pendidikan S2 dan S3 di negara ini.
PRESIDEN Jokowi beberapa waktu lalu bertekad akan menambah jumlah rakyat yang mengenyamMemang saat ini persentasenya dibandingkan jumlah total populasi kita masih sangat rendah yakni 0,45%. Tidak ada 1% dari keseluruhan rakyat usia produktif. Demikian dikutip dari tempo.co.
Tetapi pernahkah kita bertanya: Mungkinkah sebuah negara kelebihan atau oversuplai kelompok berpendidikan tinggi dan apa yang akan terjadi bila kelompok ini jumlahnya melebihi porsi seharusnya?
Mengenal Cliodynamics
Meski skenario ini masih tampak nun jauh di sana bagi Indonesia, saya ingin membahasnya di sini berdasarkan sebuah buku menarik tulisan akademisi Amerika Serikat Peter Turchin. Buku tulisan Turchin ini judulnya End Times (2023) terbitan Penguin Press.
Turchin ialah ilmuwan yang menggagas sebuah cabang ilmu baru bernama "cliodynamics" ("clio" ialah nama makhluk mitologi Yunani Kuno yang dianggap bertanggung jawab mengurusi sejarah dan "dynamics" yakni sains mengenai perubahan).
Dalam bahasa sederhana, cliodynamics ialah penggabungan ilmu sejarah dan Big Data, metode kualitatif (yang biasa dipakai di sejarah) dilebur dengan pendekatan kuantitatif (penerapan analytics Big Data terhadap data-data sejarah yang terkumpul selama ribuan tahun).
Berdasarkan data-data sebanyak itu, Turchin dan kawan-kawannya mengekstraknya untuk mengenali pola naik turunnya peradaban. Dari pola ini, ia bisa memprediksi kehancuran dan kenaikan peradaban sebuah bangsa di masa mendatang lalu menjelaskan mengapa itu bisa terjadi.
Mengingat peradaban modern saat ini didominasi Barat (AS) dan bangsa Amerika Serikat saat ini memiliki hegemoni global yang tak bisa disangkal, fokus analisis Turchin di sini bisa dikatakan penting untuk kita ketahui bersama.
Karena apa yang terjadi pada AS akan memiliki dampak pada bangsa-bangsa lain yang lebih kecil pengaruhnya termasuk bangsa kita Indonesia yang memiliki ketergantungan tinggi pada AS.
'Bencana' Saat Terlalu Banyak Orang Pintar
Secara garis besar, di bukunya Turchin mengurai sejumlah faktor pemicu yang ia prediksi membawa kehancuran Amerika Serikat sebagai sebuah pusat peradaban.
Beberapa faktor tersebut adalah tingkat upah di lapangan yang stagnan atau bahkan menurun, kesenjangan yang makin tajam antara kelompok kaya dan melarat, membanjirnya jumlah lulusan pendidikan tinggi (S1, S2, S3) usia produktif, tingkat kepercayaan masyarakat yang menurun, jumlah utang negara yang melambung.
Semua faktor tadi dapat berkontribusi pada instabilitas politik sebuah masyarakat di suatu negara, yang akhirnya menuju pada titik nadhirnya dan setelah melewati titik nol yang 'berdarah-darah' itu, bakal muncul tatanan baru yang bisa jadi akan melegakan banyak pihak. Anda bisa membaca ini di bab kata pengantar buku End Times.
Sebetulnya fenomena yang mirip juga terjadi di Indonesia. Gaji yang tak kunjung naik meski inflasi harga bahan pokok terjadi dan nilai produk properti melejit sehingga banyak yang belum bisa membeli rumah pertama mereka.
Sayangnya, di sini belum terjadi Elite Overproduction karena sebagaimana dikemukakan di depan, karena persentase rakyat yang berpendidikan tinggi baru di bawah 1%.
Kembali ke AS, Turchin menyatakan saat kelompok elit berpendidikan tinggi di sebuah negara makin banyak dan jumlah posisi puncak yang diincar mereka tetap seperti dulu, muncullah kelompok "counter-elite", yakni orang-orang yang bermain curang, mengakali aturan main yang sudah diberlakukan demi mencapai tujuan agar bisa menjadi bagian dari kelompok elit. Mereka yang bermain adil (fair) makin sedikit dan langka jika pun masih ada.
Bayangkan apa yang terjadi pada mereka yang sudah berjuang sedemikian rupa meraih pendidikan tinggi dan bermain secara adil untuk mendapatkan posisi di lingkarang elit impian selama hidup mereka lalu dicurangi kompetitor yang punya cara mengakali celah dari sistem yang ada? Tentunya jika Anda jadi mereka, Anda pasti akan marah besar dan ingin membongkar habis sistem yang penuh kecacatan ini bukan?
Dari kemarahan kelompok elit yang dicurangi oleh counter-elite inilah, tatanan sebuah negara/ peradaban bisa perlahan dibongkar dan dirobohkan karena dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakatnya.
3 Contoh Kasus
Turchin memberi contoh 3 kasus nyata dalam catatan sejarah: Donald Trump, Abraham Lincoln, dan Hong Xiuqian. Mereka adalah 3 pemimpin besar di negara masing-masing di era mereka sendiri yang dulunya sangat mengidamkan posisi puncak di negara mereka, lalu berhasil meraihnya dan turunnya mereka diikuti dengan sebuah periode penuh pergolakan berdarah yang menentukan nasib bangsa ke depan.
Hong memiliki Pemberontakan Taiping, sebuah perang sipil paling berdarah di sejarah manusia karena diperkirakan memakan korban 30-70 juta manusia. Lalu ada Perang Sipil Amerika yang meletus setelah Abraham Lincoln ditembak mati John Wilkes Booth, seorang simpatisan Konfederasi.
Dan pasca kepemimpinan Trump, terjadi pandemi Covid-19 dan rentetan insiden politik termasuk puncaknya ialah kerusuhan di Gedung Capitol yang menjadi "istana merdeka"-nya Amerika. Bayangkan jika hal yang sama terjadi di Jakarta. Publik dunia sudah pasti akan mengira terjadi kudeta di negara kita. Ini menunjukkan rapuhnya Amerika Serikat dari sisi dalam mereka sendiri bahkan jika Rusia dan China tak intervensi.
Haruskah Dicegah?
Setelah ini, mungkin kita bertanya-tanya: "Apakah perlu kita merancang rencana untuk mencegah Elite Overproduction?"Â
Menurut hemat saya, hal itu tidak perlu dan memang tidak akan efektif juga karena bagaimanapun juga ini adalah fenomena yang tidak akan bisa dihindari. Jika dikatakan dalam bahasa relijius, Elite Overproduction merupakan sebuah sunatullah alias hukum alam yang niscaya dialami setiap peradaban.
Untuk Anda yang ingin membaca buku fisik End Times tulisan Peter Turchin yang seru ini, Anda bisa menemukannya di toko buku Periplus dengan harga Rp345.000. Sangat direkomendasikan untuk Anda yang menikmati bacaan sejarah dan humaniora yang menyegarkan wawasan. (*/)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI