Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tren Gen Z "Skipping College": Ogah Kuliah Karena Tak Jamin Hidup Lebih Mudah

17 Januari 2024   08:22 Diperbarui: 17 Januari 2024   20:30 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIANG itu saya sedang mengobrol bersama seorang tetangga. Ia masih muda. Anak SMA kelas dua. Jelas ia seorang Gen Z (kelahiran 1997-2012).

Saat saya tanya apakah dia sudah ada rencana akan kuliah jurusan apa nantinya, ia menjawab: "Nggak kuliah, bang. Mau langsung kerja aja abis SMA."

Sebagai seorang Millennial (yang lahir antara tahun 1981-1996), saya terhenyak dengan jawabannya tersebut.

Mindset saya adalah di pasar tenaga kerja yang segila sekarang ini, jangankan lulusan S1, lulusan S2 saja masih susah mendapatkan pekerjaan yang layak.

Kok anak ini mau melewatkan bangku kuliah dan langsung kerja?

Kalau saya sendiri merasakan ada sejumlah manfaat dari mengenyam bangku kuliah. Setidaknya saya mendapatkan respek dari perekrut, employer atau pemberi kerja, dan juga memuluskan upaya promosi atau naik jabatan plus naik gaji. Titel yang lebih tinggi bisa jadi alasan untuk mendapatkan fasilitas lebih jika kita sudah sejajar dengan para pesaing lainnya.

Kemudian saya menyadari bahwa pilihannya itu mungkin juga bukan soal selera. Dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian yang lemah syahwat saat ini, memang sangat masuk akal jika orang tuanya mungkin tidak mampu membiayai uang kuliah.

Ternyata setelah saya baca sebuah artikel di buzzfeed, tren skipping college alias melewatkan bangku kuliah dan langsung ke dunia kerja sehabis SMA makin meluas di kalangan Gen Z di sejumlah negara, tak cuma di Indonesia.

Menurut World Economic Forum, tercatat pada tahun 2022 ada penurunan jumlah lulusan perguruan tinggi sebanyak kurang lebih 4 juta orang lebih sedikit dari tahun 2012. Padahal seharusnya jumlahnya meningkat mengingat jumlah populasi juga naik.

Lalu apa alasan di balik tren skipping college ini? Berikut beberapa alasan yang saya dapatkan dari sumber Buzzfeed dan hasil pengamatan saya sendiri.

Alasan Pertama: Biaya Kuliah Melonjak Tinggi

Berdasarkan laporan Buzzfeed, uang kuliah di perguruan tinggi terus naik dengan laju 12% setiap tahun tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan di kalangan lulusan perguruan tinggi.

Selama 50 tahun terakhir, pendapatan lulusan perguruan tinggi relatif sama. Dan kalaupun naik, tak begitu signifikan sehingga bisa dikatakan menjadi lulusan S1 tidak menjamin level ekonomi kita naik.

Saya sendiri belum mendapatkan datanya di Indonesia tetapi di AS sendiri, pendapatan pekerja muda lulusan PT jenjang S1 pada tahun 2018 cuma 56ribu dollar per tahun. Jumlah itu hampir sama dengan pendapatan pekerja muda di tahun 2001. Sangat mengiris hati!

Alasan Kedua: Tidak Bisa 'Balik Modal' Cepat

Jika di Indonesia, konsep utang untuk biaya pendidikan mungkin belum banyak didengar. Tapi di AS sana, bantuan pendidikan dalam bentuk beasiswa yang diterima tidaklah cuma-cuma. Setelah lulus, para lulusan PT harus bekerja keras mengembalikan dana tadi sekuat tenaga, dan hal ini membuat mereka terjerat utang selama bertahun-tahun, merampas kebebasan finansial meski gajinya mungkin lumayan tinggi untuk ukuran pekerja muda.

Di Indonesia, konsep dana pinjaman pendidikan yang berbalut beasiswa ini juga sudah ada namun menurut pengamatan saya cuma ada di sekolah-sekolah swasta bergengsi dan cuma diberikan pada anak-anak cerdas dari keluarga prasejahtera.

Sangat picik memang untuk menganggap pendidikan sebagai sebuah bisnis yang bisa untung atau rugi tapi faktanya begitulah sekarang ini yang kita temui. 

Bukankah ada juga sebagian orang tua yang memaksa anak-anak mereka masuk ke jurusan tertentu dengan alasan lebih mudah dapat kerja dan bergaji tinggi nantinya?

Alasan Ketiga: Memang Tak Berminat dan Berbakat di Bidang Akademik

Harus diakui tak semua orang memiliki bakat dan minat tinggi di bidang akademik. Duduk berjam-jam menyimak penjelasan dosen, mengerjakan tugas, atau menulis makalah dan esai bukanlah sesuatu yang nyaman dikerjakan semua orang.

Ada yang lebih nyaman untuk berdiri, bergerak ke sana kemari dan menghasilkan sesuatu yang konkret (uang). Mereka ini biasanya anak-anak muda yang merasa kuliah bukanlah jalan mereka menuju kesuksesan.

Apakah itu salah? Tak sepenuhnya salah juga, karena tak semua keberhasilan itu bisa dicapai lewat bangku kuliah. Sebagai orang dengan pemikiran terbuka, kita harus sepakat dengan fakta bahwa ada juga orang yang bisa memaksimalkan potensi diri mereka di luar tembok perguruna tinggi dan hidup mereka baik-baik saja bahkan melejit melampaui mereka yang pernah mengecap bangku kuliah.

Tapi menurut saya itu cuma berlaku untuk sebagian orang yang 'istimewa'. Mereka adalah anomali-anomali yang tidak sebanyak itu dijumpai dalam kehidupan nyata. Jumlah mereka mungkin 0,00001% dari populasi dunia.

Alasan Keempat: Banyak Profesi Idaman Tak Bisa Diakomodasi Universitas

Jika ditanya profesi idaman, anak-anak muda sekarang mungkin akan menjawab: "Menjadi YouTuber atau kreator konten".

Masalahnya, di kampus-kampus kita, belum ada yang bisa menampung minat para anak muda ini dalam sebuah jurusan khusus dan membuat mereka bisa nyaman belajar dalam sebuah kurikulum yang cocok untuk menjawab kebutuhan industri konten atau kebutuhan penikmat YouTube.

Di sinilah, perguruan tinggi gagal dalam menjawab kebutuhan pendidikan anak-anak muda Gen Z yang tumbuh dalam dunia yang begitu pesat perkembangannya.

Kenapa? Karena perguruan tinggi adalah sebuah institusi 'purba' yang cenderung statis. Ia mirip mammoth, alias gajah purba, yang ukuran badannya begitu besar sehingga ia susah untuk berlari mengejar perubahan. Kurang lincah dan progresif.

Belum lagi perguruan tinggi sekarang dikendalikan oleh para Baby Boomers yang rata-rata masih berpola pikir konservatif dan kerjanya lamban serta susah diajak berubah. Makin komplekslah masalahnya.

Alasan Kelima: Ingin Hidup Minim Kompetisi (Slow Living)

Dengan meningkatnya persaingan kerja di dunia sekarang ini dan ditambah dengan konsep kapitalisme, materialisme dan hedonisme yang marak, sebagian anak muda merasa muak.

Mereka menolak untuk masuk ke dalam sistem yang membuat mereka cuma menjadi budak-budak penggerak roda perekonomian dan dipaksa menjalani pekerjaan yang membuat jiwa dan batin 'kering', nelangsa dan tersiksa.

Mereka ini merasa hidup tak perlu harus dijalani dengan ambisi atau rencana muluk-muluk. Menjalaninya hari demi hari dengan pelan tanpa harus 'ngoyo', ngotot mencapai target, juga menjadi sebuah kehidupan yang membahagiakan, membuat jiwa penuh dan pikiran tenang.

Mereka merasa tidak tergiur lagi dengan glamornya kehidupan teman-teman mereka yang pamer di media sosial karena sudah meraih prestasi ini itu, pergi ke negara-negara luar, tapi ternyata itu semua karena privilege dari orang tua atau lingkungan misalnya kekayaan dan nama orang tua.

Dengan kata lain, sebagian Gen Z ini sudah menerima sepenuhnya kenyataan bahwa mereka akan menjalani hidup yang biasa-biasa saja dan itu bukan masalah besar. Karena masalah besarnya ada pada orang tua mereka atau masyarakat sekitar yang menuntut mereka untuk bisa meraih berbagai hal tersebut (misal sukses dan sudah menikah serta memiliki pekerjaan PNS dengan gaji stabil di usia 20-an).

Jika Anda sendiri Gen Z, apakah Anda juga setuju dengan alasan-alasan di atas? Atau Anda sendiri Gen Z yang tak mau kuliah dan langsung kerja tapi tidak didorong oleh alasan-alasan tersebut? Mari diskusi di kolom komentar. (*/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun