Mohon tunggu...
Rizal Amri
Rizal Amri Mohon Tunggu... -

Pengamat barang kerajinan dan rajin mengamati peristiwa politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Harga Demokrat Melesat, Ruhut Rusak Skenario

19 Februari 2017   10:23 Diperbarui: 19 Februari 2017   11:11 3817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana diduga banyak pengamat, Partai Amanat Nasional (PAN) akan lebih condong mendukung pasangan Anis Baswedan - Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI putaran kedua. Sikap PAN yang sebelumnya mengusung Agus Harimurti Yudhoyono - Silvyana Murni ini, dilatarbelakangi desakan dari simpatisannya.

"Dari pantauan kami SMS/WA itu simpatisan pengurus bukan saja dari DKI tapi banyak dari Kalimantan, Jawa, Sulawesi ya kalau bisa jangan ke Ahok lah," kata politikus PAN Yandri Susanto dalam diskusi bertajuk 'Sinema Politik DKI' di Cikini, Jakarta, Sabtu (18/2/2017).

PAN sejak awal memang tidak bersedia mendukung Ahok, sekalipun sudah dilobi berkali-kali oleh PDIP. Demikian pula di DPR, Fraksi PAN adalah salah satu pendukung hak angket status Ahok sebagai gubernur yang sudah menjadi tersangka.

Kondisi ini membuat partai Demokrat menjadi incaran PDIP untuk diajak mendukung Ahok. Sebagaimana harapan yang disampaikan oleh politikus PDIP Eva Kusuma Sundari.

 "Semoga Pak SBY berkenan untuk mendukung Basuki-Djarot. Bagiku platform ideologi Demokrat sama yaitu nasionalis religius walau dalam taktik mungkin beda. Jadi tidak ada gangguan ideologis sebagai partai nasionalis kebangsaan untuk gabung dengan PDIP," kata Eva, Kamis (16/2).

Sayangnya “rayuan” Eva itu dirusak oleh ledekan Ruhut Sitompul terhadap SBY. Ruhut yang mantan politisi Demokrat ini, menyebut SBY memajukan anak sulungnya pada Pilkada DKI gara-gara “dibodohi” para pembisik.

 "Kasihan Pak SBY. Pak SBY ini terpengaruh sama pembisik-pembisiknya saja. Enggak enak kan jadinya, ini seperti Pak SBY lawan Ruhut, Ruhut yang menang. Aku enggak kaget Agus kalah. Sudah pasti kalah kok," ujar Ruhut.

Padahal menurut Ruhut, Agus sudah dia upayakan agar karirnya bagus di militer.

 "Aku kan yang paling enggak setuju anaknya mundur. Tanya orang, tanya Presiden (Jokowi). Aku pernah nitip anaknya (SBY) kok biar jadi jenderal, tapi ya sudahlah. Yang penting aku happy. Ahok-ku menang sama Djarot," pungkas Ruhut sambil tetawa.

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memang tidak lolos pada putaran kedua Pilgub DKI, namun bagi SBY sepertinya memenangi Pilgub DKI bukanlah tujuan utama. Banyak pihak menilai SBY hanya ingin mengambil momentum untuk memunculkan AHY di panggung politik. SBY terbukti tak salah berhitung, Pilkada DKI berhasil melejitkan popularitas AHY dan diperkirakan akan menjadi "the rising star" di ranah perpolitikan tanah air. SBY dan Demokrat akan memanen hasil investasi ini di masa depan.

Sebaliknya, bagi Megawati, kegagalan Ahok untuk menang satu putaran dan dengan selisih angka tipis, tentu cukup mengecewakan. Terlebih lagi, PDIP harus “merengek” pada SBY agar mau mendukung Ahok, jika tidak ingin kalah di putaran kedua.

Pada waktu yang sama, SBY mendapat hiburan dengan kemenangan kadernya Wahidin Halim (WH) di Pilgub Banten. Sebaliknya, kekalahan sangat tipis gubernur petahana Rano Karno yang diusung PDIP, tentu sangat “menyesakkan dada” Mega. Lepas sudah cengkeraman kekuasaan PDIP di Banten.

Hubungan SBY dan Megawati tidak pernah harmonis sepuluh tahun lebih ini. Bahkan semakin sulit untuk dicairkan, terlebih semenjak SBY akhir-akhir ini merasa terzholimi di era dimana PDIP menjadi partai penguasa. Puncaknya adalah skandal dugaan penyadapan telpon SBY. Ditambah lagi dengan "serangan" Antasari Azhar (AA) terhadap SBY, sesaat setelah dia “dilepaskan” oleh Presiden Jokowi dari tahanan. Grasi yang menurut SBY bernuansa politis dan serangan AA itu ditujukan untuk mengganjal kemenangan anaknya, AHY. Belum lagi ditemukannya ratusan ribu selebaran gelap yang mendiskreditkan calon no.1 maupun no.3.

Situasi ini, di satu sisi memposisikan Mega harus “merengek” pada SBY dan juga "menangis" karena SBY. Di sisi lain, SBY merasa dirinya sedang terzholimi oleh penguasa. Kondisi ini secara psikologis tentu bukan waktu yang tepat untuk menjalin komunikas. Apalagi hanya sekedar untuk tujuan pragmatis yang tidak banyak manfaatnya bagi Demokrat, yakni mendukung seorang Ahok yang tengah dihujat ummat Islam.

Kondisi yang tidak mudah bagi PDIP untuk merayu Demokrat ini, disadari oleh Wasekjen PDIP Achmad Basarah. Basarah menyatakan partainya akan menjaga jarak dengan Demokrat dan tidak lagi akan mengajaknya mendukung Ahok-Djarot.

"Kami kembali kepada keputusan politik yang sejak awal telah dideklarasikan oleh DPP Partai Demokrat, bahwa posisi Partai Demokrat mengambil posisi sebagai partai penyeimbang," ungkap Basarah dalam konferensi pers di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/2)

Sumber:

PAN condong ke Anies-Sandi

Ruhut: kasihan SBY

PDIP berharap Demokrat dukung Ahok

PDIP batal lobi Demokrat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun