PAGI tadi saya mengobrol bersama beberapa tetangga di sekitar rumah. Dari membahas soal iklim bisnis yang makin susah akhir-akhir ini, kami tiba-tiba 'tergelincir' ke topik percakapan soal Universitas Trisakti yang akan jadi PTN dan bergulirlah obrolan ke pengalaman traumatis saat hari ini 26 tahun lalu.
Seorang tetangga yang kebetulan masih kuliah di Trisakti saat itu mengenang ada kabar seorang kakak kelas yang tewas saat berdemonstrasi.Â
Sementara itu, tetangga lainnya yang masih anak-anak saat kerusuhan terjadi masih tinggal di Tangerang bersama keluarga dan menyaksikan bangunan-bangunan dirusak dan dibakar.
Saya sendiri tinggal di daerah yang syukurnya tak tersentuh kerusuhan sehingga yang kami ingat saat itu hanya berita kerusuhan di televisi yang tak ada hentinya sambil diselingi berita jatuhnya rupiah dan krisis moneter yang terus disebut oleh pembawa acara berita.
Itu terjadi tahun 1998 dan begitu saya menginjak kelas 3 SMA, saya masih ingat saat pelajaran Tata Negara, saya mulai belajar Otonomi Daerah. Otda saat itu masih 'mainan baru' karena bangsa ini baru saja keluar dari cengkeraman Orba yang otoriter dan Jakartasentris. Tiba-tiba seolah kebebasan didapatkan dan wujudnya adalah dengan pemberian otda yang sungguh melegakan rakyat secara luar biasa.Â
Tak bisa disangkal bahwa tragedi 12 Mei 1998 kini tercatat sebagai salah satu tonggak sejarah negara kita.
Gen Z, Jangan Sampai Tak Tahu
Bagi Anda pembaca Gen Z yang saat itu belum lahir, ketahuilah bahwa pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti, yakni Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie, gugur dalam aksi unjuk rasa menuntut mundurnya Presiden Soeharto.Â
Peristiwa berdarah tersebut kemudian memicu gelombang protes massif dan menjadi tonggak sejarah menuju berakhirnya Orde Baru. Kini, 26 tahun setelah tragedi itu, berbagai pihak menggelar peringatan sebagai bentuk penghormatan sekaligus mengingatkan pentingnya penegakan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan.
Meski sudah dua dekade lebih berlalu, secercah keadilan itu belum juga tampak. Dan momen ini juga menjadi refleksi bagi rakyat dan pemerintah: "Apakah kita sudah menuju lebih dekat atau makin melenceng jauh dari cita-cita Reformasi?".
Apakah itu cita-cita Reformasi? Menurut stafsus presiden Amiruddin Ma'ruf, cita-cita reformasi ialah membangun sistem demokrasi yang mapan dan membangun kesejahteraan umum di Indonesia akan terus berlanjut.
Demokrasi Mundur
Sayangnya, demokrasi kita justru mengalami kemunduran. Dikutip dari goodstats.id, Indonesia mengalami kemunduran demokrasi dalam satu dekade terakhir, bersama negara-negara Asia-Pasifik lainnya seperti Afghanistan, Bangladesh, Kamboja, Hong Kong, India, Myanmar, Filipina, dan Thailand.Â