Jauh sebelum Tax Amnesty, yaitu di awal pemerintahan beliaunya, saya sudah pernah menyampaikan konsep pemikiran (tertulis) yang bisa dilakukan Pak Jokowi untuk memperbaiki bangsa ini. Dimana konsep pemikirannya sudah komprehensif, walaupun mungkin belum sempurna karena saya hanya berpikir sendiri. Salah satunya memang harus potong anggaran, karena yang menjadi masalah utama bangsa ini sebenarnya adalah “besar pasak daripada tiang”.
Sehingga ketika ada masalah APBN 2016 ini, kemudian Pak Jokowi memilih solusi dengan Tax Amnesty versi 2016, maka saya melihat bahwa Pak Jokowi hanya mempertimbangkan kepentingan menyelamatkan APBN 2016 atau menambah APBN berikutnya saja tanpa memperdulikan kepentingan bidang-bidang yang lainnya.
Apalah artinya pajak bertambah 162 trilyun, kalau kemudian berikutnya negara harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk memperbaiki efek dari kebijakan ini, misal: akibat pajak dari harta kekayaan yang tidak benar tersebut kemudian BPJS-nya jebol, setiap tahun pemerintah harus mengeluarkan biaya rehabilitasi narkoba, setiap tahun harus ada biaya recovery bencana alam akibat hutannya yang gundul atau dibakar, setiap tahun harus menyediakan biaya pengadaan rumah penduduk akibat tanah longsor karena lingkungannya yang telah rusak, dll?
Dan, itu akan terulang terus entah sampai kapan. Bukankah lebih baik, kalau harta-harta yang tidak jelas tersebut diminta kembali (dengan penerapan pembuktian terbalik), kemudian hasilnya digunakan untuk merenovasi kerusakan yang sudah terjadi, dan meminimalkan “bencana-bencana” yang akan terjadi lagi ? Karena bisa dipastikan, perusak lingkungan dan perusak mental bangsa, serta pencuri uang negara itu menyusup di antara para peserta Tax Amnesty tersebut.
Inilah salah satu bukti bahwa kinerja bangsa kita belum kompak, dan masih terus terjadi ego sektoral, sehingga membuat bangsa ini masih sulit dalam melakukan gerakan bersama untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa.
Itu juga yang membuat saya “ngotot” dengan gagasan pembuktian terbalik, dimana dampaknya bisa menyadarkan masyarakat Indonesia agar tidak melakukan tindak-tindak pidana lagi dalam memperoleh harta kekayaannya. Bukan untuk memenjarakan mereka ! Namun, kalau ternyata mereka masih nekat, yaitu tidak mau melakukan pembuktian terbalik, maka tidak salah lagi kalau negara kemudian membuat sangsi hukum yang seberat-beratnya. Karena negara telah memberi peluang kepada mereka untuk bertobat, dengan cara mengembalikan harta yang sesat tersebut.
Jadi kalau sampai sekarang Pak Jokowi masih mengabaikan masukan ini, saya belum tahu lagi harus berbuat apa ? Terakhir saya juga telah mengirimkan konsep pembuktian terbalik tersebut kepada Menteri Keuangan Bu Sri Mulyani dan media massa yang sepertinya peduli dengan pemberantasan korupsi yaitu Media Indonesia.
Ikhtisar berpikir komprehensif
Terkait dengan upaya menyejahterakan bangsa Indonesia, mengapa kita harus berpikir secara komprehensif ?
Sebab perlu berpikir komprehensif
- Untuk mempercepat tercapainya tujuan mewujudkan Indonesia yang sejahtera
- Untuk meminimalkan mereka yang menjadi korban “jatuh miskin” ketika proses mewujudkan cita-cita tersebut
- Menghindari resiko kegagalan yang lebih besar.
Akibat tidak mampu berpikir komprehensif
- Ancaman resiko kegagalannya lebih besar
- Yang menjadi korban harus “jatuh miskin” jauh lebih banyak, mereka bukan yang paling miskin karena yang miskin justru dapat KIP, KIS, K Sejahtera, tetapi mereka yang hampir miskin (pekerja kelas bawah) yang tidak dapat apa-apa.
- Kerja anak bangsa (lintas profesi dan lintas bidang) menjadi tidak bisa kompak karena selalu ada bidang atau profesi yang diuntungkan, yang dirugikan, atau tidak dapat apa-apa.