Olahraga terkini. Tema laporan ini adalah "Kebugaran Jasmani dan Generasi Emas 2045".
PADA bulan November 2023 lalu, Kemenpora merilis sebuah laporan mengenai Indeks PembangunanSebagaimana kita ketahui bersama, pemerintah memang gencar mencanangkan berbagai target untuk dicapai demi kemajuan bangsa dan negara kita saat usia bangsa ini nanti genap seabad pada tahun 2045. Saat Indonesia mencapai usia emas inilah diharapkan kita sudah menjadi bangsa yang jauh lebih baik dan maju dalam segala aspek.
Menurut Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga RI Rudy Sufahriadi, pemerintah memilih tema tersebut dengan alasan pemerintah memiliki keinginan kuat agar olahraga bisa menjadi 'game changer' (sebuah elemen/ faktor baru yang bisa membantu mengubah kondisi sekarang secara signifikan) bagi upaya meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia menuju Indonesia Emas 2045 baik pada tataran kognitif-intelektual maupun kesehatan fisik-psikis.
Memang Belum Pernah Maju
Selama ini kondisi bidang olahraga di Indonesia memang stagnan jika tidak bisa dikatakan mundur. Salah satu tolok ukurnya adalah peringkat kita di Olimpiade, yang menjadi indikator mudah untuk mengukur maju tidaknya olahraga di sebuah negara. Dan peringkat RI cuma 55 padahal negara ini dalam jumlah populasi adalah peringkat keempat terbesar di dunia. Sangat timpang dan ironis.
Tercatat peringkat tertinggi kita sejak Olimpiade Seoul 1988 cuma 24 pada tahun 1992. Setelah itu Indonesia terperosok ke 41 (di Atlanta 1996), ke 48 (Athena 2004), dan yang terendah di peringkat 60 (London 2012). Di Tokyo 2020, kita menangis darah karena berada di ranking 55.
Dan meskipun bangsa ini gandrung dengan badminton dan sepak bola, pada kenyataannya bangsa kita mayoritas adalah penonton. Masih sedikit  orang-orang yang mau berpartisipasi aktif menekuni ebuah cabang olahraga tetapi  cuma suka bersorak sorai memberi semangat layar kaca. Istilahnya cuma jadi 'couch athlete' alias atlet di sofa. Menonton pertandingan olahraga di stadion atau televisi, merasakan ketegangan dan kelelahan para atlet yang bergerak ke sana kemari tapi tubuhnya diam dan tidak ada dampak positif untuk kesehatan dirinya sendiri.Â
Kalaupun tertarik berolahraga, cuma sekali seminggu atau sporadis tanpa diiringi pemanasan dan pendinginan yang tepat, lalu memicu cedera atau jika sangat dipaksa, bisa memicu serangan jantung. Karena jantung lemah dan otot-oto tak pernah dilatih tapi tiba-tiba berlari mati-matian mengejar bola atau melakukan smash bak atlet pro. Sangat disayangkan.
Indeks Pembangunan Olahraga 2023: Remaja dan Pemuda Makin Lemah
Partisipasi olahraga masyarakat Indonesia secara umum juga menurun selama 2 tahun terakhir, dan ini juga ternyata berpengaruh pada tingkat klebugaran jasmani masyarakat.
Dalam survei Indeks Pembangunan Olahraga, diterapkan tes kebugaran jasmani Multistage Fitness tes (MFT) atau yang sering disebut sebagai 'beep test'.
Hasil yang didapatkan ternyata sangat memprihatinkan. Kebugaran masyarakat Indonesia yang berusia 10-60 tahun (usia produktif) menurun cukup signifikan. Di tahun 2021, persentase warga Indonesian yang hasil beep test-nya termasuk baik atau lebih adalah 7,87%, tahun 2022 menurun lagi menjadi 5,75% dan 2023 makin menurun menjadi 4,18%. Duh!
Lalu soal kebugaran jasmani para remaja (10-15 tahun) dan pemuda (16-30 tahun) yang kondisinya baik juga menurun. Tahun 2021 persentase remaja yang bugar 8,68% pemuda bugar 8,83%. Di 2022, turun jadi 7,03% dan 6,17%. Lalu di tahun 2023, malah turun lagi jadi 6,79% dan 5,04%. Sangat memprihatinkan.
Sementara itu, secara spesifik lagi, tingkat kebugaran remaja-remaja 10-15 tahun kita sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Setelah Kemenpora mengukur tingkat kebugaran 1578 remaja Indonesia usia 10-15 tahun yang tersebar di 34 provinsi pada 2023 ditemukan fakta bahwa mayoritas (77,12%) remaja Indonesia tingkat kebugarannya kurang dan sangat kurang. Dengan kata lain, dari 10 remaja kita, cuma 2 yang badannya sehat dan fit. Yang lainnya ringkih, sakit-sakitan, dan lemah.
Kita bisa menduga penyebabnya ialah karena mereka terlalu banyak duduk diam menggunakan gawai dan hampir tidak pernah menggerakkan badan. Akibatnya sebagaimana kita ketahui tidak mengherankan jika anak-anak dan remaja sekarang sudah ada yang kena diabetes.
Lalu untuk segmen pemuda (umur 16-30 tahun), kondisinya malah makin menyedihkan. Karena persentase pemuda ringkih mencapai 83,55%! Cuma 5,04% yang menunjukkan kondisi fisik yang baik.
Saya menduga penyebabnya ada banyak faktor misalnya makin maraknya game online, gaya hidup tidak aktif yang diakibatkan oleh banyaknya tugas kuliah atau pekerjaan yang banyak sehingga anak-anak muda kita merasa stres tetapi tidak mau mengusir stres dengan capek berolahraga.
Mereka lebih memilih merokok rokok tingwe (tembakau yang digulung sendiri dengan kertas, karena rokok pabrikan makin mahal), mengisap vape yang membuat syaraf rileks tapi paru-paru jebol, nongkrong di kafe minum kopi dengan gula berlebih, atau begadang untuk push rank Mobile Legend.
Anggarkan Lebih untuk Pencegahan
Pencegahan selalu lebih hemat daripada pengobatan, begitu kata orang. Tapi tak banyak yang menyukainya karena upaya pencegahan sangatlah membosankan, klise tapi sayangnya itulah yang lebih murah dan efektif.
Negara kita saat ini menanggung beban dana Jaminan Sosial BPJS Kesehatan yang makin meningkat dari tahun ke tahun akibat banyak faktor, yang salah satunya ialah pilihan pola hidup masyarakat yang kurang sehat.
Menurut katadata.co.id, tahun 2022 menjadi saksi beban dana BPJS yang dikeluarkan negara sebesar Rp130,4 triliun, yang artinya ada peningkatan 28% dibanding tahun 2021. Ini menjadi rekor tertinggi beban dana BPJS selama pendiriannya sejak 2014 lalu.
Dana sebesar triliunan rupiah ini mungkin bisa ditekan lebih rendah jika masyarakat kita mau mencegah penyakit-penyakit akibat pola hidup yang kurang sehat dengan berolahraga rutin dan memperbaiki pola hidup secara menyeluruh.
Pemerintah juga harus mawas diri dengan mengevaluasi kinerja dan fokus pembangunan. Jangan melulu mengejar pertumbuhan ekonomi tapi akibatnya banyak rakyat yang sakit-sakitan. Seharusnya kita berkaca pada apa yang terjadi di negara-negara maju seperti AS yang meski adidaya tapi rakyatnya mengalami kecanduan opioid, atau Korsel yang dikenal jumawa dengan Korean Wave-nya tapi rakyatnya memiliki tingkat bunuh diri yang tinggi. Pada akhirnya GDp tinggi bukanlah solusi. Kita mau kaya memang tapi jangan sampai kesehatan dan kebahagiaan hidup jadi tumbal.
Jika masih penasaran dengan hasil penelitian Indeks Pembangunan Olahraga terbaru, Anda bisa membaca laporan Kemenpora soal ini selengkapnya di sini. (*/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H