Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Petani Lebak Terjebak Deru Pembangunan Kota Baru

19 September 2024   07:01 Diperbarui: 19 September 2024   16:20 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Multa non multum, tulis Multatuli dalam Max Havelaar (1860). Artinya "banyak tapi tak banyak". Begitulah gambaran yang tepat untuk para petani gurem di wilayah Maja, Lebak. Jumlah mereka banyak tetapi pengaruh mereka dalam menentukan arah kehidupan mereka sendiri saja sangat sedikit. Apalagi pengaruh mereka untuk menentukan pembangunan wilayah yang telah menjadi rumah mereka hingga banyak generasi.

Salah satu dari warga setempat di Maja yang sekarang masih berkutat di sawah adalah Ano. Itu bukan keinginan dirinya. Ia cuma terpaksa keadaan. Karena itulah ia merasa iri dengan kaum pendatang di Maja.

"Kan enak kalau bisa cari duit modal otak aja. Nggak harus jual tanah atau harta di kampung," celetuknya. Ia berpikir alangkah enaknya kalau bisa meraup rupiah seperti para pekerja urban, yang bisa cari nafkah dengan bermodal otak dan pikiran 'saja'. Tak perlu jual tanah dan bekerja kasar seperti dia dan tetangga-tetangganya.

Sayangnya, itu hal yang hampir mustahil terwujud. Ano cuma menggenggam ijazah SD dan belum menamatkan sekolah menengahnya. Lebak memang masih memprihatinkan soal angka partisipasi pendidikannya. 

Di tahun 2023, Angka Partisipasi Murni level SMA di Lebak berdasarkan data BPS dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) hanya 44,62. Untuk menunjukkan jurang ketimpangan yang menganga lebar, kita bisa tilik data BPS lagi. Di Jakarta yang hanya berjarak 1,5 jam perjalanan kereta kommuter, Angka Partisipasi Murni level SMA sudah 60 lebih.

Seperti mayoritas warga yang sudah lama bermukim di Kecamatan Maja ini, status pekerjaan Ano adalah serabutan. Selain memijat keliling di sekitar perumahan yang digadang-gadang pemerintah bakal jadi Kota Baru ini, ia juga bersedia mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan untuk menghidupi diri dan keluarganya yang tinggal di sebuah perkampungan di sekitar perumahan seluas lebih dari 2.000 hektar ini.

Para petani Lebak makin terdesak pembangunan. (Sumber gambar: Wikimedia Commons)
Para petani Lebak makin terdesak pembangunan. (Sumber gambar: Wikimedia Commons)

Yang Termarjinalkan di Wilayah Prioritas

Ano adalah salah satu dari 131.785 pekerja bebas (casual workers) di Kabupaten Lebak menurut data yang dihimpun Biro Pusat Statistik dalam laporan bertajuk "Kabupaten Lebak Dalam Angka tahun 2024 Volume 31". Kelompok pekerja bebas ini adalah kelompok ketiga terbesar setelah kelompok buruh (employees) dan berusaha sendiri (self employment).

Meskipun pencanangan Maja sebagai wilayah pengembangan Kota Baru oleh Presiden Joko Widodo baru dituangkan dalam Lampiran I Perpres No.52/2023 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024, pembangunan di Maja sudah terbilang agresif sejak tahun 1990-an lalu.

Di masa Presiden Suharto, Maja memang sudah pernah dilirik sebagai kota penyangga Jakarta jika penduduknya membludak. Hanya saja, Maja begitu saja dilupakan tatkala kondisi ekonomi dan politik negara sedang porak poranda akibat Krisis Multidimensi dan Reformasi di tahun 1998. Perumahan-perumahan yang mulai dirintis pun terlantar, tak laku, mirip kota hantu.

Namun, sekitar 2015 Maja mulai kembali dilirik. Karena sudah ditetapkan presiden sebagai proyek prioritas, pembangunan infrastruktur di Maja pun mendapat 'restu' lebih mudah untuk masuk dalam Rencana pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selain Maja, ada 3 kota baru lain yang juga jadi prioritas pembangunan yakni Tanjung Selor, Sofifi, dan Sorong.

Sebelum Maja berkembang sepesat sekarang, sawah dan ladang masih ada di mana-mana. Begitu pembebasan tanah dilakukan untuk pembangunan perumahan kota penyangga Jakarta, sawah pun berangsur-angsur makin langka, kata Ano.

Orang tuanya dulu juga punya sawah seluas 2200 meter persegi di lahan perumahan baru ini. Di tahun 1990-an harga lahan di Maja tadi seharga cuma sekitar Rp300 per meter persegi. Lahan orang tuanya cuma dihargai kurang lebih Rp2.200.000.

"Lalu bagaimana uang 2,2 juta itu? Apakah ditabung, dibelikan tanah lagi, atau dibelikan emas?" Saya bertanya pada Pak Ano. Jawabnya: "Uang itu sudah tak bersisa sebab sudah dibagikan ke anak-anak sebagai warisan." Dan anak-anaknya membelanjakan uang itu entah untuk apa. Pak Ano yang juga menerima saja sudah lupa.

Ia berbagi cerita soal kesibukannya di hari itu. "Tadi saya seharian capek habis membantu seorang pemilik sawah memanen padi," ungkapnya. Si pemilik sawah ini masih saudara jauh kata pria yang kulitnya legam diterpa terik matahari itu. Sistem pembagian hasil dari pekerjaan memanen padi di sawah siang tadi begini: 80 persen jadi hak si empunya sawah, sisanya 20 persen dari total hasil panen jadi milik orang yang bantu memanen. Jadi jika totalnya 10 karung, pak Ano bakal dapat 2 karung beras. Lumayan, katanya. Tentu saja lebih dari lumayan apalagi di kondisi ekonomi begini, saya mengamini.

Sebagai petani kecil serabutan, Ano kini hanya bisa membantu petani-petani pemilik sawah dalam musim panen. Salah satu petani yang ia baru bantu memanen padinya ialah saudara jauh Ano yang memiliki lahan sawah di samping perumahan baru di Maja. Namun, itu saja tak cukup. Saking sempitnya lahan sawah di Maja akhir-akhir ini, Ano juga tak segan untuk bekerja serabutan di sawah-sawah di wilayah Citeras.

'Getah' Gentrifikasi

Kini Ano tinggal di sebuah rumah di perkampungan di luar perumahan Kota Baru ini. Rumahnya dikelilingi halaman dengan beberapa pohon. Di antaranya adalah pohon-pohon rambutan yang rajin berbuah. "Kalau berbuah, apa rambutannya dibagi-bagi ke tetangga?" tanya saya. "Tidak, sayang. Mending saya jual ke pengepul aja," tukasnya.  

Ano mengakui bahwa kini kondisi masyarakat Maja mirip orang pribumi di kota besar seperti orang Betawi di Jakarta. Lahir dan besar di wilayah itu tapi tak lagi punya rumah dan tanah serta sawah. Perlahan tersingkir karena tanah dan rumah makin mahal begitu orang kota berdatangan. Sebuah ironi adalah ditemuinya sejumlah warga asli yang dulunya masih punya kebun dan sawah kemudian menjual tanahnya pada pengembang dan kini tak bisa lagi bekerja sebagai petani kecil di Maja kemudian beralih menjadi pemulung sampah yang membawa karung dan gancu ke mana-mana.

"Sebelum dibangun perumahan dulu juga emang udah ada warga yang punya tanah dan kaya. Ada yang memang udah miskin tapi punya tanah sawah lalu dijual. Pas punya duit, dibuat beli mobil. Pas mobilnya rusak, nggak bisa dibetulin," ungkapnya.

Ruralisasi yang ingin memeratakan populasi dan kesejahteraan ekonomi ternyata punya efek yang tak sesederhana kalkulasi di atas kertas yang disusun para ekonom dan teknokrat berdasi.

"Zaman dulu pada jual-jualin (tanah -pen) ama nenek moyangnya, giliran anak cucunya, jangankan beli (tanah -pen), belajar aja nggak bisa," celetuk Ano yang membuat trenyuh.

Fenomena gentrifikasi (pengubahan karakter sebuah lingkungan, dari yang bersifat agraris menjadi industrialis) yang terjadi di depan mata kita ini di satu sisi menggembirakan karena bisa menaikkan potensi ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan warga. Namun, juga jangan sampai kita lupa dengan dampak negatifnya: tersingkirnya warga asli yang kebanyakan petani gurem.

