangsa Indonesia, juga tergantung dari sikap media massanya. Semoga bermanfaat !
“Siapapun bisa melakukan kekeliruan, tetapi kalau mau memperbaikinya, maka juga akan termaafkan. Apalagi kalau itu bisa membuat kesejahteraan bangsa Indonesia, maka akan terukir dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.“
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H