Jokowi: Subsidi BBM Rp 714 Triliun, Sangat Boros! (Kompas.com)
Mencari “teman senasib”, itulah kebiasaan buruk pemerintah kita. Tak peduli negeri ini besar dan kekayaan berlimpah, kalau perekonomian kita memburuk maka pemerintah akan cepat-cepat menunjukkan negara lain yang juga memburuk: Malaysia, Thailand, Singapura, dll. Padahal perekonomian mereka memburuk itu karena terkena dampak dari perekonomian negara kita yang juga memburuk. Sebagaimana negara kita, yang saat ini tergantung dari negeri Cina. Pemerintah tak mau menunjukkan bahwa ada negara lain yang pertumbuhan ekonominya lebih baik dari Indonesia, misalnya: India 7,5%; Vietnam 6,1%; Philipina 5,7%; di mana pertumbuhan ekonomi tersebut melebihi pertumbuhan ekonomi negara kita yang hanya 4,7%.Akibat dari cara berpikir yang demikian itu, pemerintah tidak pernah menemukan solusi yang tepat dalam mengatasi masalah perekonomian di negeri ini.
Yang dijadikan “kambing hitam” oleh pemerintah adalah subsidi BBM. Di mana katanya subsidi BBM hanya habis dibakar-bakar di jalanan. Padahal BBM itu memiliki peran multifungsi: untuk transportasi semua industri, untuk bahan bakar industri kecil dan mikro, untuk bahan bakar listrik, untuk transportasi umum, untuk transportasi pribadi (sepeda motor dan mobil), dll. Tetapi demi “menghipnotis” rakyat, kemudian dipukul rata bahwa BBM itu hanya habis dibakar-bakar oleh kendaraan pribadi (orang-orang kaya). Pemerintah seolah tidak paham bahwa BBM ini adalah penggerak perekonomian negara, karena “murahnya” BBM akan bisa meningkatkan daya saing industri secara global, meningkatkan daya beli rakyat, dan sangat membantu mobilitas calon konsumennya. Bagaimana perekonomian akan bisa berkembang maju, kalau produk-produk harganya mahal, dan mobilitas rakyat dihambat dengan mahalnya harga BBM?
Salah Memahami Makna subsidi
Subsidi akhir-akhir ini dimaknai sebagai bantuan sosial. Akibatnya yang jadi hitung-hitungan adalah orang yang kaya dapat jatah lebih banyak dibandingkan orang miskin. Karena itu kemudian disimpulkan, bahwa ini salah sasaran, sehingga subsidi BBM perlu dicabut dan diganti dengan “subsidi orang miskin”. Benarkah demikian? Itulah kesalahan fatalnya!
Subsidi itu berbeda dengan bantuan sosial. Subsidi tidak berupa uang tetapi berupa pengurangan harga, ketika kita membeli produk tertentu atau mengikuti kegiatan tertentu sehingga harganya bisa lebih murah dan terjangkau oleh banyak rakyat. Sedangkan bantuan sosial, bentuknya berupa uang yang diberikan kepada kalangan tertentu dan oleh penerimanya bisa dibelikan apa saja yang dia inginkan.
Dalam setiap subsidi yang diberikan oleh pemerintah, sebenarnya ada misi yang jauh lebih besar dibanding pemberian subsidi itu sendiri. Sebagai contoh: subsidi KUR agar pengusaha kecil mendapatkan modal melalui kredit bunga murah sehingga produknya juga lebih murah, konsumennya lebih banyak, dan keuntungannya lebih besar. Subsidi pupuk diberikan agar produk pertanian lebih murah sehingga konsumen lebih banyak dan petani bisa lebih sejahtera. Subsidi rumah murah agar lebih banyak orang yang kurang mampu bisa membeli rumah sederhana, sehingga industri perumahan dan pendukungnya ini bisa terus berkembang dan rakyat bisa hidup lebih sejahtera.
Subsidi listrik diberikan agar biaya produk industri yang menggunakan energi listrik bisa lebih murah dan peralatan yang menggunakan listrik bisa banyak terjual karena biaya oprasionalnya murah. Sedangkan untuk subsidi BBM, manfaatnya jauh lebih banyak lagi sehingga dampak kesejahteraannya pun akan jauh lebih luas, yaitu: harga produknya lebih murah dan daya beli masyarakat meningkat ganda karena harga BBM untuk transportasinya juga murah. Jadi pemberian “subsidi” BBM itu misinya sangat komprehensif, yaitu untuk menggerakkan perekonomian dengan cara yang paling efektif sehingga hasil yang didapatkan bisa maksimal, serta untuk memperoleh dampak yang paling menguntungkan, yaitu terciptanya perluasan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Juga masih ada efek multiplier berikutnya, antara lain: adanya pembeli yang bertambah banyak maka produksi perusahaan bertambah banyak pula, dan penerimaan negara dari pajak serta devisa negara bisa semakin besar.
Bagaimana dengan bantuan sosial yang diartikan sebagai “subsidi orang miskin”? Karena bentuknya berupa uang, maka mereka bisa membeli apa saja semau-maunya. Bahkan mereka banyak memanfaatkan uang tersebut untuk membeli hal-hal yang tidak penting, misalnya: rokok, pakaian baru, pulsa, perhiasan, dll. Sementara untuk kebutuhan gizi makanan keluarganya, biasanya tetap diabaikan. Artinya pemberian “subsidi” yang seperti ini, justru lebih banyak tidak tepat sasaran sebagaimana misi yang seharusnya, yaitu membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Pada sisi lain, “subsidi” seperti ini tidak banyak memberikan efek multiplier untuk bisa menggerakkan perekonomian bangsa. Yang memprihatinkan lagi, hal ini bisa memicu rakyat miskin usia produktif menjadi malas. Apakah kebijakan yang seperti ini akan diteruskan?
Negara Maju Tak Memberikan Subsidi BBM
“Negara-negara yang lebih maju (negara-negara tetangga) sebelum harga BBM merosot tetap memilih tidak memberikan subsidi BBM”. Informasi ini sering kali diekspos untuk membenarkan adanya pencabutan subsidi BBM di negara kita. Namun mengapa di negara-negara tersebut bisa melakukan hal itu, tidaklah diungkapkan. Mengapa mereka bisa melakukan itu? Karena pemberian subsidi tersebut sudah tidak dibutuhkan oleh rakyatnya sebab pendapatan percapita mereka sudah besar. Menurut World Bank 2013 (keluarnya data 2 tahun sekali): Singapura pendapatan percapitanya 55.182 USD per-tahun, Malaysia pendapatan percapitanya 10.538 USD , dan Thailand pendapatan percapitanya 5.778 USD . Dengan kurs Rp 13.500 berarti, penduduk Singapura berpenghasilan Rp 62 juta ber bulan, Malaysia Rp 11 juta/bulan, Thailand Rp 6,5 juta/bulan.
Dengan pendapatan per kapita tersebut, mereka beli BBM di atas Rp 10.000 per liter tidak masalah. Sedangkan Indonesia pendapatan per kapitanya 3.475 USD atau sekitar Rp 3,9 juta/bulan, bahkan realitanya banyak yang di bawah itu. Harga BBM Rp 7500 telah membuat banyak rakyat harus kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan PHK terjadi di mana-mana. Artinya, kalau mau menilai apakah di suatu negara itu harga BBM-nya mahal atau murah, perlu disubsidi BBM-nya atau tidak, bukan hanya melihat perbandingan harga BBM-nya saja, tetapi juga harus dibandingkan berapa besar pendapatan per kapita rakyatnya. Itu baru cara yang benar!
Apalagi ternyata Merdeka.com memberitakan bahwa sejak Oktober 2015 harga BBM Ron 95 di Malaysia naik menjadi Rp 6900/liter (sebelum itu lebih murah lagi), sedangkan di Indonesia Ron 95 sekitar Rp 11.000. Sementara premium /Ron 88 di Indonesia dijual Rp 7400/liter dan tanggal 6 Januari 2016 baru direncanakan ada penurunan harga premium menjadi Rp 7.150. Ini membuktikan bahwa BBM kita tidak paling murah, bukan?
Solusi Efek Negatif Subsidi BBM
Efek negatif subsidi BBM di Indonesia adalah mereka yang banyak uang akan selalu memilih pakai mobil pribadi ke mana pun mereka pergi, tak peduli walaupun perginya hanya sendirian. Akibatnya impor BBM-nya menjadi tinggi dan anggaran subsidinya semakin besar, kemacetan di jalan raya semakin panjang sehingga terjadilah “bakar-bakar BBM yang sia-sia”, polusi udara pun semakin meningkat dan tingkat stres pengguna jalan raya semakin tinggi.
Kalau problemnya seperti itu, penyelesaian masalahnya tidaklah harus menyusahkan seluruh rakyat Indonesia. Mau menangkap tikus di lumbung padi, jangan bakar semua penghuninya! “Ciduk saja” para pembakar BBM ini! Caranya juga tidaklah sulit, yaitu: buat peraturan seperti di negara maju Jepang, Singapura, dll sehingga orang tidak setiap saat bisa/mau menggunakan mobil pribadi, dan pemborosan BBM-nyapun bisa dicegah. Juga rakyat jangan didorong untuk membeli mobil dengan sistem kredit. Sebaliknya eksporlah mobil itu sebanyak-banyaknya dengan harga yang bersaing.
Dengan cara tersebut, pemerintah bisa mengurangi pemborosan BBM tanpa menyusahkan rakyat kecil, neraca perdagangan tidak terlalu dibebani oleh impor BBM yang terus bertambah besar, dan nilai tukar rupiahpun bisa meningkat. Efek multiplier berikutnya yaitu: bahan baku impor lebih murah, cicilan hutang luar negeri bisa lebih murah, tarif listrik bisa ditekan, ongkos produksi bisa lebih murah, daya saing meningkat, permintaan terhadap produk industri semakin banyak, berbagai ekspor bisa berkembang, serta pendapatan negara bisa bertambah besar.
Tidak seperti saat ini, BBM harganya lebih mahal tetapi pemborosan BBM oleh orang kaya tetap terjadi. Akibatnya, kurs rupiahnya terus tertekan sehingga impor bahan baku tetap mahal, harga produk industri juga mahal. Bahkan hutang negara yang seharusnya bisa berkurang karena sudah bayar cicilan, justru bertambah banyak!
Oleh karena itu, kalau bangsa kita ingin memperbaiki perekonomian Indonesia agar bisa berkembang secara maksimal, maka seharusnya perbaiki terlebih dahulu pemahaman pemerintah dan rakyat tentang subsidi, terutama tentang subsidi BBM. Juga kita harus paham bahwa memberikan subsidi itu tidak bisa sembarangan. Kalau pemberiannya tidak tepat, justru akan menimbulkan dampak buruk. Sebaliknya, apabila pemberian subsidi itu tepat maka dampak positifnya akan sangat luas. Dan, pemberian subsidi yang dampak positifnya paling banyak yaitu subsidi BBM, disusul kemudian subsidi listrik, karena kedua subsidi ini mempunyai efek ganda, baik dari sisi produsen maupun sisi konsumennya.
Apabila pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian subsidi (penurunan harga) BBM tidak serta-merta diikuti dengan penurunan harga-harga produk, itu karena pemerintah tidak paham akan dampak beruntun dari kenaikan harga BBM, yang juga mengakibatkan nilai tukar rupiah jadi melemah. Untuk itu, seharusnya yang dilakukan pemerintah bukan sekedar menurunkan harga BBM sedikit-sedikit tetapi kembalikan harga BBM seperti semula. Di samping itu juga harus bisa mengembalikan nilai tukar rupiah sebagaimana sebelum harga BBM ini dinaikkan. Apabila kedua hal tersebut sudah bisa dilakukan, baru kita berharap harga-harga produk industri juga akan turun.
Namun, kalau ternyata harga-harga produk tetap tidak mau turun, maka pemerintah boleh marah dan “mengejar” para pengusaha yang nakal itu. Sebaliknya kalau pemerintah bisanya hanya menurunkan harga BBM sedikit saja dan tetap membiarkan rupiahnya melemah, maka jangan salahkan para pengusaha kalau mereka tetap tidak mau menurunkan harga produk-produknya. Karena faktor penentu utama harga produk industri bukan hanya BBM saja, tetapi juga nilai tukar rupiah.
Semoga hal ini bisa memberikan pencerahan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H