Generasi Z Indonesia saat ini kerap mengeluhkan sulitnya mencari lapangan kerja. Sementara itu, para pekerja kelas bawah dan menengah yang berusia 30-40 tahun juga merasa didiskriminasi soal usia karena mereka semakin mudah dipecat untuk diganti dengan SDM lebih muda yang lebih murah, sehat, dan mau digaji rendah.Â
Ternyata hal ini tak cuma dialami oleh warga Indonesia. Di China sana, hal yang mirip juga sedang marak menimpa para pekerjanya.Â
Kutukan 35
Dilansir dari kanal ThinkChina, ternyata ada sejumlah pekerja yang mengamini bahwa mereka sebelum berusia 35 tahun  dianggap sebagai tenaga kerja potensial. Mereka disayang perusahaan dan pemberi kerja, diberi gaji bagus, diberi jabatan. Lalu begitu usia menanjak naik ke pertengahan 30-an atau 40, mereka perlahan digeser atau bahkan jika lebih kejam, bisa dipecat untuk diganti dengan orang yang lebih muda. Intinya, di titik usia pertengahan 30-an dan 40, para pekerja China harus bersiap menghadapi "kutukan 35". Seolah usia itu adalah usia pensiun dini yang dipaksakan oleh para pemberi kerja dengan dalih resesi ekonomi global.
Dikatakan oleh seorang narasumber ThinkChina, bahwa sekarang ini banyak perusahaan teknologi raksasa seperti Huawei, Xiaomi, dan Tencent yang memecat para pekerja umur pertengahan 30-an. Para pekerja teknologi informasi dan software bisa dengan mudah diganti begitu mereka mencapai usia 35-an.
Yang makin menyesakkan adalah sebagian perusahaan tidak mau menerima pekerja usia di atas 35 tahun lagi. Mereka cuma mau pekerja muda usia 20-an dan awal 30. Makin banyak pengangguran di China yang masih berusia pertengahan 30-an dan 40-an. Hal ini rupanya dipicu oleh gelombang kebangkrutan yang melanda banyak usaha kecil dan menengah di negara adidaya baru ini.
Jadi meskipun China tampak muncul sebagai kekuatan ekonomi baru, mereka juga mengalami masalah dalam negeri yang peliknya luar biasa. Pertumbuhan ekonomi mereka terus melambat, angka investasi TI makin merosot.
Bisa Picu Kekacauan
Kenyataan global mengenai penurunan nilai (deflasi) tenaga kerja manusia ini makin diperparah dengan kemunculan AIÂ dan penggunaan AI secara massal dan masif di beragam sektor kehidupan secara perlahan namun pasti.Â
Makin banyak perusahaan dan entitas bisnis yang menganggap bahwa tenaga kerja manusia adalah beban begitu mereka sudah menua (umur 30 dan 40-an). Sehingga kini sudah lazim jika tenaga kerja manusia tak bekerja penuh waktu dengan status karyawan tetap. Biasanya statusnya pegawai kontrak, mitra, karyawan outsource, dan sebagainya. Tugas-tugas sepele karyawan manusia sudah bisa didelegasikan kepada AI dan robot-robot yang efisien, tidak mudah rewel, tak mengeluh, dan tak bisa protes soal gaji dan tunjangan.
Hal ini tentu menyedihkan karena manusia di umur pertengahan 30-an dan 40-an masih terbilang muda dan produktif. Apalagi angka harapan hidup dan layanan kesehatan saat ini makin maju. Dengan angka harapan hidup makin mendekati 100 tahun, rasanya umur 30-40 terasa begitu muda dan seharusnya masih bisa bekerja tetapi faktanya malah banyak orang di usia 3-40 yang menganggur. Hal ini bisa memicu kekacauan sosial, politik, dan ekonomi.Â
3 Solusi
Menurut saya, solusinya adalah harus ada kepedulian dan intervensi dari pihak pemerintah dan pembuat kebijakan di semua negara untuk mengatur soal perekrutan tenaga kerja (terutama soal solusi atas diskriminasi usia). Ini membutuhkan responsivitas pemerintah negara-negara di dunia. Jangan jadi pemerintahan yang gagap teknologi. Indonesia terutama selalu terlihat terbelakang, terseok-seok soal peraturan perkembangan teknologi.