Memahami bahwa yang membutuhkan “kecerdasan” itu, selain diri kita sendiri dan keluarga, sebenarnya juga pemerintah. Maka ketika kita berbicara sebagai pemerintah, berarti kita harus berpikir bahwa yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan proses pendidikan anak-anak bangsa itu adalah pemerintah/negara. Dalam hal ini oprasionalnya dikendalikan oleh 2 menteri pendidikan (saya dulu pernah menyarankan kepada Pak Jokowi agar kementerian pendidikan jangan dipecah menjadi 2, tetapi untuk yang ini tidak berhasil (di sini). Sehingga sekarang ini, kalau membahas masalah tanggung jawab dan program kependidikan nasional harus berembug 2 menteri ini terlebih dahulu.
Setelah mengkaji berbagai masukan tentang konsep pendidikan sebagai gerakan semesta, maka bisa dirumusan tentang konsep gerakan semesta yang paling tepat (ideal), yaitu kesemestaan pelaksanaan kegiatan pendidikan harus menginterintegrasikan peran tanggung-jawab dari pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pendidikan tersebut. Pihak-pihak yang terkait itu meliputi: kementerian pendidikan, dinas pendidikan, sekolah, orang tua, dan lingkungan. Dimana kemudian target bersamanya, untuk mewujudkan tujuan utama pendidikan nasional yaitu menghasilkan anak-anak didik yang cerdas, terampil, sehat, serta memiliki karakter, dan bisa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini perlu diupayakan, karena selain di sekolah, hari-hari anak didik itu adalah bersama keluarganya dan berada dalam pergaulan masyarakat umum.
Kongkritnya, di samping anak-anak didik itu mendapatkan materi pelajaran sekolah , termasuk pelajaran nilai-nilai dan karakter Pancasila dengan metode pembelajaran yang menyenangkan, anak-anak didik itu juga mendapatkan teladan perilaku dari guru-gurunya. Kemudian ketika di rumah, para orang tua juga harus memberikan teladan terhadap penerapan karakter dan nilai-nilai Pancasila. Kalau anak-anaknya melakukan kekeliruan, misalnya bertengkar dengan temannya atau dengan saudaranya atau dicurigai menggunakan obat-obatan terlarang, maka para guru maupun orang tua mampu mengingatkan anak-anak tersebut dengan sikap yang bijaksana. Bukan dengan gaya otoriter atau marah-marah.
Lalu kondisi lingkungan dimana anak-anak itu berada, yaitu di tetangga, di keluarga besarnya, di pasar ataupun di tempat keramaian yang lain, juga mampu menerapkan hal yang sama. Para orang dewasa mampu memberikan teladan sikap dan perbuatan yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai Pancasila. Kalau melihat perilaku anak-anak yang tercela; mereka mau menegur, mengingatkan, maupun melaporkannya pada lembaga yang berwenang. Contoh: ketika ada yang melanggar peraturan lalu-lintas, ketika ada perkelahihan, ketika menemui tindak kejahatan, ketika mencurigai adanya pemakaian narkoba, dll.
Pada sisi lain jajaran instansi kependidikan harus semaksimal mungkin, bisa menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan oleh anak-anak didik untuk mengembangkan potensi dirinya. Jangan diserahkan pada sekolah masing-masing. Ini akan menimbulkan penyalah-gunaan kekuasaan oleh kepala sekolah dan jajaran Diknas untuk “mengeruk keuangan para orang tua murid/mahasiswa”, sementara kementerian pendidikan yang anggarannya sudah lebih dari 20% APBN menjadi tidak bertanggung-jawab terhadap kewajibannya untuk mempersiapkan guru/pendidik yang berkualitas dan menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai di seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal ini, termasuk membantu sekolah-sekolah swasta yang sarana dan prasarananya masih minim.
Juga instansi-instansi terkait lainnya, perlu menyediakan fasilitas umum yang nyaman dan mencerdaskan, antara lain: taman bermain, lapangan untuk berolah raga, perpustakaan umum, tempat untuk berkreasi, dll.
Artinya konsep pendidikan sebagai gerakan semesta ini, sebenarnya melibatkan semua lembaga yang ada. Jadi tidak bisa hanya ditangani oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja, karena itu presiden sebenarnya harus turun tangan.
Di samping itu, konsep pendidikan sebagai gerakan semesta itu hanya bisa terwujud, kalau kita menganut prinsip pendidikan itu selama hidup. Kalau kita hanya membatasi bahwa proses pendidikan itu, hanya dilaksanakan ketika pada usia sekolah sampai mahasiswa saja (itupun dengan asumsi bahwa guru dan dosennya sudah baik), maka harapan itu bisa hanya tinggal impian saja. Mengapa ? Permasalahannya sbb.:
- Kita yang berperan sebagai orang tua memiliki karakter yang beragam, ada yang baik dan banyak yang jelek (tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila).
- Di lingkungan sekitar kita banyak “korban-korban” proses pendidikan masa lampau, atau banyak yang belum berhasil mentransformasi dirinya, sehingga kondisi lingkungan saat ini belum mendukung untuk dilakukannya upaya gerakan tersebut.
- Karakter manusia itu bisa berubah setiap saat, menjadi baik atau buruk karena pengaruh lingkungan , pengaruh orang tua, dan seberapa kuat kepribadian yang bersangkutan ketika dihadapkan pada sebuah pilihan untuk mengambil sikap.
Selain itu, kita semua, para guru dan para orang tua ini memiliki tingkat pendidikan dan latar belakang yang berbeda-beda pula . Kalau tiba-tiba “diharuskan bisa mendidik” anak-anak dari bayi, balita, anak SD, SLTP, SLTA, dan mahasiswa; maka yang terjadi justru bisa “bentrok dengan anak”. Karena para orang-orang tua ini tidak pernah mendapatkan pendidikan, bagaimana harus mendidik anak-anak tersebut. Apalagi menurut teorinya, bahwa cara mendidik masing-masing kelompok anak–anak ini tidaklah sama. Ini pengalaman pribadi saya. Bahkan saya justru “dibully” oleh anak-anak saya:” Ibu itu terlalu idealis, padahal hidup itu tidak bisa dijalani dengan cara yang idealis !” Dalam hatipun, saya juga bisa membenarkan apa yang mereka katakan. Sehingga sebenarnya, sayapun sering mengeluh: “Tuhan, kalau orang-orang baik di negeri ini justru dihadiahi dengan kematian; bagaimana bangsa kami bisa berubah ?" Seperti kita ketahui bersama, Afrika Selatan bisa berubah karena ada Mandela.
Jadi kalau kita mau menerapkan kegiatan pendidikan sebagai gerakan bersama untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila pada saat ini, sepertinya masih sulit untuk bisa dilakukan. Kecuali yang sifatnya penunjang saja, misalnya: menerapkan jam belajar malam bagi anak-anak sekolah, melarang siswa pergi ke warnet pada jam-jam sekolah, dll. Sementara untuk yang terkait dengan proses pendidikan itu sendiri, dibutuhkan adanya “kurikulum” atau metode pendidikan yang sama bagi guru, orang tua, dan lingkungan. Contohnya menggunakan HP sambil berkendaraan, berarti semua (sebagian besar) orang tua harus mengatakan bahwa hal itu tidak diperbolehkan. Marah-marah kepada orang lain di jalanan itu tidak sopan, korupsi itu tidak boleh, merokok di tempat umum dilarang, dll. Dengan demikian, nantinya anak-anak sekolah ini tidak dihadapkan pada realita kehidupan yang “membingungkan”. Anak-anak diajari untuk tidak boleh korupsi, tetapi mereka mendapati kenyataan bahwa orang tuanya, atau sekolahnya dicurigainya melakukan perbuatan korupsi. Pada kelompok tertentu menghina orang lain dilarang, tetapi pada kelompok yang lain diperbolehkan. Akibatnya, mereka akan memilih perilaku yang cocok dengan kondisi batinnya, sebagaimana yang sedang mereka rasakan saat ini. Tak peduli lagi pada penilaian orang lain. Bukankah yang lain juga bersikap demikian ?
Karena itulah, kalau kita benar-benar ingin menerapkan pendidikan sebagai gerakan semesta untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila, maka yang harus dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu:
- Merumuskan konsep yang tepat terlebih dahulu,
- Mendiskusikan hal ini dengan Presiden, karena ini membutuhkan peran serta kementerian yang lain,
- Mempersiapkan “infrastrukturnya”, yaitu mengkondisikan para orang tua/lingkungan agar bisa sejalan dengan prinsip nilai-nilai yang diajarkan di sekolah/PT,
- Mengaplikasikan gerakan bersama tersebut.