[caption caption="Data tabel merupakan hasil olahan penulis"]
[/caption]
[caption caption="Keterangan data dalam tabel"]
Apa arti data tersebut ?
Negara-negara yang katanya maju dan sejahtera (makmur) itu, ternyata banyak yang memiliki utang yang besar. Sebagian besar negara menerapkan sistem anggaran defisit, namun untuk neraca pembayarannya ada yang positif dan ada yang negatif. Beberapa negara tercatat memiliki neraca perdagangan yang surplus terhadap Indonesia. Juga memberikan utang kepada Indonesia dan memiliki banyak investasi di Indonesia (di sini). Kemudian jumlah penduduk Indonesia ini termasuk besar, namun cadangan devisanya termasuk sedikit. Sedangkan cadangan devisa dalam jumlah besar dimiliki oleh Cina dan Jepang. Sementara kurs mata uang negara kita terhadap dolar sangatlah lemah.
Setelah memahami data tersebut, kita bisa mengetahui bahwa besarnya utang yang dimiliki oleh negara-negara maju itu, ternyata ke depannya akan bisa membuat kerepotan negara yang bersangkutan, kalau pemerintahan berikutnya tidak bisa menghasilkan masukan devisa yang lebih besar. Beberapa negara dalam tabel tersebut, terbaca berada dalam posisi memiliki potensi bermasalah (-) dan dalam posisi bermasalah (--), terkait dengan pembayaran cicilan utangnya. Namun situasi yang sesungguhnya, yang lebih tahu jelas mereka sendiri, karena saya tidak mendalami “permainan APBN mereka”. Kecuali di negara sendiri, seperti yang kemarin sudah saya bahas di sini .
Artinya, kalau kita sudah mengetahui data-data dan kemungkinan permasalahan yang terjadi pada negara-negara “maju” itu, sebagai pemerintah dan rakyat seharusnya kita tidak perlu minder kalau berhadapan dengan negara-negara maju tersebut, asal kita tidak terjebak utang pada mereka, asal kita tidak mengirim TKW kepada mereka. Biarlah mereka merasa sebagai bangsa yang lebih sejahtera (makmur), biarlah mereka merasa sebagai bangsa yang lebih maju infrastrukturnya, tetapi kita tahu bahwa itu semua bisa terjadi karena mereka memiliki utang yang besar. Bukan karena semata-mata merupakan hasil “kerja kerasnya”. Dan, apabila tiba-tiba terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi dunia atau krisis ekonomi, tentu mereka akan “kelabakan” juga. Ini merupakan masalah sangat besar buat mereka, Amerika-pun pernah mengalaminya, Yunani sampai bangkrut, bahkan Jepang kemarin terpaksa melakukan gebrakan bunga bank negatif.
Posisi Indonesia
Sebagai negara yang juga pengutang, utang negara ini sebenarnya relatif kecil dibandingkan mereka, 25% : lebih dari 50%. Namun sayangnya, walaupun jumlah utangnya kecil, tetapi negara kita mengalami kesulitan ketika akan membayar cicilan utang-utangnya. Tercermin dalam tabel: APBN minus dan neraca pembayarannya minus juga. Sementara jumlah cadangan devisa tersebut, menurut BI hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sekitar 6 bulan. Itupun dengan persediaan BBM-nya hanya cukup untuk 20 hari. Akibatnya, kalau ada keperluan pengeluaran devisa baru yang mendesak, seringkali pemerintah harus cari utangan baru. Aneh, bukan ? Utangnya relatif sedikit dibandingkan dengan negara lain, tetapi “bingung” setiap tiba waktu membayar cicilan utangnya, sehingga harus cari-cari utang baru.
Artinya telah terjadi kesalahan dalam manajemen keuangan di negara ini, dan telah terjadi kesalahan dalam alokasi peruntukan utang atau anggarannya. Orang mengatakan, alokasi anggaranya lebih banyak digunakan untuk hal–hal yang tidak produktif dibandingkan dengan hal-hal yang produktif.
Oleh karena itu, dengan mengetahui kondisi negara-negara maju yang demikian, dan mengetahui kelemahan serta kelebihan negara kita, pemerintahan Pak Jokowi seharusnya bisa “membaca”, bahwa ini sebenarnya merupakan peluang emas bagi Indonesia untuk berbenah diri. Jangan sebaliknya justru menyerahkan diri menjadi mesin ATM bagi mereka. Apalagi, kalau kita paham bahwa posisi Indonesia itu sangatlah besar artinya buat mereka.
Kalau kita bisa melakukan hal-hal yang hemat, alokasi anggaran yang tepat, dan membuat kebijakan-kebijakan yang cerdas, maka tak perlu konfrontatif, kita bisa memperbaiki negeri ini dengan membenahi apa yang sudah terjadi di dalam negeri sendiri.
Jangan terbalik, mereka yang selalu memahami kesulitan negara kita. Kemudian karena kebodohan kita sendiri, mereka justru bisa memanfaatkan keadaan untuk semakin menekan pemerintah kita, sehingga bisa terus menguntungkan mereka.