Seperti saya katakan tadi, Okky sebagai mentor memberikan pujian atas isi esai saya. Namun, sejurus kemudian muncul sebuah pertanyaan dari Wina Armada selaku salah satu anggota Dewan Pembina Satu Pena: "Apakah di sini Anda pakai AI?"
Saya menjawab dengan jujur bahwa saya memang memakai AI untuk menulis esai ini lebih cepat dan efisien.
Danny J.A. selaku Ketua Umum Satu Pena pun memberikan pledoi mengenai penggunaan AI dalam berkarya. Ia mengatakan bahwa penggunaan AI dalam menulis sebagaimana dalam bidang seni juga tak akan bisa terbendung sebab AI adalah perkembangan zaman yang tak terelakkan. Kita sebagai penulis mesti bersiap menyambutnya, entah itu mau atau tidak mau.
Dari sini diskusi soal esai saya pun bergulir menjadi soal boleh tidaknya sebuah tulisan yang dibuat dengan AI masuk ke dalam buku dan bagaimana penerapan etika saat seorang penulis menghasilkan karya dengan AI. Haruskah ia menulis dengan gamblang bahwa ia memakai AI di dalam proses menulisnya?Â
'Pelatuk' Diskusi
Dari sesama rekan penulis, saya juga menuai reaksi beragam. Penulis-penulis muda mengatakan bahwa mereka juga menulis dengan AI meski memang mereka menggunakan software untuk memparafrase dan memoles tulisan agar tak terdeteksi oleh manusia dan mesin lain. Di sini saya tertawa dalam hati. Apa bedanya karena itu semua sama-sama pakai AI? Bedanya cuma mengaku atau tidak. Ketahuan atau tidak.
Sementara itu, penulis-penulis yang lebih konservatif menolak penggunaan AI dalam tulisan dan proses kreatif. Salah seorang bahkan mengatakan,"Saya kagum dengan kejujuran Anda tetapi kecewa dengan perbuatan Anda". Dengan kata lain, ia mengharamkan penggunaan AI dalam proses menulis.
Butuh beberapa waktu untuk mencerna segala reaksi ini dan saya bisa berpikir lebih jernih menanggapinya setelah menyingkirkan ego saya sebagai penulis yang begitu besar namun rapuh sekali. Sudah bukan rahasia umum kalau kaum penulis itu peka sekali terhadap kritik. Dikritik sedikit bisa membakar harga diri, membuat geram dan marah.Â
Tapi saya mencoba memisahkan ego saya dan karya. Yang mereka anggap menjijikkan itu adalah karya saya yang menggunakan AI. Mereka tidak jijik dan kontra terhadap saya sebagai pribadi. Sesederhana itu. Dengan demikian saya bisa berpikir dan berdiskusi lebih rileks dan terbuka bahkan dengan mereka yang berseberangan soal AI dalam menulis.
Tetapi kembali pada pertanyaan definisi tulisan yang berdampak, jika saya bertanya pada diri saya sendiri:"Apakah esai kamu itu sudah berdampak?", saya pikir saya akan menjawab: "Iya. Setidaknya ia sudah bisa memantik diskusi soal etika penggunaan AI dalam proses menulis".. Hahaha.Â
Bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah Anda pro atau anti AI dalam menulis? Dan jika Anda anti AI, apakah itu karena Anda tidak tahu caranya atau karena Anda tahu cara penggunaannya tetapi menganggap itu sebagai sebuah kecurangan? Karena saya harus katakan, jangan sampai kita membenci sesuatu karena hanya kita belum memahami atau masih asing terhadapnya. (*/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H