Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

"Davos Man" Ungkap Kerakusan Para Taipan di Balik World Economic Forum

5 Juni 2022   13:30 Diperbarui: 5 Juni 2022   13:51 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PETER S. GOODMAN adalah seorang jurnalis New York Times dan responden bidang liputan ekonomi dunia yang memiliki pengalaman yang tak diragukan lagi. Tak cuma sekali tapi tujuh kali ia meliput ke Davos, bertemu dengan banyak orang penting di sana dan mengamati serta mencatat perilaku mereka dan motif di balik tingkah polah para orang super kaya dan berpengaruh yang berkumpul di sana.

Penulis membuka buku DAVOS MAN ini dengan sebuah prolog mengenai pandemi Covid di tahun 2020 yang begitu membekas. Bagi banyak orang, tahun itu adalah simbol penderitaan, kematian, pelemahan, penurunan. Rasa takut menjalar di mana-mana karena virus baru menyebar tanpa bisa dikendalikan. 

Jutaan orang meninggal dunia dan jutaan lainnya merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Mungkin Anda juga salah satunya yang merasakan dampaknya.

Namun, tidak bagi para miliuner dunia yang berkumpul secara rutin di kota Davos. Bagi orang-orang kaya dan cerdas ini, pandemi justru menjadi peluang bagi mereka dalam meraup keuntungan yang lebih besar bagi pundi-pundi mereka yang bisa memperkaya diri, keluarga dan kelompok mereka.

Melalui mata Goodman, kita dipandu di tiap lorong dan ruang World Economic Forum, sebuah ajang yang mencerminkan kekuatan ekonomi dari kaum kapitalis yang seakan sudah mencengkeram dan mengakar sampai ke relung-relung kehidupan kita. 

Melalui World Economic Forum, mereka ini ingin menampilkan cira diri yang lebih positif di mata masyarakat dunia. Mereka memamerkan pencapaian yang kata mereka dibuat demi kemaslahatan umat manusia. Ambil contoh saja upaya-upaya para taipan itu dalam menghadapi dampak pandemi. 

Mereka seakan menyampaikan pesan bahwa merekalah pahlawan dari penanganan pandemi lalu itu. Mereka menginisasi banyak gerakan kemanusiaan, vaksinasi, gerakan sosial, pemberdayaan SDM, dan sebagainya.

Di mata Goodman, para CEO besar datang dan mempresentasikan pencapaian mereka yang konon ditujukan demi kebaikan umat manusia. Meski memang terlihat demikian, kenyataannya kontribusi mereka dalam memicu masalah-masalah dunia juga tak kalah besarnya. 

Goodman menuliskan parahnya eksploitasi kesempatan selama pandemi ini untuk memperkaya diri mereka sendiri. Banyak cara yang orang-orang super kaya ini lakukan. Pertama dan utama ialah penghindaran pajak. Ini sudah bukan rahasia lagi. Kita juga tahu orang-orang kaya di sini ada yang namanya masuk dalam Panama Papers. 

Bagi Anda yang belum tahu apa itu Panama Papers, Anda bisa bayangkan ada setumpuk dokumen soal aset kekayaan orang super tajir di seluruh dunia yang menaruh kekayaan mereka di luar negara-negara mereka agar bisa menghindari potongan pajak yang besar. Di Indonesia sendiri ada kok beberapa nama yang disebut melakukan itu. Anda bisa baca sendiri di sini.

Para taipan ini memang sudah dilatih oleh generasi pendahulunya untuk mengamankan aset dari pemerintah yang haus pajak dengan mencari celah di aturan-aturan perpajakan yang ketat. Dengan bantuan para pengacara 'hebat', mereka mencari negara-negara yang aturan pajaknya lebih 'bersahabat' untuk menyimpan aset kekayaan agar tak tersedot negara seperti Irlandia, Singapura atau Swiss.

Di saat yang sama, masyarakat ekonomi bawah makin terbebani dengan pajak yang makin naik karena selain pemerintahnya makin butuh pemasukan akibat deraan pandemi, masyarakat kecil tidak paham aturan perpajakan dan mencari celah untuk mendapatkan keringanan pajak adalah sesuatu yang hampir mustahil mereka lakukan. 

Paling hal yang mereka bisa lakukan adalah tidak mendeklarasikan kekayaan. Tapi jumlah kekayaan itu terbilang receh jika dibandingkan kekayaan para taipan ini.

Davos seolah bisa menjadi sebuah lambang kaum kapitalis yang paling kapitalis. Saking kuatnya pengaruh mereka, sampai keinginan dan lobi-lobi mereka bisa mengatur takdir umat manusia di muka bumi ini.

Di Davos, kita juga disuguhi dengan sebuah pertunjukan atas supremasi kulit putih yang luar biasa. Kita orang Asia mungkin boleh saja kaya raya melebihi mereka tapi hegemoni dan dominasi masih tetap di tangan pria-pria kulit putih, yang lahir di Eropa, berbicara bahasa-bahasa Indo Eropa, dibesarkan dengan pola pendidikan Barat, dan tentu bekerja dengan ideologi ala Barat.

Lalu bagaimana posisi Indonesia?

Negara ini mungkin secara populasi jumlahnya 5 besar dunia tapi dari sudut pandang pengaruh, hegemoni, dominasi di percaturan dunia, RI cuma strata ke sekian. Di buku ini Indonesia cuma disebut sekalidi sebuah paragraf yang membahas soal vaksinasi Covid di seluruh dunia yang tak merata akibat egoisme bangsa-bangsa Barat yang menumpuk vaksin. 

Bangsa-bangsa berkembang seperti kita, Bangladesh sampai Afrika Selatan sebetulnya sudah siap lho memproduksi vaksin masing-masing tapi masalah datang saat pihak industri manufaktur atau produsen vaksin itu tidak mendukung mereka. Para produsen vaksin global masih dikuasai kapitalis Barat sehingga tentu mereka mengutamakan pemodal dan bangsa Barat dulu.

Bangsa-bangsa Barat juga menggunakan vaksin sebagai alat mengukuhkan dominasinya di dunia. Sementara warga dunia masih belum divaksinasi, rakyat negara berkembang sudah lebih dulu terlindungi bahkan sampai sudah vaksin kedua dan ketiga. Itu karena pemerintah-pemerintah negara Barat Eropa menumpuk stok vaksin untuk memastikan bangsanya sehat dan terlindung dari Covid dulu. Sisa vaksin yang hampir habis masa berlaku barulah didistribusikan ke negara-negara berkembang. 

Lewat buku ini, Goodman juga seakan mengingatkan kita agar tidak terlalu mudah memuja-muji korporasi atau instansi yang meluncurkan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang membagikan uang, fasilitas, benefit atau apapun itu secara cuma-cuma pada masyarakat luas. Kenapa? Karena dana ratusan juta atau miliaran itu porsinya jika dibandingkan dengan keuntungan yang berhasil mereka keruk dari gurita bisnis mereka relatif kecil alias 'receh'.  

Membaca buku ini memang patut disertai dengan rasa kritis dan optimis, karena jika tidak kita akan terjebak pada rasa tidak berdaya dalam menjalani kehidupan begitu mengetahui besarnya penindasan ekonomi yang kita derita selama ini. (*/ Twitter: @Akhliswrites)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun