Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

2 Paradoks Patahkan Pandangan Pesimis Soal Prospek Kerja di Era AI

20 November 2024   10:52 Diperbarui: 20 November 2024   10:54 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kecerdasan buatan tak akan bisa menyainig manusia? Benarkah? (Sumber: Freepik/Kredit Foto))

Setiap kali berbicara AI, kita seolah digiring pada pola pikir fatalistik: para manusia pekerja akan tersingkir cepat atau lambat. Saya sendiri sudah bosan membahas, karena jelas itu seperti 'bunuh diri' eksistensial. Manusia menjadi begitu rendah diri bahkan saat ciptaannya sendiri makin cerdas. Menurut saya hal itu konyol. Paradigma penuh ketakutan dan  permusuhan terhadap AI sudah seharusnya disingkirkan.

Hanya saja, untuk menerangkannya secara logis dan enak dipahami, saya belum bisa.

Tapi pagi ini saya menemukan sedikit pencerahan untuk menjelaskan kenapa kita tak perlu pesimis soal prospek kerja masa depan di era AI dari sebuah video menarik di TikTok dari Nate B. Jones. Ia adalah influencer yang membahas soal AI dan dampaknya yang luas terhadap berbagai sendi kehidupan manusia. 

Singkatnya, di video TikTok tersebut ia menerangkan alasan mengapa ia tetap optimistis di balik kemajuan AI saat ini meski banyak orang menentangnya dan mengatakan AI adalah kiamat bagi para pekerja manusia. 

Memahami Paradoks Jevons

Ia berargumen bahwa ada dua paradoks ilmiah yang menjadi alasan mengapa ia terus optimistis. 

Paradoks pertama ialah Paradoks Jevons. Jevons adalah nama seorang ekonom Inggris William Stanley Jevons yang muncul saat abad ke-19, saat batubara sedang jaya. 

Paradoks Jevon berupaya menerangkan mengapa saat itu batubara menjadi komoditas yang amat berharga, dan meski suplai batubara terus bertambah tapi permintaan toh tidak berkurang dan harga batubara tak kunjungan turun juga meski suplai berlimpah ruah. 

Justru malah masyarakat dunia punya makin banyak cara untuk menggunakan batubara ini untuk mereka gunakan dalam kehidupan. 

Dengan kata lain, semakin banyak kita punya suatu jenis sumber daya atau aset, maka makin banyak cara yang kita gunakan untuk mengeksploitasinya. 

Paradoks Jevon ini menjelaskan bahwa makin mudahnya akses terhadap AI akan membuat AI makin banyak digunakan dalam berbagai cara yang tak pernah kita pikirkan sebelumnya dan itu akan terus terjadi. Tak bisa dihentikan. 

Apa Itu Paradoks Moravec?

Paradoks kedua yang seharusnya membuat kita optimistis soal kemajuan AI ialah Paradoks Moravec yang menerangkan bahwa sangatlah sulit untuk menciptakan mesin AI yang piawai dalam hal-hal yang dianggap mudah oleh manusia, misalnya sesederhana aktivitas fisik seperti berjalan kaki, lari, lempar bola dengan akurat, atau kemampuan memahami lingkungan sekitar seperti kemampuan memahami situasi lingkungan rumah, organisasi tempat Anda bekerja, dan lingkungan para tetangga Anda, dan sebagainya. 

Paradoks Moravec menekankan bahwa manusia akan terus bisa menemukan celah untuk menguasai dengan lebih baik hal-hal yang mesin AI anggap susah untuk dilakukan. 

Dengan kata lain, jangan khawatir, pasti ada hal-hal yang menurut kita simpel tapi susah setengah mati untuk dikuasai AI, misalnya saja yang dicontohkan Moravec tadi: keterampilan persepsi dan sensorimotorik badan fisik manusia. 

Makanya kalau Anda manusia tapi jarang bergerak, alias jompo dini, tak mau mengeksplorasi kecerdasan sensorimotorik Anda, enggan mengasah keterampilan perseptual Anda dengan terus bergerak dan mengasah koordinasi otak-badan, pastinya Anda bakal kalah dari AI! (*/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun