Perjalanan saya menulis di Kompasiana bermula saat Februari 2010. Saat itu, saya masih terbilang sangat 'hijau' dalam dunia kepenulisan. Berbekal laptop dan koneksi internet yang jauh dari kata cepat di tahun saat Tifatul Sembiring menjabat sebagai Menkominfo RI, saya mencoba menulis beberapa artikel sesekali di sela kesibukan saya mencari kerja di ibu kota.Â
Alasan saya menulis di Kompasiana adalah untuk menjaga konsistensi menulis dan agar tulisan-tulisan saya bisa dibaca lebih banyak orang. Di waktu yang sama, saya juga menulis di blog pribadi tapi saya perhatikan tak banyak yang membaca tulisan saya di blog pribadi. Karena itulah, Kompasiana menyadarkan saya pentingnya komunitas menulis agar bisa mendorong semangat berkarya. Jika konsisten, saya yakin bahwa penulis amatir seperti saya pun bisa menjadi penulis profesional.Â
Selain itu, Kompasiana juga memberikan daya tarik tersendiri karena karya saya bisa memberikan dampak bagi tak cuma saya sendiri tetapi juga orang lain yang saya belum kenal. Dengan berbagi informasi dan pengalamandi Kompasiana, sejumlah orang bisa terbantu.
Membuat Dampak
Jurnalisme warga yang dikedepankan Kompasiana juga membuat saya bisa membagikan pengalaman dan hasil observasi saya terhadap apa yang sedang terjadi di lingkungan sekitar saya sebagai warga masyarakat. Hal ini saya lakukan misalnya saat saya menaiki kommuterline dan terjebak selama berjam-jam di dalam gerbong kommuter akibat ada insiden sambaran petir yang membuat sebuah pohon roboh menimpa kabel listrik kommuter. Anda bisa membaca tulisan saya ini di "Menilik Beragam Karakter Manusia Saat krisis".
Puncak pengalaman menulis saya di Kompasiana bisa jadi adalah saat saya menayangkan tulisan soal Prabowo Subianto jelang Pilpres 2014 yang mungkin menjadi legenda hingga sekarang mengingat begitu sengitnya persaingan kubu Jokowi dan Prabowo. Saat itu Jokowi dinarasikan sebagai sosok pembawa pembaruan dan lebih progresif. Sementara itu, Prabowo lebih 'garang' dan konservatif. Anda bisa menyimak tulisan saya di "Prabowo Subianto di Mata Lee Kuan Yew". Page views artikel saya ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah saya menulis di Kompasiana. Artikel saya pun viral bahkan dibaca oleh seorang teman SMP yang bermukim di Kanada sana. Saya sendiri kaget tatkala teman saya mengabari demikian.
Namun, di balik viralnya tulisan saya itu, ada juga yang berkomentar miring padahal saya cuma membahas pernyataan Lee Kuan Yew soal Prabowo saat muda dan mencoba menafsirkan pernyataannya tersebut dari sudut pandang pembaca. Tentu saja saya maklum sebab kala itu perdebatan soal Wiwi dan Wowo sangat marak memenuhi ruang saiber kita.
Menilik semua perdebatan tersebut dan membandingkannya dengan kondisi negara ini sekarang, saya kembali diingatkan bahwa tidak ada konflik dan pertemanan yang abadi di dunia politik praktis. Yang ada hanyalah kepentingan abadi. Sebagai rakyat, kita harus mendukung dengan tetap berpegang setia pada kewarasan. Jangan sampai jadi pendukung fanatik.
Kemudian saya juga tak cuma menulis soal politik. Saya membahas juga soal kesehatan karena saya memiliki minat di bidang ini karena saya mengajar yoga. Saya menulis artikel "Ini yang Terjadi Setelah Anda Berhenti Makan Mi Instan".Â
Kemudian ada juga tulisan lain yang menjadi artikel pilihan saat itu, yakni "Inilah Cara Jadi Penulis Makmur". Meski belum banyak dibaca, karena ia menjadi artikel pilihan, saya merasa sedikit bangga sebab tentunya editor memilihnya dengan pertimbangan tertentu. Dari sini saya merasa makin percaya diri.
Terus Berupaya Relevan
Makin lama, kredibilitas saya sebagai penulis pun makin terbangun di Kompasiana sehingga setidaknya tulisan saya bisa menduduki artikel pilihan, dan jika sangat bagus, artikel saya baru bisa menjadi artikel utama. Dan artikel utama ini bahkan bisa masuk ke Kompas.com melalui skema Infinite yang bertujuan membawa konten ke jaringan Kompas Gramedia. Hingga kini baru ada dua artikel saya yang masuk ke dalam skema Infinite, yakni "Apa Untungnya Memiliki Portofolio Karier?" dan "Mindfulness dan Kaitannya dengan Yoga serta Mindful Eating. Meski tak banyak, setiap bulan ada saja reward dalam bentuk saldo GoPay yang masuk dari kedua artikel tersebut. Cukuplah buat bayar langganan paket data dan wifi. Hehe.
Saya juga mengamati banyaknya perubahan dalam Kompasiana. Jika dahulu komunitas terbentuk secara organik dan cenderung homogen, sekarang Kompasiana berupaya mewadahi lebih banyak lagi komunitas dan minat-minat yang dahulu belum ditampung di sini.