Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Nasib Penganggur Umur 40-an: Cari Kerja, Freelance, atau Wirausaha?

16 Juli 2024   08:34 Diperbarui: 16 Juli 2024   09:36 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Pengangguran. (Shutterstock/Afotostock via Kompas.com)

Gen Z memang banyak yang menganggur tapi fakta yang juga tak kalah mencemaskannya ialah para penganggur umur 40-an saat ini juga menghadapi sebuah dilema luar biasa. Di usia kepala 4, mereka dihadapkan pada banyak tantangan yang makin kompleks dibandingkan tantangan yang dihadapi pekerja usia yang sama di masa lalu.

Tantangan-tantangan tadi misalnya adalah gelombang PHK/layoff massal di negara ini yang terasa menyesakkan. Seperti kita tahu sejumlah pekerja termasuk yang sudah memasuki level senior terdampak oleh PHK massal. Tak peduli di sektor manufaktur maupun di sektor teknologi, semuanya kena.

Kemudian juga persaingan kerja dengan generasi/angkatan kerja yang lebih muda. Mereka para pekerja Gen Z mungkin punya citra manja tapi nyatanya mereka juga lebih kuat dalam bekerja jika mereka punya komitmen karena badan muda relatif masih kuat bekerja di bawah tekanan dan tuntutan. 

Kemudian gaji pekerja Gen Z juga lebih rendah. Intinya mereka lebih murah bagi perusahaan. Kalau soal minimnya pengalaman dan skills Gen Z, itu bisa diatasi dengan pemberian training atau kursus. Apalagi otak mereka masih muda, bisa menyerap lebih cepat. Para pekerja yang usia 40-an lebih kaku dan lamban dalam beradaptasi dengan perkembangan AI dan semua teknologi baru.

Belum lagi tantangan ekonomi global yang makin tidak menentu dari tahun ke tahun. Dari pandemi, kemudian terjadi perang Ukraina dan genosida Palestina, semuanya memberi efek buruk pada kondisi dunia kerja.

Semua hal ini masih ditambah dengan diskriminasi usia bagi pekerja 40-an. Para pemberi kerja lebih memilih merekrut orang-orang dengan usia 20-an. Dan seleksi dilakukan juga secara ketat. Bagi pekerja 40-an dengan pengalaman biasa, jangan harap bisa direkrut untuk jabatan manajerial. 

Angkatan kerja usia 40-an hadapi tantangan makin pelik. (Sumber gambar: freepik)
Angkatan kerja usia 40-an hadapi tantangan makin pelik. (Sumber gambar: freepik)

Mereka yang terbiasa menjadi staf, harus mau belajar lebih banyak skills dan kepemimpinan serta cara mengatur SDM agar bisa terserap ke dunai kerja formal. Kebanyakan pemberi kerja saat ini juga hanya membuka lowongan kerja manajerial bagi orang yang sudah punya pengalaman panjang di sebuah bidang kerja. 

Untuk lowongan kerja entry level cuma diisi anak-anak muda gen Z. Maka peluang kerja penduduk usia 40-an yang tak bisa/tak mau upgrade skills pun jadi tertutup sudah.

Dari sana, mereka pun dihadapkan pada 3 pilihan besar: apakah mereka akan mencari kerja terus 'sampai kiamat', atau mereka bekerja lepas saja, atau berbisnis dengan modal seadanya dari tabungan pribadi?

Masing-masing opsi ini tentu memiliki plus minus masing-masing. Yang pertama mari kita bahas opsi terus mencoba mencari pekerjaan sampai sedapatnya. Jika orang di 40-an ini sudah memiliki keluarga dengan anak-anak, bebannya akan bertambah berat sebab ia harus menguras tabungan dan aset lainnya untuk bertahan hidup hingga waktu yang tak bisa ditentukan selama mencari kerja lagi. Itupun jika ia masih punya tabungan untuk dikuras. 

Dan kapan bisa dapat pekerjaan? Tidak ada orang yang tahu. Pemerintah pun tak bisa menjamin. Mereka sendiri pusing mengatasi gejolak ekonomi dengan turunnya rupiah sebegini parahnya. 

Ada yang nekat cari kerja di negara asing misal Australia atau Eropa, tetapi patut dipahami bahwa negara-negara maju itu juga punya persyaratan birokrasi yang rumit dan cukup menghabiskan duit. 

Dan juga ada tren anti imigran akibat naiknya citra kelompok politik sayap kanan di banyak negara akibat kocar-kacirnya ekonomi dunia. Orang-orang penduduk asli di sebuah negara makin memusuhi kaum imigran yang dianggap mengambil pekerjaan mereka. Padahal itu adalah ketidakmampuan pemerintah mereka dalam mengatasi ketimpangan dan gap sosial ekonomi.

Opsi yang kedua ialah bekerja lepas. Kalau sekilas, pekerjaan lepas ini memang menjanjikan. Bisa dikerjakan di rumah secara remote atau jarak jauh jadi tidak ada pengeluaran transportasi dan bisa irit sambil urus keluarga. 

Tapi kepastian kerjanya juga minimal karena biasanya bekerja lepas cuma berdasarkan kontrak atau per proyek yang secara jangka panjang menempatkan posisi pekerja dalam kondisi yang terus menerus cemas dan khawatir akan hari esok. 

Ada yang bisa menolerir kecemasan ini dan ada yang butuh waktu lama untuk terbiasa. Plus, menjadi pekerja lepas juga berisiko tinggi terhadap ghosting (dihubungi saja tapi tidak ada kepastian), penipuan (sudah dikerjakan tapi tak kunjung cair juga duitnya), dan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa mencakup makin tingginya persaingan antara pekerja lepas sebab angka pengangguran di seluruh dunia juga sedang tinggi-tingginya. 

Selain itu, asuransi kesehatan dan jaminan hari tua harus dibayar pekerja lepas sendiri padahal mereka tak punya gaji tetap bulanan layaknya pekerja sektor formal. Dan pemerintah tak peduli soal itu. Buktinya mereka tetap memotong persentase yang sama untuk pekerja lepas bagi Tapera.

Opsi ketiga ialah berbisnis. Ini juga tak kalah menantang. Banyak yang mengatakan jadi pebisnis atau wirausaha enak karena bisa jadi bos sendiri. Itu betul jika orang yang bersangkutan memiliki semua syarat yang dibutuhkan untuk menjadi pebisnis. Dan sebagaimana kita ketahui, bisnis tak semudah yang kita bayangkan. 

Seringnya merugi daripada cetak untung apalagi di tengah kondisi perlemahan ekonomi dan daya beli masyarakat seperti sekarang. Perlu diingat juga bahwa Indonesia bukan negara yang ramah untuk aktivitas berbisnis. Birokrasi berbelit, proses panjang dan lama, plus juga tingkat pungli dan korupsi tinggi. 

Biayanya tinggi sekali jika mau berbisnis resmi. Padahal untuk bisnis bisa berjalan secara baik, butuh kepastian kemudahan perizinan berbisnis dan menjalankan aktivitas bisnis dengan jaminan hukum. Berdagang online juga tingkat persaingannya makin ketat akibat derasnya gempuran produk China di ecommerce tanah air. 

Lalu apakah solusi ideal untuk para penganggur umur 40-an? Bisa jadi tidak ada. Yang ada hanyalah memahami bahwa saat ini yang penting bisa makan dulu. Tak perlu muluk-muluk berharap bisa menabung atau berinvestasi ini itu. 

Itu urusan nanti setelah kondisi makro membaik dan stabil. Sementara ini, yang bisa dilakukan ialah mencoba bertahan hidup. Sampai kapan? Sekali lagi hanya Tuhan yang tahu. (*/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun