Marak dan masifnya pembagian sembako menjelang Pilkada DKI putaran kedua oleh kontestan, benar-benar mencoreng demokrasi di tanah air. Betapa tidak, Jakarta sebagai ibukota Negara telah menjadi barometer bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini juga mengejutkan, bagaimana mungkin bisa terjadi di DKI, dimana pemilihnya mayoritas terdidik dan mapan, kelompok yang sering diasumsikan sebagai pemilih rasional. Sementara itu, bagi-bagi sembako adalah cara kuno yang sebenarnya marak terjadi di daerah-daerah dengan pemilih yang mayoritas masih miskin dan kurang terdidik, mereka umumnya bersifat pragmatis. Selain itu, Pilkada DKI “dipelototin” banyak pihak, tidak hanya LSM tapi juga berbagai aparat berwenang, tapi mengapa ada pihak yang begitu berani melanggar hukum secara vulgar, melakukan "money politic".
Mengapa cara kampanye dengan pola bagi-bagi sembako masih menarik?.
Tipisnya perbedaan suara kedua pasangan calon, bahkan ada satu calon yang di banyak survey disebut-sebut akan kalah tipis. Hal ini bisa menimbulkan godaan untuk menghalakan segala cara. Suara yang masih sangat mungkin direbut terutama dari kalangan masyarakat pragmatis. “Swing voters” dari masyarakat miskin dan kurang terdidik ini, besar peluangnya untuk direbut dengan cara memberikan sesuatu yang bersifat materi dan bisa dinikmati langsung.
Di sisi lain, cukup dominan kalangan menengah atas dan terdidik di DKI. Mereka umumnya sudah memiliki pilihan berdasarkan pertimbangan rasional dengan mencermati kapabilitas, kredibilitas, dan program yang disampaikan para kandidat terutama pada saat debat antar calon.
Bagi Sembako, dongkrak atau lorotkan suara?
Adanya aktifitas bagi-bagi sembako gratis oleh calon ke kalangan masyarakat pragmatis bisa jadi cukup efektif. Sebagian dari kaum miskin dan kurang terdidik kemudian terpincut dan memutuskan memilih pasangan yang memberi sesuatu. Namun belum tentu juga semuanya, ummat muslim yang beriman sekalipun miskin, tentu lebih nyaman memilih calon yang seiman dengan mereka. Di sisi lain, kalangan menengah atas dan terdidik, tentu terusik dengan perbuatan culas calon yang melakukan money politic tersebut. Mereka yang awalnya percaya pada kredibilitas calon tersebut yang disebut-sebut jujur dan anti korupsi, tentu akan melihat fakta sebaliknya. Ternyata calon yang tadinya mereka idolakan, tidak sebaik yang selama ini dicitrakan. Walhasil yang kemudian muncul adalah sikap antipati, pemilih rasional boleh jadi justru akan memilih calon lain yang tidak curang. Minimal mereka akan memutuskan untuk golput saja karena kecewa.
Walhasil, tambahan perolehan suara dari kalangan pragmatis akan dibarter dengan hengkangnya suara dari kelompok rasional yang muak terhadap watak asli calon yang tadinya hendak mereka pilih. Dengan demikian, bagi-bagi sembako yang boleh jadi akibat kepanikan calon yang merasa akan kalah, tidak akan menambah suara, tapi justru akan memperdalam tempat jatuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H