Mohon tunggu...
W Anggita Jaya
W Anggita Jaya Mohon Tunggu... -

Hidup ini penuh tantangan yang menuntun untuk menjadi cerdas sekaligus bijaksana... apapun kisahnya, nikmatilah itu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Legenda Sikopel

4 September 2014   00:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:42 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah lebih dari setengah abad masa itu berlalu, masa ketika Banjarnegara dipimpin oleh seorang Bupati yang begitu memasyarakat. Pemimpin yang setulus hati berkenan merelakan waktu istirahatnya digunakan untuk berbincang mesra dengan warga dari hati ke hati secara langsung.

Oh bukan, tentu saja hal itu dilakukan bukan karena Sang Bupati tidak mempercayai laporan dari para Wedana, Camat maupun Lurah-nya, bukan itu! Beliau hanya ingin dapat lebih menyatu dengan semua elemen masyarakat, agar bisa mempercepat proses pembangunan disegala bidang di wilayah yang dipimpinnya.

Tentu saja, Sang Istri Bupati telah paham betul akan kebiasaan suaminya tersebut sehingga Beliau-pun turut mempersiapkan sesuatu ketika malam itu, selepas maghrib suaminya telah bersiap hendak keluar bertandang, sowan, mengunjungi para pinisepuh.

“Bapak hati-hati diluar....”

“Tenang, Bu... Bapak kan selalu bawa ini!” Ujar Sang Bupati kepada istri tercintanya sembari menunjukkan senapan angin yang menjadi teman sekaligus penjaga setia, selama Beliau melakukan kunjungan malam atau turba (turun ke bawah).

“Oh ya, Pak, ini ada kacang goreng, kripik tempe & beberapa camilan lain untuk oleh-oleh biar nanti ndak ketemu toya kendel!”

“Wah, iya Bu... terima kasih! Mantap ini, buat teman diskusi! Bapak pergi dulu ya, Bu!”

Sang istri hanya tersenyum memandang suaminya. Dalam hatinya, teruntai doa yang tak terputus agar Tuhan senantiasa berkenan menjaga serta membantu suami tercintanya.

Sang Bupati–pun segera berangkat menembus senja temaram yang kian pekat beranjak malam. Kali ini beliau berniat mengunjungi desa yang hanya berjarak sekitar tujuh kilo dari rumah tinggalnya.

Bukit & pegunungan yang beberapa jam lalu masih segar menghijau dipandang mata, kini tak lagi menampakkan kesejukannya. Hanya menyisakan siluet hitam yang legam kokoh, tegak di kaki langit. Sementara dari kejauhan, nyanyi rimba para binatang malam mulai samar semarak terdengar meriah.

Sang Bupati melangkah pasti menyusuri jalan-jalan desa yang masih berupa jalan debu berkerikil. Beliau berpakaian biasa saja, sederhana seperti penampilan petani pada umumnya. Dengan kewaspadaan penuh, digenggamnya senapan angin yang diselempangkan dipundak kanan beliau karena dizaman itu, ancaman bukan hanya datang dari para manusia jahat saja tetapi juga dari binatang liar yang masih banyak berkeliaran, seperti babi hutan.

Malam kian larut, bintang-bintang telah sempurna menghias langit menemani bulan yang bersinar cerah ketika Sang Bupati sampai di areal persawahan yang tak jauh dari desa yang tengah Beliau tuju. Suara gemericik air parit khas daerah pertanian yang mengalir di kanan kiri jalan serta merta membangkitkan kenangan Sang Bupati akan Ayah & Kakek Beliau yang sebelumnya juga menjabat sebagai Bupati Banjarnegara yaitu K.R.T Jayanegara II & K.R.T Jayanegara I.

Sejenak Sang Bupati menghela nafas panjang. Menyadari sepenuh jiwa bahwa gelar bangsawan serta pangkat tinggi sebagai Bupati yang kini diembannya, sungguh bukanlah sesuatu hal yang layak untuk diagungkan atau dibangga-banggakan. Semua itu merupakan bingkisan dari Yang Kuasa yang berisi tanggung jawab besar untuk dapat men-sejahterakan seluruh elemen masyarakat terutama kaum lemah yang berada dibawah kepemimpinannya.

Beliau teringat betul, semenjak kecil beliau dididik oleh kedua orang tuanya untuk selalu hidup sesederhana mungkin, tidak menghiraukan pangkat-pangkat yang tinggi, tidak menghiraukan turunan bangsawan, tidak menghiraukan pujian, tidak menghiraukan popularitas yang kosong, partai-partai & ormas-ormas & lainnya. Bersama-sama Pak Kromo di pedusunan, Mbok Bikah & Mbok Sarwinem di warung kecil & pedagang-pedagang pasar di desa. Mereka semua itulah Saudara Sang Bupati.

Ah, betapa beratnya makna sebuah amanat & tanggung jawab seorang pemimpin!!! Tapi tentu tidak mustahil untuk dilakoni dengan baik jika antara pemimpin serta yang dipimpin bisa bersinergi & bekerja sama dengan baik untuk mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan yang menyeluruh & merata.

Senyum Sang Bupati merekah tenang ketika memasuki perkampungan yang dari jauh hanya tampak sebagai kumpulan titik-titik cahaya temaram lampu minyak.

“Kulanuwun, permisi!!!”

Dengan penuh sopan santun Beliau masuk ke sebuah balai rumah yang tampak sederhana namun memancarkan suasana ramah yang penuh kehangatan.

“Ealah, Ndara Kanjeng Bupati??! Mangga, mangga... mlebet, Ndara!”

Seorang Bapak yang sudah berusia lebih dari setengah abad tergesa-gesa menyambut kedatangan pemimpin yang sama sekali tak dinyana.

Beberapa saat kemudian, Sang Bupati sudah tampak akrab mengobrol dengan warga desa yang tak berapa lama turut berkumpul di kediaman Kaki Pinesepuh begitu mendengar kedatangan pemimpin yang begitu mereka segani. Dalam percakapan, Sang Bupati lebih banyak menyimak, sementara masyarakat diberi kesempatan sebanyak mungkin menyampaikan aspirasi, ngudarasa permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.

Suasana yang nyaman membuat perbincangan yang sejatinya berat menjadi demikian menyenangkan hingga waktu terasa berlalu begitu cepat. Menjelang tengah malam, warga desa mulai beranjak pulang ke rumah masing-masing. Hanya tinggal beberapa pemuda yang masih berkumpul di beranda hendak mengantar Sang Bupati yang sepertinya masih berbincang dengan Kaki Pinesepuh di dalam bilik.

∞∞∞ ¥ ∞∞∞

Ki, sejujurnya ada beberapa persoalan warga yang sampai saat ini belum mampu saya selesaikan.” Tutur Sang Bupati, “mungkin Kaki sendiri sudah paham betul permasalahannya.”

“Mungkin sebaiknya Ndara Kanjeng menyepi untuk sementara waktu, meminta petunjuk Yang Kuasa.”

“Maksudnya, saya harus bersemedi???”

“Tuhan selalu menciptakan segala sesuatunya berpasangan, termasuk masalah. Dia tentu sudah menciptakan persoalan satu paket beserta solusi pemecahannya.” Kaki Pinesepuh terdiam sejenak, “hanya saja, seringkali dunia yang bising membuat pemikiran menjadi keruh hingga tak mampu melihat solusi yang sebenarnya ada tepat di depan mata.”

Kaki Pinesepuh tersenyum, seolah mampu membaca sesuatu pikiran yang berkelebat di benak Sang Bupati yang terdiam namun tampak tengah berpikir keras.

Kemudian lanjutnya, “menyepi, berdiam diri di tempat sunyi bukan untuk menyekutukan Tuhan, Ndara! Kesunyian akan lebih dapat membantu menenangkan pikiran, sehingga lebih mampu berpikir jernih.”

“Tetapi saya tidak mungkin berhari-hari meninggalkan rakyat hanya sekedar untuk menyepi, Ki! Ada banyak sekali tugas-tugas & kewajiban yang harus saya selesaikan.”

“Tak perlu berhari-hari, cukup disela waktu saja Ndara... ketika Ndara Kanjeng menemukan kesempatan & tempat yang dirasa pas.”

“Ya, semoga saya dapat mengemban amanah rakyat & semua persoalan yang saat ini tengah dihadapi dapat segera terselesaikan dengan baik.”

∞∞∞ ¥ ∞∞∞

Hari-hari Sang Bupati berjalan seperti biasanya, sibuk berkutat dengan segala tugas & tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang setia melayani rakyat. Masalah menyepi, tidak terlalu beliau pikirkan atau niatkan secara khusus.

Hingga pada suatu hari, ketika Sang Bupati tengah mengunjungi Desa Babadan yang berada di selatan wilayah dataran tinggi Dieng, beliau menemukan sebuah air terjun yang suasananya terasa begitu menyenangkan.

“Betul kata Kaki Pinesepuh tempo hari, tempat & suasana yang nyaman membuat pikiran lebih tenang hingga dapat berpikir lebih jernih. Untunglah, aku menemukan tempat ini tidak saat sedang kunjungan dinas.” Bisik Beliau dalam hati sembari melepas penat & menikmati keindahan alam di sekitar air terjun tersebut.

Mungkin memang sudah kehendak Yang Kuasa karena tanpa terduga, di tempat itu Sang Bupati menemukan sebuah goa yang cukup tersembunyi sehingga beliau memutuskan untuk menyepi (bersemedi) sejenak dengan kedua mata terpejam nyaman. Jiwa beliau terasa begitu tenang & segala persoalan tampak begitu jelas pemecahannya. Ketika membuka mata, Beliau terkejut mendapati dirinya yang merasa lebih plong & lebih terkejut lagi ketika Beliau kemudian mendapati sebuah kopel kuda berada di dalam goa yang tersembunyi.

Entah apa makna yang tersirat dari sebuah kopel kuda, mungkin hanya Sang Bupati & Tuhan sajalah yang memahaminya karena terlepas dari benar atau tidaknya cerita tersebut, karena temuan itulah air terjun itu akhirnya sampai saat ini dikenal dengan nama air terjun Sikopel & sosok Sang Bupati Banjarnegara yang ke-5 itupun masih menjadi sosok yang disegani & layak menjadi suri tauladan pemimpin-pemimpin saat ini.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR ISTILAH

Kaki Pinesepuh: kakek sesepuh (orang yang dituakan atau dihormati—biasanya karena kebijaksanaan-nya)

Kopel:tali kendali kuda

Ngudarasa:mencurahkan perasaan

Sowan:ber-silaturahmi—biasanya ke tempat orang yang lebih tua / yang dihormati

Toya kendel: istilah jawa untuk menyebut suguhan air tanpa adanya camilan sebagai teman minum (toya=air ; kendel=berani)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun