Dalam siniar tersebut, Roetzer menyatakan bahwa bagaimanapun juga belum ada AI yang bisa menggantikan kerja jurnalis yang mencari sumber lalu mewawancarainya secara langsung.
AI hanya bisa merangkum dan mencomot tulisan dan artikel produk jurnalistik hasil kerja para wartawan tersebut sehingga bisa dikatakan manusia jurnalis masih belum bisa tergantikan setidaknya saat ini dan beberapa tahun ke depan sampai AI bisa menguasai keterampilan berbicara, menyusun pertanyaan lalu melaksanakan wawancara dan melakukan penulisan hasil wawancara dan menyuguhkan hasil akhirnya dalam bentuk tulisan yang relevan dengan kebutuhan dan selera pembaca media tempatnya bekerja.
Roetzer menyarankan bahwa jurnalis bisa memanfaatkan AI untuk mengerjakan tugas-tugas yang membosankan dan memakan banyak waktu misalnya menulis rangkuman mengenai isu terkini sebagai pembukaan dalam artikel berita.
Jurnalis kemudian bisa memperkaya tulisan/ karya jurnalistiknya pada bagian inti dengan menuangkan hasil analisis dan hasil wawancara dengan narasumber.
Selama ini memang AI tampak seperti ancaman besar bagi jurnalisme setelah kebangkitan Internet. Bisnis jurnalistik gaya lama seperti majalah, surat kabar dan radio banyak yang gulung tikar setelah Internet merambah ke segala lini kehidupan termasuk sektor informasi. Dan AI melengkapi 'penderitaan' para jurnalis yang gagap teknologi.
Tapi bagi para jurnalis yang tanggap terhadap perkembangan teknologi AI, justru beban kerja mereka akan lebih ringan berkat penggunaan AI di ruang redaksi.
Jadi, kembali lagi ini adalah seleksi alam ala Charles Darwin. Survival of the fittest. Bagi yang mau beradaptasi terhadap AI, pintu peluang terbuka lebar. Bagi yang enggan mengikuti, siap-siap terpental.
Memberdayakan Media Lokal dengan AI
Di kesempatan yang sama, Roetzer menambahkan bahwa masyarakat kita membutuhkan lebih banyak outlet media lokal yang bisa memberitakan isu-isu yang terlewatkan oleh media-media arus utama nasional yang biasanya punya modal dan SDM jauh lebih masif.
Dan di media-media lokal beginilah AI bisa membantu. Kenapa? Sebab biasanya media-media lokal seperti ini sangat minim SDM dan modal.
Kalau Anda mencermati, bisnis-bisnis media lokal cuma diperkuat redaksi yang beranggotakan sekitar 10-20 orang. Dengan skala itu pun, perusahaan media lokal itu sudah bisa dikatakan punya bentuk hukum dan resmi tercatat di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atau organisasi formal sejenis.