EMOSI adalah salah satu aset yang membuat manusia lebih unggul daripada mesin kecerdasan buatan (AI).
Emosi juga yang membuat manusia-manusia penulis seperti Anda dan saya merasa jemawa karena kita pasti menyangka: "Memangnya AI bisa punya emosi atau punya kecerdasan emosional sehingga bisa menulis dengan penuh perasaan?"
Tapi nyatanya AI bisa belajar apa pun, termasuk belajar mengasah kecerdasan emosionalnya. Bukan melulu kecerdasan otak, akademik, pengetahuan dan sains seperti yang kita tahu selama ini.
Hume: AI dengan Empati
Di fase awal seperti sekarang, AI baru belajar untuk menerapkan satu jenis keterampilan emosional khas manusia: empati.
Empati sendiri ialah kemampuan seorang manusia untuk bisa merasakan, memahami pikiran, perasaan, dan keadaan manusia lain, makhluk lain, bahkan benda mati sekalipun.
Misalnya saat kita membaca berita genosida Palestina, kita bisa merasakan trenyuhnya hati kita karena walaupun kita bukan bagian dari warga Palestina tetapi kita merasakan adanya solidaritas baik dalam hal kemanusiaan dan keagamaan.
Begitu juga saat kita menyaksikan ada hewan yang dibunuh oleh hewan lain saat menonton dokumenter satwa liar. Sebagian dari kita mungkin tidak tega dan bahkan menangis melihat zebra dikoyak lehernya oleh singa, atau seekor koala lucu yang terbakar hidup-hidup karena hutan rumahnya dilahap api.
Dan kini jangan kaget karena AI juga sudah belajar untuk merasakan dan menanggapi emosi yang kita sedang rasakan.
Adalah Hume AI, sebuah mesin kecerdasan buatan yang diklaim oleh produsennya sudah bisa menangkap ekspresi emosi manusia dan memberikan tanggapan yang penuh empati untuk emosi yang ditunjukkan manusia yang mengajaknya berinteraksi.
Dalam website resminya hume.ai, dijelaskan bahwa AI satu ini adalah AI yang memiliki empati dengan tujuan melayani kesejahteraan manusia ("empathic AI to serve human well-being").