Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Upstream" Ungkap 5 Pelajaran Hidup bagi Pekerja Kelas Menengah Umur 40-an

29 Desember 2024   15:33 Diperbarui: 30 Desember 2024   09:26 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Protagonis Gao Zhilei sebagai potret kejamnya gig economy dan tech winter. (Foto: IMDb)

Bagaimana rasanya menjadi seorang kepala keluarga dan sandwich generation yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan kerah putih yang mapan lalu dianggap tak berguna oleh dunia kerja karena usia sudah paruh baya? Itulah yang dirasakan oleh Gao Zhilei, sang tokoh utama dalam film China berjudul Upstream (2024) yang menurut saya sangat merefleksikan kondisi jutaan orang berusia 40 hingga 50-an sekarang. 

Jika Anda belum menonton, tenang saja karena saya tak akan membocorkan plotnya di sini. Saya akan membahas sejumlah hikmah yang kita bisa petik dari film ini lewat adegan-adegannya yang sangat menyentuh. Untuk Anda yang sedang mencari nafkah di usia 40-an dan 50-an karena masih harus menghidupi keluarga dan orang tua, inilah film yang akan menguras air mata Anda.

Dedikasi terhadap Pekerjaan Boleh Tapi Rawat Juga Kesehatan

Dedikasi selama belasan tahun bekerja, mengorbankan waktu bersama keluarga demi lembur sampai akhirnya menderita diabetes dan harus suntik insulin beberapa kali sehari di usia hanya 45 tahun tidak menjamin Gao Zhilei terhindar dari PHK. 

Saat ia diberitahu HRD bahwa ia akan dipecat, Gao berteriak geram sampai ia melempar kursi ke pimpinan personalia perusahaan. Sakitnya lagi, uang pesangon yang tak seberapa ludes untuk pengobatan sang ayah yang terkena serangan stroke akibat kelelahan bekerja di toko setelah tahu anak laki-lakinya menganggur dua bulan. 

Di sini kita belajar untuk menetapkan batas yang sehat dan masuk akal antara pekerjaan, kesehatan dan keluarga kita. Itu karena begitu perusahaan tak membutuhkan Anda, Anda akan dibuang begitu saja tak peduli sebanyak apapun jam lembur Anda.   

Jangan Hidup di Atas Kemampuan Finansial Anda

Literasi keuangan rasanya sudah menjadi keterampilan yang wajib dimiliki semua orang sekarang. Apalagi bagi Anda yang sudah berkeluarga. Jika ada satu langkah finansial yang salah, satu keluarga akan terkena dampak buruknya. Lain dari Gen Z yang kebanyakan masih lajang, kelompok pekerja dengan usia 40 dan 50-an adalah orang-orang yang sudah berkeluarga sehingga harus makin bijak (prudent) dalam mengambil berbagai keputusan finansial.

Salah satu keputusan keuangan besar adalah keputusan mengambil cicilan rumah (KPR) atau apartemen. Jika cicilannya cukup besar dibandingkan penghasilan dan tenornya lama (belasan atau puluhan tahun), hati-hati di masa ekonomi yang penuh ketidakpastian seperti sekarang karena begitu Anda kehilangan pekerjaan tetap, Anda bisa gagal membayar cicilan bulanan yang akibatnya rumah Anda bisa disita pihak bank untuk dilelang. 

Dalam film, Gao juga diceritakan makin pusing dengan masalahnya karena tak bisa melunasi cicilan bulanan untuk bisa memiliki sebuah apartemen dengan ukuran besar di tengah kota dan harganya relatif mahal. Begitu ia dipecat, Gao dikejar-kejar pihak bank, yang tak mau memahami kesulitannya saat itu.   

Solusinya adalah dengan menurunkan standar hidup dan menyadarkan diri kita bahwa hidup lebih sederhana tidak akan membuat kita mati merana bahkan bisa menjadi lebih bahagia. Asal masih bisa makan, sehat dan berkumpul dengan keluarga tercinta, hidup di rumah yang lebih kecil dan terjangkau pun tak masalah.

Ageism Bisa Menimpa Siapa Saja

Sebuah adegan yang menunjukkan penolakan terhadap Gao saat melamar kerja karena umur yang sudah 45 menunjukkan pasar tenaga kerja saat ini yang sangat kejam dengan orang-orang yang berusia matang. Umur 45 saja sudah dianggap lamban, tua, dan tidak berguna. Bahkan pengalamannya selama belasan tahun sebagai programmer tak dianggap bermanfaat. 

Namun, anehnya di saat yang sama anak-anak muda Gen Z juga mengalami diskrimnasi usia saat melamar kerja. Lewat 25, mereka sudah dicap kadaluarsa oleh pemberi kerja. Ada yang melamar pekerjaan entry level dengan gaji UMR tetapi diminta harus memiliki pengalaman sekian tahun, yang tentu saja tak mungkin sebab mereka baru saja lulus kuliah. Hal ini memicu banyak anak muda memburu pengalaman magang dan rela tak dibayar asal bisa magang. Itu karena pengalaman magang bisa jadi pemulus saat melamar kerja nanti.

Di sini kita menyadari bahwa ageism alias perlakuan diskriminatif sangat jamak di sejumlah negara dengan jumlah penduduk usia produktif yang melimpah. Bisa jadi karena melimpahnya jumlah populasi sehingga otomatis faktor usia dipakai sebagai filter dalam menentukan kelayakan menduduki sebuah posisi kerja.

Gig Economy Bukan Solusi Manusiawi

Dalam film ini, diceritakan bagaimana lika-liku Gao sebagai seorang kurir pengantar makanan di sebuah bisnis kurir berbasis aplikasi. Ternyata pekerjaan itu tak semudah yang ia bayangkan. Jika di kantor ia diharuskan mengejar target dan lembur, di saat bekerja sebagai mitra untuk perusahaan kurir online itu, hal yang sama juga terjadi lagi. 

Gao berulang kali dimaki konsumen yang alamatnya susah ditemukan, harus menelan penghinaan saat konsumen semena-mena dan tak mau memberi ulasan positif untuknya. Satu adegan dramatis ialah saat level gula darahnya anjlok, Gao yang pingsan kemudian terbangun dan dipaksa aplikasi kurirnya untuk foto sambil tersenyum berkali-kali agar bisa kembali bekerja. Jika ia gagal foto diri dengan tersenyum, ancamannya adalah skorsing kerja selama 3 hari. Komisi pun melayang.

Di sini dikisahkan betapa mirisnya kesejahteraan dan kelayakan hidup para pekerja/ mitra dalam skema gig economy yang digadang-gadang jadi solusi untuk banyaknya pengangguran masa sekarang. Faktanya, gig economy mirip sebuah perbudakan modern, yang dianggap sah dan legal oleh otoritas. Dan tragisnya masyarakat tak bisa melakukan apa-apa saat menyaksikan kekejaman perbudakan modern ini.

Ikhlas Bisa Jadi Kekuatan

Dalam kondisi terjepit ini, Gao sebagai lokomotif ekonomi keluarga awalnya tak mau menerima fakta. Ia menyembunyikan kenyataan bahwa ia dipecat dari keluarganya. Ayahnya mengendus kenyataan itu dan tak menerima Gao yang lulusan universitas kenamaan jadi pekerja kasar (kurir). Ia bahkan terang-terangan mengatakan malu saat melihat jaket kurir Gao.

Tapi dalam dirinya, Gao juga masih belum ikhlas menerima keadaan saat menyaksikan istrinya yang diam-diam bekerja di sebuah nail salon yang mengharuskannya memegang kaki pelanggan. Gao sendiri tercekat karena ia sepertinya menganggap istrinya melakukan pekerjaan hina. Namun, untungnya Gao mampu memahami bahwa istrinya juga melakukan pekerjaan tersebut karena terdesak kebutuhan hidup. Ia tak sampai hati menyalahkan sang istri, hanya saja ia sangat merasa bersalah karena merasa tak mampu menafkahi dan memberikan kehidupan yang layak.

Setelah Gao telah berdamai dengan keadaan, ayahnya juga mulai menerima keadaan yang dialami keluarga tersebut. Dari sinilah keluarga tersebut mulai kompak dan mau bahu-membahu untuk bertahan melalui kondisi sulit tersebut bersama.

Mereka memutuskan pindah ke apartemen di pinggir kota. Lebih murah, lebih kecil tetapi setidaknya mereka masih bisa hidup bersama dan tak harus diusir karena gagal mencicil. 

Di sini kita diajarkan untuk bersikap realistis dengan kondisi yang kita alami. Jangan sombong menghadapi kenyataan/ cobaan yang diberikan Tuhan pada kita. Begitu kita legowo/ ikhlas menerima kondisi apapun, justru kita bisa lepas dari cobaan tersebut. (*/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun