Pun tidak terlihat niat baik pengelola negara ini untuk melihat implikasi ini sebagai ancaman serius kehidupan bernegara.
Saya sendiri sejauh ini masih yakin, karena kelemahan mendasar rumusannya, UU PNPS ini di lapangan banyak ditafsirkan sebagai pengkelasan warga negara. Ada yang lebih superior karena agama dan keyakinan yang dipeluknya, dan dengan itu ada kelompok lain yang bisa dinegasikan hak-haknya karena pilihan agama dan keyakinannya. Fakta bahwa negara hanya memfasilitasi beberapa kelompok “agama resmi” juga menunjukkan secara gamblang pengkelasan itu.
Pak Mahfud MD, Ketua MK yang saya banggakan.
Sebagaimana telah disebut, tentu saja kasus Sampang ini tidak bisa dilihat dari satu faktor penodaan agama ini saja. Tapi faktor sensitif inilah yang menjadi bensin yang mampu membakar emosi massa secara luar biasa. Ditambah, di lapangan, beberapa tokoh agama, bahkan beberapa pejabat publik lokal turut andil langsung mengemas kasus Sampang dalam kerangka faktor ini.
Sekadar contoh adalah fatwa MUI Jawa Timur tentang kesesatan Syiah dan beberapa lontaran pernyataan Bupati Sampang yang secara tegas menolak “aliran sesat” masuk ke Sampang.
Sebenarnya, banyak kalangan juga sudah terlalu sering menyatakan kepada publik, kepada para pengelola negara, bahwa penyelesaian pemerintah selama ini terhadap kasus Ahmadiyah, kasus Eden, dan kasus-kasus berjudul “penodaan agama” akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Lebih jauh lagi, akan menjadi catatan buruk terhadap proses demokratisasi di Indonesia.
Rekomendasi resmi Komnas HAM dalam banyak kasus serupa juga secara jelas menyebut indikator-indikator kebencian dan logika penyesatan oleh kelompok satu terhadap kelompok lain.
Namun, di luar fakta-fakta terang benderang bahwa terjadi pembiaran oleh aparat negara dalam kasus-kasus sejenis ini, pemerintah seakan tidak menaruh perhatian serius terhadap pelabelan penodaan agama ini, untuk tidak mengatakan malah berpihak kepada kelompok dominan yang dengan mudah melakukan stigma terhadap kelompok lain yang berbeda, tak peduli apakah mereka memenuhi unsur “menodai” atau tidak secara definisi hukum. Atau juga, apakah memang ada rumusan hukum yang tepat untuk kata “menodai” atau tidak.
Hasilnya, status menodai agama menjadi semacam penyakit kusta yang lalu menghalalkan orang untuk memusuhi, mengusir, dan bahkan membunuh sang penoda. Disadari atau tidak, status inilah yang kini menempel pada pengungsi Ahmadiyah di Lombok, korban Cikeusik, dan korban Sampang.
Pak Mahfud MD, Ketua MK yang saya banggakan.
Saya tak hendak menyalahkan Anda dalam kasus ini. Saya hanya ingin mengingatkan, bahwa di negeri gemah ripah loh jinawi ini, kita masih memiliki pekerjaan rumah yang sangat krusial. Jika hal ini selalu dan selalu diabaikan, bukan tidak mungkin peradaban negeri ini akan mundur jauh ke belakang, ke abad pertengahan, bahkan kegelapan.