DI KAMPUNG saya pernah ada seorang anak laki-laki yang terlahir dalam keadaan 'istimewa'. Ahmad, sebut saja begitu, adalah seorang tuna grahita dengan epilepsi.
Rumahnya yang di depan rumah saya membuat saya saat kecil bisa mengamati perilakunya.
Ahmad yang kebetulan jauh lebih tua dari saya ini terlahir di keluarga yang secara ekonomi berkekurangan sehingga tidak heran jika ia tidak bisa bersekolah di sekolah luar biasa.
Kesadaran akan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus juga masih rendah di daerah saya.
Kalau ada anak berkebutuhan khusus ya sudah, disuruh tinggal di rumah saja. Ahmad diasuh sendiri oleh orang tuanya dengan cara seadanya.
Padahal jika keluarga mau mendorongnya berinteraksi dengan orang lain dan masyarakat mau menerima dengan baik dan penuh kasih juga pasti potensi si anak berkebutuhan khusus ini bakal muncul.
Lain dengan kisah seorang anak berkebutuhan khusus lainnya, sebut saja Bima, yang terlahir di keluarga yang lebih teredukasi soal kondisi istimewa sang anak (ia autis). Plus keluarga ini tinggal di ibu kota dan memiliki jejaring lebih luas dan akses lebih mudah ke pakar dan dokter anak.
Bima tergolong beruntung sebab sang ibu dan ayah sangat suportif soal pendidikannya.
Bima dikirim ke sekolah khusus, bertemu dengan psikolog, terapis. Ia tidak dikurung di rumah. Kadang ia diajak ke luar bertemu teman-teman ayah ibunya jika suasana hati dan kondisinya memang memungkinkan.
Bahkan karena mood Bima bisa terpengaruh oleh makanan, orang tuanya juga belajar bagaimana membuat makanan organik dan mengolahnya sendiri agar lebih sehat bagi anaknya.Â