Mohon tunggu...
Rizal Amri
Rizal Amri Mohon Tunggu... -

Pengamat barang kerajinan dan rajin mengamati peristiwa politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Habis Jokowi, Terbitlah Ahok

6 April 2015   14:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:28 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ibrahim sungguh galau, ada pertanyaan besar yang terus menggelayuti pikirannya, Siapakah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya?.

Pada suatu malam, ia begitu terpesona pada bulan yang bersinar terang di kegelapan langit. Pertanyaan yang selama ini menghantui pikirannya, seakan terjawab. Ibrahim bergumam, “Inilah Tuhanku”.

Ketika malam berganti pagi, bulan pun menghilang, Ibrahim sungguh kecewa. Namun menjelang tengah hari, Ibrahim melihat matahari yang cahayanya jauh lebih terang. “Inilah Tuhanku karena cahayanya lebih terang dan besar dari pada sebelumnya”, pekik Ibrahim gembira. Namun menjelang petang, matahari itu pun tenggelam. Keyakinan terhadap “tuhan” matahari pun menjadi sirna, Ibrahim berkata “Aku tidak suka pada sesuatu yang tenggelam”.

Permasalahan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia antara lain kesenjangan ekonomi yang melahirkan ketidak-setaraan ekonomi dan ketidakadilan ekonomi. Selain itu, hutang yang diwariskan pemerintahan SBY yang luar besar, tetapi wong cilik makin susah hidupnya. Demikian ditulis Musni Umar beberapa waktu lalu di Kompasiana (di sini) dan juga dalam bukunya "Jokowi Satrio Piningit Indonesia".

Musni yang membagi bukunya atas empat Bab itu, juga menjelaskan latar belakang pemilihan judul tersebut. Menurut Musni, judul bukunya diilhami dari percakapannya dengan Sabikis, seorang marhaen (wong cilik) di jalan raya Fatmawati, dekat pasar tradisional Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sabikis, menurut pengakuannya, lahir dan besar di Yogyakarta. Menurut dia, Jokowi memiliki ciri-ciri yang mirip dengan satrio piningit seperti yang diceritakan oleh eyang kakung (kakek) dan eyang putri (nenek) di masa ia kecil.

Menjelang 6 bulan dipimpin “Satrio Piningit”, Sabikis dan juga Musni Umar bisa menyaksikan, betapa orang yang ditunggu-tunggu itu belum mampu juga mengangkat harkat Wong Cilik. Bahkan yang terjadi malah sebaliknya, kehidupan mereka semakin susah. Harga kebutuhan pokok melambung seiring dengan pencabutan subsisdi BBM. Memang pemerintah memberikan santunan bagi mereka yang tergolong miskin, namun bantuan itu hanya untuk beberapa bulan saja dan besarnya tidak mencukupi. Persoalan klasik masih saja terjadi, yakni pembagian bantuan tidak merata dan banyak salah sasaran. Wong Cilik yang lebih menderita adalah para buruh bergaji kecil yang tidak termasuk kelompok Rumah Tangga Sasaran penerima bantuan pemerintah. Kenaikan UMR tidak cukup membantu karena tak sebanding dengan inflasi, walhasil daya beli mereka tergerus drastis. Begitu pula Wong Cilik yang menekuni usaha mikro dan kecil, meningkatnya biaya produksi di tengah daya beli masyarakat yang menurun, membuat mereka keteteran. Sementara itu, berita yang mereka dengar tentang “Satrio Piningit “ hampir tidak ada yang menggembirakan. Saban hari malah dipenuhi berita yang membuat mereka miris, seperti kenaikan subsidi DP untuk pembelian mobil pribadi pejabat sebesar hampir 100%. Padahal penambahan jatah menjadi Rp. 210 juta untuk sebanyak 1200 pejabat yang sudah cukup kaya itu, di ambil dari hasil pencabutan subsidi BBM yang semula dinikmati rakyat. Wong Cilik yang agak berpendidikan, tentu tambah miris pula hatinya mendengar sang Sang “Satiro Piningit” bagi-bagi jabatan basah Komisaris BUMN untuk para relawan elit dan partai pendukung. BUMN yang sudah megap-megap itu dikhawatirkan semakin rugi karena menjadi bancakan pejabat dan partai.

Terlebih lagi mereka yang ditunjuk sebagiannya bermodalkan "otak kosong", istilah yang diangkat Sukardi Rinakit ketika menolak tawaran jabatan Komisaris BUMN tersebut. Sukardi satu dari sedikit orang yang tidak tergiur makan gaji buta untuk pekerjaan yang tidak sesuai kompetensinya. Apalagi jika nanti disuruh setoran untuk kas partai, tentu bertentangan dengan hati nuraninya.

Para pendukung yang melihat “Satrio Piningit” telah melenceng, satu demi satu mulai menyadari kekeliruan nalarnya. Indra Piliang misalnya, sebelumnya ikut mengelu-elukan, sekarang menyatakan diri sebagai oposan bagi sang “Satrio Piningit”. Indra bukan satu-satunya, semakin hari semakin banyak yang mengikuti langkahnya. Ada pula yang baru sebatas merintih atau "mewek-mewek" mencurahkan keperihan hati, sepertihalya Akbar Faizal. Namun ada pula yang saking dongkolnya, mewacanakan untuk mendongkel, seperti Efendi Simbolon.

Di tengah pamor sang “Satrio Pininingit” yang mulai meredup, muncullah Ahok. Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama Gubernur DKI Jakarta itu, melambung namanya semenjak kisruh pembahasan RAPBD DKI tahun 2015. Kisruh yang berawal dari keberanian Ahok menuding DPRD telah memasukkan anggaran siluman pada RAPBD tersebut. Citra DPRD yang selama ini cendrung buruk di mata publik, menguntungkan Ahok. Hasil survey menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat di DKI lebih percaya dan mendukung Ahok ketimbang DPRD. Jadilah Ahok sebagai tokoh protagonis dan dianggap sebagai pejuang anti korupsi. Di sisi seberang, para anggota DPRD menjadi tokoh-tokoh antagonis. Tak sedikit pula yang meyakini bahwa Ahok lah Satrio Piningit sejati, calon pengganti Jokowi.

Sekalipun Ahok memiliki karakter yang temperamental, namun hal itu menjadi ciri khas beliau yang justru disukai sebagian orang. Ahok dikenal sebagai gubernur yang gampang marah dan tak sungkan mengumbar kata-kata kasar, terutama kepada bawahannya. Ahok sering mempermalukan anak buahnya dan orang lain di depan khalayak, bahkan sesi Ahok memarahi anak buahnya sengaja diunduh ke “youtube”. Dukungan publik yang begitu besar membuat Ahok semakin percaya diri. Hal itu tercermin pada saat Ahok diwawancarai di sebuah televisi. Ahok pada siaran live itu, tanpa berpikir panjang dan tanpa filter, mengeluarkan kata-kata tak pantas yang akhirnya menimbulkan kontroversi.

Rupanya gaya bahasa “toilet” yang ditampilkannya, menjadi awal dari pudarnya sinar Ahok. Wawancara yang sarat dengan kata-kata tak pantas itu, disesalkan banyak pihak. Bahkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat turun tangan dan menjatuhkan sanksi administratif terhadap media yang mewawancarai Ahok.

Bukan hanya KPI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga terusik dan meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusut kata-kata kotor dan kasar Ahok saat dialog siaran langsung di Kompas TV tersebut.

Jaya Suprana (Phoa Kok Tjiang) yang dikenal sebagai Pendiri dan Ketua Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) ikut nimbrung menasehati Ahok. Suprana pun menulis “Surat Terbuka” untuk Ahok, atas nama sebagai sesama warga Indonesia keturunan Tionghoa dan umat Nasrani. Dalam suratnya, Suprana menyebut Ahok telah menimbulkan rasa kebencian masyarakat terhadap kata-kata tidak sopan dan tidak santun yang acap kali dilontarkannya.

Sayangnya Ahok menanggapi negatif nasehat Suprana yang disampaikan dengan bahasa yang santun itu. Hal ini membenarkan sinyalemen Prof. Tjipta yang menyebut tokoh dalam buku biografi "Dari Belitung Menuju Istana" ini sebagai orang yang anti kritik.

Tidak jelas pula, apa prestasi seorang Ahok sebagai gubernur DKI. Serapan APBD DKI yang buruk bahkan terendah sepanjang sejarah di bawah kepemimpinannya, menunjukkan pembangunan di DKI nyaris berjalan di tempat. Kemacetan di DKI yang semakin parah ditandai dengan memburuknya peringkat Jakarta di antara kota-kota macet dunia, menjadi salah satu indikator. Masalah banjir yang tak kunjung bisa diatasi, kebakaran masih sering terjadi dan lambat diatasi karena buruknya sarana pemadam kebakaran, juga menjadi indikator yang lain. Terlebih kasus-kasus korupsi yang tak jua reda, bahkan masih semakin marak. Terakhir polisi menetapkan 2 orang anak buah kepercayaan Ahok sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pengadaan 25 paket  UPS dari dana APBD 2014.

Pudanya pamor "Satrio Piningit" Ahok, terwakili oleh tulisan Jaya Suprana, bahwa para cendekiawan, rohaniwan, akademikus yang semula mendukung Ahok, kini meragukan dukungan mereka terhadap Ahok.

Walhasil bangsa ini perlu lebih cermat lagi dalam memilih pemimpin. Perlu pula melibatkan Tuhan dalam mencari pemimpin dengan cara berdo'a dan meminta petunjuk. Sebagaimana do'a nabi Ibrahim ketika dia keliru terus dalam mencari Tuhan.

“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun