KEMARIN (5/3) Menteri Pertahanan yang juga kandidat presiden 2024 Prabowo Subianto menyatakan dengan lantang bahwa selama lima tahun mendatang (baca: selama masa kepemimpinannya nanti) ia akan mendorong bangsa ini untuk bisa mencetak angka pertumbuhan ekonomi sebesar 8% bahkan lebih. Demikian dilaporkan oleh antaranews.com.
Target pertumbuhan tersebut terbilang cukup ambisius, mengingat tahun ini saja pemerintah hanya berani mematok target 5,1-5,7% sebagaimana dinyatakan di situs resmi pemerintah indonesia.go.id. Cukup realistis mengingat kondisi ekonomi global masih resesi dan perang genosida Palestina dan agresi Rusia ke Ukraina masih membayangi.
Indonesia (G)EmasÂ
Presiden Joko Widodo juga terus menggaungkan ambisi besarnya untuk merengkuh visi Indonesia Emas 2045. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang disebut "Indonesia Emas", disebutkan bahwa ada tiga unsur pokok dalam mencapai Indonesia Emas 2045: stabilitas bangsa dan negara, keberlanjutan dan kesinambungan dalam kepemimpinan, dan kualitas SDM Indonesia.
Lalu tolok ukur pencapaiannya, sebagaimana dijelaskan di website resmi pemerintah, adalah pendapatan perkapita, pendapatan nasional bruto, dan angka kemiskinan. Dengan kata lain, Indonesia Emas 2045 sangat menitikberatkan pada pencapaian ekonomi bangsa ini.Â
Apakah salah untuk fokus pada pertumbuhan ekonomi? Tentu tidak. Aspek ekonomi bangsa memang sangat penting. Ekonomi bak urat nadi kehidupan kita sebagai bangsa dan negara. Jangankan berpikir soal investasi ini itu, banyak rakyat kita yang masih terseok-seok dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka sebagai manusia (sandang, pangan, papan) saat ini.
Masalahnya, kita sendiri sudah gemas dengan penetapan target-target seperti ini. Di era Presiden Suharto tepatnya tahun 1996, penetapan target Indonesia Emas juga sudah pernah diangkat ke permukaan.Â
Negara kita juga digadang-gadang sebagai "Macan Asia" yang bakal jadi negara maju berkat pencapaian ekonomi masa Orba yang menurut observasi orang luar termasuk mencengangkan.Â
Tapi sejarah mencatat, kita tersandung Krisis Multidimensi 1998 yang legendaris tersebut dan hingga detik ini masih terperangkap di kelompok negara menengah.Â
Kalau soal jumlah populasi sih tak usah dikomentari, kita salah satu negara besar. Dan karena jumlah populasi yang raksasa ini, ukuran ekonomi kita juga besar.Â
Tapi masalahnya ekonomi kita ditopang lebih banyak oleh kegiatan konsumsi rakyat. Saat rakyat mengerem konsumsi atau berhemat sedikit saja, pertumbuhan ekonomi keok. Akhirnya rakyat terus menerus didorong untuk konsumtif.