Bertahan dengan Teknologi

Untuk bertahan dari menyempitnya sawah dan efek buruk gentrifikasi, para petani gurem tanpa lahan seperti Ano harus terus menyiasati tantangan-tantangan yang muncul. Lain dari petani dulu yang cuma bisa pasrah tak bisa panen saat kemarau parah, kini para petani Maja yang masih punya sawah masih tetap bisa panen saat kemarau berkat bantuan teknologi. Mereka menggunakan mesin pompa air untuk menyedot air dari sungai di sekitar sawah untuk mengairi lahan agar padi tak mati tersengat matahari.

Tak sebatas itu, Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Banten bahkan dilaporkan telah meluncurkan upaya pengairan lahan pertanian jagung di Maja dengan memakai drone atas permintaan pihak petani lokal, ungkap IDN Times 5 Agustus 2024 lalu. Tak cuma menyemprotkan air di masa puncak kemarau, drone juga dipakai untuk penyemprotan pestisida.

Berkat penggunaan teknologi pertanian yang mulai intensif ini, pertanian Lebak setidaknya bisa bertahan menghadapi tantangan perubahan iklim yang makin ganas dari tahun ke tahun. Buktinya hasil padi yang ia panen terbilang 'lumayan' tahun ini, kata Ano. Lahan sawah yang ia bantu panen berhasil menghasilkan gabah seberat kurang lebih 4 ton. Begitu banyaknya gabah itu sehingga petani pemiliknya memutuskan untuk menjualnya karena jika dimakan keluarganya sendiri juga tak bakal habis dalam beberapa bulan ke depan.

Sebagai gambaran, tuturnya, sawah seluas 1 hektar jika 'bagus' bisa hasilkan 4 ton. Para petani Maja biasanya setahun bisa menanam 3 kali. Jadi setahun mereka kira-kira bisa memproduksi 12 ton dengan lahan 1 hektar saja. Namun, tentu itu kalkulasi teoretis dari Ano semata. Kondisi di lapangan sangat tak bisa diprediksi.

Para petani zaman sekarang mesti bisa memutar otak untuk menyiasati kondisi agar jangan sampai merugi padahal sudah bekerja dari pagi sampai pagi lagi. Profesi ini bisa jadi sama kerasnya dengan para host live TikTok yang bekerja tak kenal waktu.

Terjerat Kemiskinan Struktural

Meskipun Ano sempat iri dan ingin menjadi pekerja kerah putih, ia (dipaksa) mengerti (oleh realita) bahwa di usianya sekarang yang sudah tak muda lagi dengan level pendidikan yang ia miliki, kesempatan untuk melakukan mobilitas vertikal dalam strata sosial ekonomi sangatlah tipis, jika tidak bisa dikatakan tertutup rapat, bila ia terus menjadi petani gurem seperti saat ini.

"Makanya pemerintah harusnya membantu mengangkat nasib para petani. Kalau semua orang mau jadi pegawai, siapa yang mau menanam padi?" ujar Ano resah.

Sempitnya ruang untuk meningkatkan kesejahteraan hidup seperti yang dialami oleh Ano dan warga akar rumput Banten lainnya ini dipicu oleh kompleksnya beragam faktor yang membuat kemiskinan struktural terus abadi di Tanah Jawara. Menurut data dalam laporan berjudul "Profil Kemiskinan di Provinsi Banten Maret 2024" yang dirilis BPS Juli 2024, Garis Kemiskinan pada Maret 2024 tercatat sebesar Rp654.213/kapita/bulan. Jika kita bandingkan dengan Jakarta yang mencapai 792.515,00, terasa betul kesenjangan ekonomi antara Jakarta dan Banten yang bertetangga dekat. Kemiskinan ekstrim ini juga berdampak pada kualitas SDM Lebak, yang menurut data BPS tahun 2023 adalah yang terendah di Banten.
 
Kemiskinan struktural yang harus diderita warga strata bawah di Lebak, Banten ini tak cuma dipicu oleh kesenjangan dalam hal sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat tetapi juga karena bercokolnya dinasti-dinasti politik di Banten yang menguasai banyak sendi kehidupan masyarakat lokal. Kombinasi kemiskinan struktural dan dinasti politik ini menjadi kutukan yang memerlukan keajaiban dan mukjizat untuk mengangkatnya.

Harapan Ano agar pemerintah mau peduli dengan nasib petani kecil yang terkena dampak kemiskinan struktural dan ditambah lagi dengan gentrifikasi pasca pembangunan Kota Baru Maja ini seharusnya didengar dan direspon pemerintah setempat. Agar tak cuma memikirkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga cara bagaimana meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat yang tersingkirkan akibat pembangunan. (*/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun