Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bagaimana 2024 Menjadi Tahun Kemenangan Politik Sayap Kanan di Dunia

8 Juli 2024   18:02 Diperbarui: 9 Juli 2024   08:46 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Parlemen Eropa di Strassbourg, Perancis | AP/JEAN-FRANCOIS BADIAS via DW INDONESIA via Kompas.com

Kalau Anda sering membaca media-media internasional, Anda pasti merasa bahwa artikel liputan atau reportase soal pemilihan umum tak cuma soal Pilpres Indonesia yang baru saja dihelat Februari 2024 lalu. 

Saya sendiri merasakan hawa politik yang sangat kental jika membaca media-media internasional karena seolah liputan pemilihan umum tidak ada habisnya dari sejumlah negara di dunia. Begitu bosannya dengan politik sampai saya unfollow akun-akun berita di media sosial. Karena otak saya kebanjiran informasi politik.

Ternyata penyebabnya tak lain adalah karena memang tahun 2024 ini tercatat sebagai tahun pemilihan terbesar dalam sejarah manusia modern. Diketahui lebih dari setengah populasi dunia tinggal di negara-negara yang mengadakan pemilihan umum nasional sepanjang tahun ini. Meskipun banyak perhatian tertuju pada pemilihan presiden AS, demokrasi bisa dikatakan tengah menghadapi ujian di banyak negara lain juga termasuk negara kita Indonesia. Demikian tulis Amy Davidson Sorkin di laman newyorker.com.

Dilansir dari The Economist, tercatat ada 76 negara yang mengadakan pemilu nasional tahun 2024 ini. Negara-negara itu tak cuma negara besar semacam AS, India, Rusia, tetapi juga banyak negara lain seperti Pakistan, Aljazair, Bangladesh, dan Venezuela. Anda bisa membaca daftar komplitnya di laman time.com ini.

Namun, ada sejumlah pemilu yang patut menjadi perhatian kita bersama karena dampaknya yang relatif signifikan pada kondisi geopolitik dunia. 

Pertama ialah pemilu di Rusia Maret lalu, dengan Vladimir Putin yang terpilih kembali. Bisa dikatakan pemilu di sini agak diragukan hasilnya karena demokrasi Rusia juga jauh dari kata "sempurna" dan lebih dekat kepada kata "rekayasa". Dampaknya adalah kemungkinan besar Rusia masih di posisi yang sama dalam melawan hegemoni NATO (AS dan Uni Eropa) dengan perkumpulan BRICS-nya. Jadi Perang Dingin jilid kedua dengan segala efeknya saat ini mungkin masih akan trus berlanjut entah sampai kapan.

Kedua ialah India yang mengadakan pemilu terbesar tahun ini pada April-Mei 2024 untuk memilih anggota parlemen. Narendra Modi ternyata tetap mempertahankan jabatannya sebagai Perdana Menteri.

Ketiga yakni pemilu Pakistan yang diwarnai ketegangan politik dalam negeri akibat insiden penahanan pemimpin oposisi Imran Khan. Dan ternyata kandidat yang berkongsi dengan Imran Khan inilah yang memenangkan kursi terbanyak di pemilu.

Keempat yaitu Uni Eropa yang mengadakan pemilu parlemen pada Juni di 27 negara anggota. Hasilnya keluar beberapa hari lalu yang menunjukkan pergeseran ke haluan kanan, dengan partai-partai sayap kanan jauh meraih kemenangan signifikan. Partai-partai sayap kanan ini cenderung konservatif, anti imigran, memegang teguh tradisi dan nasionalisme yang tinggi.

Kelima yakni pemilu Prancis yang menciptakan ketidakpastian. Hasil mengejutkan terjadi di pemilihan parlemen Prancis putaran kedua. Aliansi sayap kiri berhasil meraih kursi terbanyak, mengalahkan partai sayap kanan jauh. 

Meski menghindari pemerintahan sayap kanan jauh, hasil ini menempatkan Prancis dalam kebuntuan politik karena tidak ada partai yang meraih mayoritas mutlak, membuat parlemen terkunci. Situasi ini menciptakan ketidakpastian dalam pembentukan pemerintahan dan proses legislasi ke depan di Prancis.

Keenam, pemilu di Jerman. Di sana, muncul hasil yang mengejutkan karena partai-partai pemerintah yang tidak populer meraih hasil buruk, sementara partai sayap kanan Alternative for Germany (AfD) meningkat dukungannya. Partai oposisi konservatif tersebut menjadi kekuatan yang menarik banyak orang sehingga berhasil menjadi kekuatan politik terkuat dengan selisih jauh dari partai lainnya.

Ketujuh, pemilu Italia yang menghasilkan kemenangan besar bagi Meloni. Meski demikian, kelompok pro-Eropa tetap dominan di parlemen. Von der Leyen menawarkan koalisi dengan Sosial Demokrat dan Liberal. 

Kekalahan partai Hijau berpotensi mempengaruhi kebijakan iklim UE. Hasil pemilu ini mencerminkan penguatan sayap kanan di beberapa negara Eropa dan akan mempengaruhi proses legislasi UE ke depan dalam berbagai isu penting.

Kedelapan ialah pemilu Meksiko yang juga memberikan hasil mengejutkan. Mereka telah memilih presiden perempuan pertamanya dalam pemilu terbesar sepanjang sejarah negara itu. 

Hasil awal menunjukkan Claudia Sheinbaum, seorang ilmuwan iklim dan mantan wali kota Mexico City, menang atas Xchitl Glvez dari koalisi oposisi. Sheinbaum, yang akan menjadi pemimpin Yahudi pertama Meksiko, memanfaatkan popularitas sekutu politiknya, Presiden Andrs Manuel Lpez Obrador, dan partai Morena mereka. 

Terakhir ialah pemilu Taiwan Januari lalu yang menghasilkan kemenangan Lai Ching-te dari Partai Demokratik Progresif (DPP) yang terpilih sebagai presiden Taiwan. Ia mengalahkan kandidat dari Kuomintang dan Partai Rakyat Taiwan. Ini menandai kemenangan ketiga berturut-turut DPP dalam pemilu presiden, sebuah pencapaian demokrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, DPP kehilangan mayoritas di legislatif, sehingga tidak ada partai yang memiliki cukup suara untuk memerintah sendiri.

Pemilu-pemilu ini sangat beragam dalam aspek komitmen terhadap demokrasi yang sejati. Dari 76 pemilu tadi, cuma 43 pemilu yang dinilai bebas dan adil menurut standar demokrasi yang layak. Namun, bahkan pemilu yang dipandang paling bebas dan bersih di dunia pun memiliki sejumlah kekurangan, termasuk pemilu di AS yang mencap dirinya sebagai advokatnya demokrasi dunia.

Kebangkitan politik sayap kanan di sejumlah negara di dunia ini bisa jadi menyeret kita kembali ke nilai-nilai yang lekat dan dekat dengan konsep berpikir dan berperilaku konservatif, memegang teguh adat dan tradisi masa lalu, dan cenderung mengutamakan kepentingan bangsa masing-masing sendiri (nasionalis) daripada harmoni dengan bangsa-bangsa lainnya. 

Menguatnya kaum sayap kanan tersebut menunjukkan adanya kerinduan manusia terhadap tatanan masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai tradisional, keluarga, dan moralitas. Bisa jadi ini terjadi akibat muaknya banyak orang terhadap cara berpikir dan berperilaku kaum progresif dan liberal yang mengobrak-abrik tatanan yang sudah ada. Kekacauan sosial dan ekonomi pun dikait-kaitkan dengan hal tersebut.

Kaum sayap kanan juga bisa mendapatkan dukungan mayoritas pemilih berkat gagasan mereka yang ingin mengutamakan kepentingan nasional dan identitas budaya setelah sekian lama bersikap terbuka dan menerima kedatangan orang asing/ ekspat dan kaum pekerja imigran. Hal ini juga terjadi di Bali, yang beberapa waktu ini diramaikan dengan pemberitaan turis-turis asing yang mengacau di tempat umum dan tak menghormati masyarakat dan penegak hukum lokal.  Akhirnya, masyarakat lokal Bali yang diwakili Ni Luh Djelantik menyerukan untuk mendeportasi orang-orang asing yang tak menghormati peraturan setempat dan dideportasi allu dicekal selama-lamanya dari Indonesia.

Dengan menurunnya kondisi kesejahteraan banyak orang di dunia, kaum sayap kanan juga menjanjikan akan meningkatkan kesejahteraan dengan menerapkan sistem ekonomi pasar bebas yang mendukung kapitalisme dengan intervensi pemerintah yang minimal. 

Yang menarik juga kaum sayap kanan biasanya memberikan janji untuk memperketat imigrasi agar kaum imigran apalagi yang ilegal yang diidentikkan dengan orang-orang yang hendak merebut pekerjaan orang lokal dan biasanya dianggap pembuat keributan bisa ditendang keluar wilayah negara tadi. 

Yang lebih mencemaskan ialah bersamaan dengan bangkitnya kaum sayap kanan ini, naik pula skeptisisme/ keraguan masyarakat luas terhadap perubahan iklim. Mereka ini berpola pikir mirip Donald Trump yang mencap isu perubahan iklim sebagai 'dongeng' dan 'mitos' belaka. Dampaknya ialah terancamnya konsensus ilmiah tentang perubahan iklim. Padahal di saat yang sama, bencana akibat perubahan iklim makin intens dan nyata.

Penting untuk dicatat bahwa spektrum politik sayap kanan sangat luas, mulai dari konservatif moderat hingga ekstrem kanan. Posisi spesifik dapat bervariasi tergantung pada konteks negara dan budaya.

Kebangkitan politik sayap kanan di banyak negara besar di dunia bisa membuat banyak perubahan kebijakan di negara-negara tadi yang pada gilirannya mempengaruhi Indonesia. Seperti apa bentuknya? Kita cuma bisa menunggu. (*/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun