Mohon tunggu...
Y ANISTYOWATIE
Y ANISTYOWATIE Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Berusaha menemukan solusi permasalahan bangsa, blog saya: www.anisjasmerah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tolong, Segera Sampaikan Ini kepada Pak Jokowi!

18 Agustus 2016   10:06 Diperbarui: 18 Agustus 2016   10:17 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Sosialisasi  Tax Amnesty  Pak Jokowi mengatakan bahwa beliaunya memiliki data kekayaan para WNI di luar negeri.  Berdasarkan catatan Menkeu jumlahnya ada 11.000 trilyun. Bahkan Pak Jokowi memiliki sumber data yang berbeda, jumlahnya  lebih dari itu. Datanya ada di kantongnya, sampai pernyataan itu diulang 2 kali. Saya terkesima mendengar pernyataan tersebut !

Saya teringat data yang pernah disampaikan oleh Editorial MI bahwa, data para WNI yang menyimpan dananya di luar negeri ada 6519 orang dan yang ada di Panama Papers ada 2961 orang. Kalau benar demikian, kenapa Pak Jokowi tidak  pilih UU Pembuktian Terbalik yang pernah saya sampaikan ( di sini ) , dan  justru  tetap memilih UU Tax Amnesty ? Apakah Pak Jokowi pada waktu itu belum tahu ? Padahal saya sudah berusaha menghubungi  dengan berbagai macam cara: kompasiana, surat, sms, email agar beliaunya mau membaca surat saya tersebut.

Perbandingan penerapan  UU Pembuktian Terbalik dan UU Tax Amnesty:

1. Dalam penerapan UU Pembuktian Terbalik, tidak ada beban membebaskan  mereka yang terindikasi koruptor/penjahat lainnya dengan tebusan murah 2-10%;

2. Hasilnya jauh lebih besar;

3. Uang menjadi milik negara, dan bukan sekedar data base pajak sehingga masuknya dana bisa diatur  dan BI tidak harus menggelontorkan  dana untuk meredam kenaikan nilai tukar rupiah;

4. Dana bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur sesuai dengan kebutuhan pemerintah, tidak  ditanam di saham dan obligasi  yang jangka waktunya  hanya  berlangsung 3 tahun;

5. Pemberantasan korupsi bisa jalan terus dan tidak terganjal oleh pelaksanaan  Tax Amnesty;

6. Tidak membuat "bingung" aparat penyidik kepolisian, kejaksaan, serta PPATK;

7. Pemerintah tidak mengejar-ngejar pajak  dari pengusaha kecil, sementara yang besar justru diampuni/dibebaskan; dll.

Bayangkan saja, gara-gara para koruptor dan para penjahat itu, negara  kita  setiap tahun harus menghidupi rakyat dengan menambah utang baru, dimana setiap tahun APBN kita defisit  (kurang) ratusan trilyun. Untuk APBN 2016  ini defisit 2,15% dari 2095 trilyun, yaitu sekitar 273  trilyun. Itupun setelah penerimaan negara tidak mencapai target,  belanja negara tersebut akan dipotong tetapi rencana  utangnya (defisitnya) tidak berkurang bahkan terancam bertambah besar.

Saat ini utang pemerintah  Indonesia (tidak termasuk swasta) totalnya hampir 2000 trilyun. Dan, setiap  tahun kalau mau bayar cicilan utang, pemerintah  harus mencari utangan baru. Padahal kalau cari utangan baru itu, pemerintah harus kehilangan harga diri, dan mesti  ada kompensasi yang harus dibayar.  Juga harus mempertahankan pengiriman TKW agar negara ini bisa mendapatkan devisanya, karena jumlah cadangan devisa negara kita  minimal,  akhir Juni 2016  sekitar  US$ 109 milyar. Dimana cadangan devisa  ini  hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan impor  dan bayar cicilan utang selama 7 bulanan.

Spontan pikiran saya berhitung, bisa "menjerat" 1 orang  dengan UU Pembuktian Terbalik  yang pernah saya konsepkan,  berarti sama dengan  mendapatkan 50 kali peserta Tax Amnesty. Uangnya  jadi milik negara pula. Andaikan saja dalam 1 – 2 tahun negara  dapat separuhnya, berarti negara akan dapat 5500 trilyun. Artinya tahun berikutnya, negara kita bisa melunasi/membayar utang negara,  atau bisa membangun infrastruktur tanpa berhutang, dan  berturut-turut sampai 2019 bisa mengambil alih kontrak  16 pertambangan migas  yang masa kontraknya habis, serta di 2021 bisa mengambil alih Freeport yang masa kontraknya juga akan habis, dll.

Kalau hal tersebut bisa dilakukan, dan uang itu tidak dikorupsi, pasti seluruh rakyat Indonesia tidak harus menunggu lama-lama lagi untuk bisa mulai menikmati kesejahteraannya. Rakyat kecil tidak akan tirakat terus dengan dalih mengutamakan pembangunan infrastruktur. Apakah pemerintahan Pak Jokowi tidak ingin melihat mimpi indah ini bisa segera terwujud  ?

Tetapi kenapa yang terjadi justru “burung-burung hantu” yang sudah  berada di genggaman tangan itu  mau dilepaskan ? Kenapa data yang katanya sudah di kantong itu tidak dibuka ?  Kenapa ditunjukkan ada jalan tol,  tetapi tetap  pilih lewat jalan tikus yang berliku dan banyak resiko ?

Kalau begitu, siapa yang tak ingin melihat rakyat Indonesia lebih cepat sejahtera ?

Kalau pemerintah kekurangan dana mendesak untuk APBN 2016, tidak ada jalan lain selain potong anggaran yang tidak urgen, dan  sebagian janji manisnya ditunda dulu. Kalau perlu para pejabat dan pekerja negara “suruh urunan” terlebih dahulu. Bukankah sebenarnya yang menjadi beban negara itu adalah besarnya gaji mereka yang lebih dari 300 trilyun ?

Oleh karena itu,  tolong Pak Jokowi ! Bapak punya kekuasaan untuk melakukan terobosan ini, dan saya percaya, Bapak mampu melakukannya ! “Satu dua tahun lagi, seharusnya kita semua sudah bisa diajak berlari mengejar ketertinggalan ini. Jadi kami jangan disuruh jalan merangkak terus. Nanti kaki kami terburu patah !”

Pak Jokowi, saat ini nasib perjalanan bangsa ini berada di dalam gengaman tangan Bapak ! Mohon untuk direnungkan !

Indonesia Kompak, Indonesia Sejahtera, Indonesia Jaya ! Dirgahayu negeriku  yang ke-71 ! Inilah hadiah terindah yang bisa kupersembahkan padamu !

“Jangan katakan sulit kalau tidak pernah diusahakan, karena yang mengatakan sulit itu sejatinya hanya para pemalas saja !”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun