patriotgaruda.com
Membangun bangsa itu memang membutuhkan anggaran yang sangat besar. Untuk negara-negara kecil, biasanya mereka memang memiliki SDA yang luar biasa. Sebagai contoh: Brunei dan Qatar memiliki ladang dan cadangan minyak yang luar biasa. Produksinya bisa melebihi jauh dari kebutuhan rakyatnya dan cadangan minyaknya bisa sampai puluhan tahun mendatang. Karena itu tidaklah masalah kalau kemudian minyak tersebut dieksploitasi besar-besaran dan diekspor ke negara lain, kemudian hasilnya digunakan untuk membangun negaranya, bahkan untuk investasi di negara lain. Negara Singapura tidak memiliki ladang minyak, namun pemimpinya mampu memanfaatkan potensi wilayahnya yang strategis di ASEAN dengan membangun pelabuhan yang representatif. Hasil pengelolaannya untuk membangun negaranya, investasi di negara lain, bahkan memberi utang kepada negara kita.
Secara teori, perkembangan negara-negara kecil itu memang akan lebih cepat makmur dibandingkan perkembangan negara-negara besar. Namun dalam jangka panjangnya negara-negara kecil yang makmur ini, nasibnya akan tergantung pada negara-negara besar yang sudah berhasil membangun negaranya. Sebaliknya kalau ternyata gagal, maka negara-negara besar itupun bisa terpecah menjadi negara-negara yang lebih kecil juga. Sebagai contohnya: Yugoslavia dan Uni Sovyet.
Posisi Indonesia Saat Ini
APBN 2016
Belanja negara Rp 2.095,7 triliun sedangkan penerimaan negara diperkirakan Rp 1822 trilyun. Kemudian berdasarkan data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, ada cicilan utang jatuh tempo tahun 2016 sebesar Rp 230 trilyun. Artinya anggaran yang dimiliki pemerintah untuk biaya oprasional sebenarnya hanyalah Rp 1822 trilyun dikurangi cicilan utang, yaitu sekitar Rp 1592 trilyun. Sementara jumlah cadangan devisanya sangat pas-pasan, sehingga “hanya dikuasai” BI.
Cadangan Devisa
Cadangan devisa negara pada Oktober 2014 (akhir pemerintahan Pak SBY) sebesar US$ 111,9 milyar; pada bulan Februari 2015 (pemerintahan Pak Jokowi) meningkat menjadi US$ 115,5 milyar; namun kemudian mengalami penurunan sehingga pada bulan Oktober 2015 tinggal USD 100,240 milyar. Yang menurut BI, jumlah cadangan devisa ini akan digunakan untuk membayar belanja impor dan cicilan utang ke depan sekitar 6 bulanan.
Tabel gambaran cadangan devisa
Utang Luar Negeri Indonesia pada Oktober 2014 (akhir pemerintahan Pak SBY) sebesar USD 296,00 milyar . Kalau dikurs ke rupiah saat itu sekitar Rp 12.100-an, maka besarnya utang LN Indonesia saat itu sebesar Rp 3581 trilyun . Sedangkan pada Oktober 2015 (satu tahun pemerintahan Pak Jokowi) utang LN Indonesia sebesar USD 304,118 milyar dan kalau dikurs ke rupiah Rp 13.500-an, maka utang LN Indonesia menjadi Rp 4105 trilyun. Sementara utang LN pemerintah sendiri pada Oktober 2014 sebesar USD 133,170 milyar; kalau dikurs ke rupiah saat itu sekitar Rp 12.100-an, maka utang LN pemerintah Indonesia saat itu sebesar Rp 1611 trilyun . Sedangkan pada Oktober 2015 utang LN pemerintah Indonesia sebesar USD 136,621 milyar yang kalau dikurs rupiah saat ini Rp 13.500, maka utang LN pemerintah Indonesia menjadi Rp 1884 trilyun.
Artinya walaupun sudah ada cicilan utang pokok hampir setahun , ternyata jumlah utang pemerintah Indonesia tahun 2015 tidak semakin berkurang tetapi semakin bertambah banyak, yaitu 1884 – 1611 + cicilan pokok utang bulan November 2014 sampai bulan Oktober 2015. Kalau utang jatuh tempo pemerintah 2015 sebesar 108 trilyun (sinar harapan.co), dan cicilan pokok bulan November 2014 sampai bulan Oktober 2015 saya anggap 80 trilyun saja, maka dalam waktu satu tahun ada tambahan beban utang pemerintah sebesar 1884 – 1611 + 80 = Rp 353 trilyun. Sedangkan beban tambahan utang LN Indonesia, karena cicilan utang swastanya belum diketahui, maka yang bisa kita hitung hanya 4105 – 3581 = 524 trilyun, namun belum termasuk cicilan pokoknya. ini merupakan tambahan beban utang sebagai akibat dari pelemahan nilai tukar rupiah maupun adanya utang baru. Suatu jumlah yang tidak sedikit bukan ?
Tabel Gambaran Utang Luar Negeri
Untuk membayar cicilan utang tersebut, negara akan menggunakan yang namanya cadangan devisa. Negara-negara pengutang itu kecuali AS memiliki cadangan devisa yang cukup besar (bisa dilihat di tradingeconomics.com), sehingga kelancaran pembayaran utangnya tidak bermasalah. Sedangkan Indonesia, jumlah cadangan devisanya sangat minim yaitu USD 100,240 milyar untuk kepentingan 250 juta orang. Juga, hasil kerjasama investasinya tidak memberikan keuntungan yang semestinya. Akibatnya untuk membayar utang negara ini, pemerintah harus mencari utang baru . Bahkan yang memberi utang itu justru negara-negara pengutang besar, a.l.: Jepang, AS, Singapura, Belanda. Jadi bukanlah hal yang mengherankan, kalau selama ini pemerintah kita seperti “tunduk atau bahkan takut” pada negara-negara tersebut.
Karena itulah Indonesia disebut telah salah kelola. Setiap tahun pemerintah rajin membayar cicilan utang, namun kehidupan rakyatnya banyak yang tidak sejahtera. Sementara jumlah utangnya, walaupun sudah dicicil terus ternyata tidaklah semakin berkurang, bahkan semakin banyak.
Investasi Asing
Pada sisi lain, kekayaan alam bangsa kita berupa migas dan bahan tambang lainnya terlanjur banyak dikuasai oleh asing, al: AS, Jepang, negara eropa, Cina dan Malaysia. Walaupun sebenarnya pada tahun 2015 -2021 ini banyak yang habis masa kontraknya tetapi sepertinya pemerintah hanya mengakuisisi Blok Mahakam saja dengan alasan anggaran negara untuk oprasionalnya tidak ada. Padahal seharusnya, bangsa kita tinggal meneruskan kepemilikannya saja. Atau, mungkin ini bagian dari komitmen permintaan utang-utang pemerintah tersebut ? Tentunya hanya pemerintahlah yang bisa menjawabnya.
Negara investor di Indonesia 5 terbesar tahun 2010 sampai 2015
Demikian juga terhadap investasi saham perusahaan. Investasi ini juga banyak dimiliki asing. Informasinya sampai lebih dari 60%. Padahal investasi jenis ini bisa keluar masuk sewaktu-waktu sesuai dengan prediksi besarnya keuntungan yang akan diperoleh para investornya. Mereka setiap saat bisa berpindah ke negara-negara yang dinilainya sangat menguntungkan. Akibatnya nilai tukar rupiah kita bisa bergerak seperti yoyo, bahkan bisa jatuh sangat dalam ketika para investor ini berbondong-bondong keluar dari Indonesia. Kemudian untuk menjaga agar rupiah tidak mengalami kejatuhan yang lebih dalam lagi, biasanya BI menggelontorkan cadangan devisa yang dimiliki. Karena jumlah cadangan devisa kita sangat minim, maka pemerintah/BI –pun terpaksa harus menjual surat utang atau mencari negara yang mau memberi utang baru guna menambah cadangan devisa kita. Di samping itu, pemerintah sampai tega mengirim TKW untuk menjadi “budak” di negara lain agar bisa mendapatkan devisanya.
Demi mendapatkan utang baru, pemerintahpun rela memberikan kompensasi apa saja atas utang yang akan diperolehnya, misalnya: produksi pesawat PT DI di jaman Pak Habibie harus dihentikan, subsidi BBM dikurangi, tak boleh memiliki mobil nasional, rela menjual indosat, rela menjual satelit yang kita miliki, mereka bisa terus investasi di bidang-bidang yang strategis, produk mereka bisa masuk dengan leluasa di negara kita, pemerintah mau membeli produk-produk tertentu dari mereka, pemerintah tetap diam saja walaupun harga diri negara ini dilecehkan oleh negara-negara tetangga, pemerintah tak berdaya ketika terjadi heboh penyadapan, dll. Artinya, karena sudah terjebak dalam utang tersebut, negara kita sudah kehilangan harapan kejayaan masa depan yang saat itu mulai dirintis, dan bahkan saat ini sudah kehilangan harga diri bangsa. Sadarkah kita akan hal ini ?
Sementara negara lain, utangnya jauh lebih besar dari negara kita tetapi cicilan utangnya bisa dibayar dengan hasil pengelolaan negaranya, terbukti mereka memiliki cadangan devisa yang jumlahnya cukup besar, bahkan jauh di atas Indonesia. Namun yang dimaksud dengan pengelolaan itu, diantaranya yaitu “pintar membodohi” bangsa Indonesia. Mereka pintar “mengakali bangsa kita” , misal: melakukan investasi pertambangan dengan bagi hasil yang tidak fair, terus mengutangi pemerintah sehingga bangsa kita semakin terjebak pada kompensasi yang merugikan , investasi di bidang-bidang yang strategis, menampung dana simpanan para pengusaha Indonesia, dll. Dimana kalau kita pikirkan dengan seksama berarti yang “membayar” utang-utang mereka ternyata “bangsa Indonesia” juga. Oleh karena itu, walaupun mereka memiliki utang yang jauh lebih besar dari Indonesia, namun harga diri negaranya tetap terhormat dibandingkan dengan negara kita. Sementara harga diri dan kedaulatan negara kita ternyata berada dalam “cengkeraman” mereka. Kalau kita berani mengganggu atau merugikan kepentingan mereka semua, maka negara ini terancam diumumkan sebagai negara yang gagal bayar cicilan utang karena tidak ada negara yang mau memberikan pinjaman kepada pemerintah kita. Malu bukan ?
Bagaimana di Era Pak Jokowi ?
Gebrakan di awal, seolah pemerintah berani menegakkan kedaulatan bangsa di mata bangsa lain dengan cara membakar perahu nelayan asing yang melakukan illegal fishing, menghukum mati penjahat narkoba yang berasal dari negara lain. Namun dalam perjalanan berikutnya menjelang satu tahun, tekanan-tekanan yang mengindikasikan bahwa bangsa /pemerintahan ini tidak bisa berdaulat itu sudah mulai terasa juga. Baru-baru ini dirilis berita ada penghentian hukuman mati untuk bandar/pengedar narkoba dengan alasan demi menjaga perkembangan perekonomian kita, tenaga kerja asing boleh masuk satu paket dengan investasinya dan tidak harus bisa berbahasa Indonesia, negara memaksakan diri menyetujui proyek KA Cepat Jakarta-Bandung yang sebelumnya dikatakan batal bahkan rela “menggadaikan” 3 bank BUMN kita sebagai jaminan, tidak jadi mengumumkan perusahaan yang terlibat pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Ekspor konsentrat PT Freeport diperpanjang lagi, dll.
Kalau berikutnya pemerintahan Pak Jokowi ternyata juga melupakan /mengabaikan “ Ajaran Trisakti-nya Bung Karno” dan melanjutkan “kegemaran” berutang negara ini, serta mengobral investasi asing terutama di bidang yang sangat strategis, yaitu : listrik , pelabuhan , bendungan, dll itu sama dengan menyerahkan ”leher atau jantung” negara kita ini ke negara lain. Apa ada negara yang mau membesarkan negara lain untuk menjadi pesaingnya di kemudian hari, selain mereka memiliki misi-misi tertentu ?
Buktipun sudah ada, antara lain: ketika pertambangan migas banyak yang habis kontrak, seharusnya kita senang bisa memiliki pertambangan sendiri, tetapi kenyataannya kita tetap saja membiarkan untuk diperpanjang lagi. Ketika listrik 10.000 megawatt ditangani negara Cina, kita harus menerima kenyataan adanya serbuan barang-barang mereka ke negeri ini. Di samping itu, target penyelesaian pembangunan listrik tersebut molor, dan setelah jadi ternyata juga bermasalah karena tidak sesuai dengan ordernya. Juga kapasitasnya tidak sebagaimana yang seharusnya. Mengapa bisa terjadi demikian ?
Akibat dari semua itu, rusaklah mimpi untuk bisa menyejahterakan rakyat Indonesia. Sebaliknya sekarang ini rakyat yang harus menanggung beban mahalnya harga BBM dan listrik sehingga harga-harga produk juga menjadi mahal. Padahal BBM dan listrik itu merupakan hasil olahan kekayaan alam yang kita miliki. Ironis sekali !
Kesimpulan
Jadi jelaslah, banyaknya utang luar negeri dan investasi asing itu kalau tidak dikendalikan justru akan merugikan negara ke depannya. Apalagi kalau tiba-tiba perekonomian dunia terpuruk seperti sekarang ini. Termasuk untuk negara-negara maju yang punya banyak utang itu : AS, Jepang, negara-negara tetangga sebenarnya juga kelimpungan dalam menghadapi cicilan utangnya. Karena itu mereka terus berusaha “memelihara negara kita” agar jangan sampai lepas dari kendali mereka, supaya utang-utang mereka lancar cicilannya. Sementara negara kita, apa yang bisa diandalkan ?
Karena itu kepada Pak Jokowi, mohon gerakan investasi asing (utang) yang katanya akan dilakukan untuk pembangunan infrastruktur “secara besar-besaran” di bidang-bidang yang strategis itu hendaknya ditinjau lagi. Kalau investasi asing itu benar-benar investasi langsung yang murni (bukan dari utang) dan dilakukan di bidang yang tidak vital, masih bolehlah misalnya: pariwisata, perhotelan, perindustrian, dll. Karena apabila kemudian ternyata bermasalah, itu tidak akan merusak program nasional yang sudah direncanakan.
Selanjutnya, janganlah silau pada kemajuan semu negara-negara lain ! Kembalilah pada ajaran Trisaktinya Bung Karno, agar bangsa ini pelan-pelan bisa bangkit untuk menegakkan kedaulatannya. Dengan cara demikian, diharapkan negara kita bisa segera menyusul, bahkan menyalip reputasi mereka. “Bapak diharapkan bisa menjadi peletak pondasi pembangunan bangsa Indonesia yang baru, bukan penerus generasi lama yang sudah salah kelola !”
Referensi:
http://www.djppr.kemenkeu.go.id/page/load/24
http://id.tradingeconomics.com/country-list/foreign-exchange-reserves
http://www.tradingeconomics.com/country-list/government-debt-to-gdp
http://www4.bkpm.go.id/contents/p16/statistics/17#.Vo3ZH0_4RNA
http://www.beritasatu.com/pasar-modal/240625-ksei-kepemilikan-saham-masih-didominasi-investor-asing.html
http://katadata.co.id/berita/2015/04/24/kualitas-pembangkit-listrik-buruk-cina-siap-tanggung-jawab#sthash.0yY35Pcj.dpbs
http://www.sinarharapan.co/news/read/141006029/beban-utang-pemerintah-2015-makin-berat-
http://www.bi.go.id/en/statistik/utang-luar-negeri/Default.aspx
http://www.seputarforex.com/data/kurs_dollar_rupiah/
Catatan:
Artikel ini pada 10 Januari 2016 telah diedit, data yang ada sebelumnya berupa rangkaian kalimat telah diubah atau ditambahkan dalam bentuk tabel agar pemahamannya lebih mudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H