Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Studi: Makin Jijik terhadap Bau Badan, Semakin Tinggi Keinginan Diperintah Diktator

25 Agustus 2024   20:46 Diperbarui: 25 Agustus 2024   20:46 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbincangan hangat beberapa hari terakhir ini soal upaya mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi yang bisa berakibat pada jalannya pilkada di banyak daerah tahun ini entah bagaimana sampai pada topik bau badan menantu orang nomor satu di negara ini. 

Perdebatan di media sosial pun mulai bergulir dari yang seharusnya tetap fokus pada pengawalan keputusan Mahkamah Konstitusi agar tak bisa diutak-atik DPR menjadi perdebatan kusir soal etis tidaknya naik pesawat jet pribadi, etis tidaknya beli roti seharga 400 ribu karena itu melebihi/ setara dengan gaji sebulan guru honorer di negara ini, hingga ke spekulasi soal kemungkinan gratifikasi yang menyangkut sebuah perusahaan tech marketplace besar dan klub sepakbola.

Bau Badan dan Ideologi

Di sini saya tak akan membahas lebih jauh soal itu semua, tetapi saya lebih tertarik untuk mengupas sebuah temuan studi ilmiah yang pas sekali untuk mendeskripsikan situasi masyarakat Indonesia saat ini.

Sama sekali tak dinyana bahwa ada benang merah antara perilaku dan persepsi sebuah masyarakat terhadap bau badan dengan cara pandang ideologis mereka.

Dipublikasikan pada tahun 2018 lalu, sebuah studi yang dilakukan oleh tim dari Stockholm University mengungkapkan bahwa sebuah masyarakat yang sangat mudah merasa jijik oleh masalah bau badan juga menunjukkan kecenderungan lebih tinggi untuk memiliki seorang pemimpin politik yang otoriter. 

Pernyataan tersebut didasarkan pada sebuah survei yang menunjukkan adanya kaitan erat antara dukungan sebuah masyarakat oleh pemimpin yang semena-mena dan kepekaan sebuah masyarakat terhadap bau badan seperti keringat atau air seni. Bisa jadi ini semua bermula dari naluri yang terkubur dalam alam bawah sadar masyarakat tersebut untuk menghindari berbagai jenis penyakit menular.

Bibit Segregasi Sosial

Begini penjelasannya: rasa jijik adalah emosi fundamental yang membantu manusia bisa bertahan hidup lebih lama. Rasa jijik biasanya membuat manusia menutup hidung atau memicingkan mata, sebuah upaya naluriah dari badan untuk menutup persepsi indrawi dari sesuatu yang berada di dunia luar.

Ilmuwan Stockholm University berargumen bahwa terdapat sebuah hubungan antara perasaan jijik tadi dengan bagaimana sebuah masyarakat menghendaki dirinya diatur.

Masyarakat yang mudah sekali jijik terhadap bau badan lebih cenderung mendukung pemisahan masyarakat berdasarkan jenis kelompok-kelompok tertentu. Dasar pengelompokan bisa saja berdasarkan suku, ras, dan faktor-faktor lain yang mengarah ke perilaku diskriminatif. 

Pemisahan kelompok-kelompok masyarakat atau yang disebut sebagai segregasi ini sebagaimana kita ketahui mirip dengan praktik apartheid yang pernah dilakukan di Afrika Selatan dan juga pernah ditemukan di Amerika Serikat sebelum merebaknya gerakan hak sipil di tahun 1955 setelah seorang wanita kulit hitam bernama Rosa Parks menolak untuk menyerahkan kursi di bus yang ia tumpangi pada penumpang kulit putih yang kemudian memicu Boikot Bus Montgomery.

Bisa Dikendalikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun