Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Minyak Kelapa Vs Minyak Sawit, Mana yang Lebih Ramah Lingkungan?

3 Desember 2021   14:50 Diperbarui: 5 Desember 2021   08:01 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi minyak goreng.| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Jika mendengar kata "sawit", kita kerap mengasosiasikannya dengan kerusakan lingkungan. Entah itu kebakaran hutan, kabut asap akibat pembakaran hutan demi membuka lahan perkebunan sawit dan sebagainya. 

Indonesia juga sudah "kenyang" dituduh sebagai negara pengekspor kabut asap tiap ada kebakaran hutan yang membuat negara-negara tetangga kelabakan.

Sementara itu, di sisi lain minyak kelapa digadang-gadang sebagai minyak yang lebih alami dan ramah lingkungan. Ini saya ketahui dari seorang teman yang memiliki keprihatinan terhadap isu pelestarian lingkungan. 

Menurutnya, menggunakan produk-produk yang berbahan minyak sawit sama saja mendukung pembakaran lahan dan perusakan hutan alami negara kita. Dalam memasak pun, minyak kelapa diutamakan daripada minyak goreng sawit karena dianggap dapat diperoleh tanpa merusak lingkungan.

Tetapi sekali lagi apakah ini asumsi atau memang keyakinan yang memiliki bukti?

Di era digital sekarang, kita sebagai konsumen juga jangan terlalu masa bodoh dengan isu-isu seperti ini. Didiklah diri kita sendiri lebih giat agar kita sebagai konsumen tidak dipermainkan oleh para produsen dan pemasar yang 'mempermainkan' pikiran dan pilihan kita saat berbelanja dan dalam kegiatan konsumsi apapun.  Akhirnya kita seperti biri-biri yang dengan mudah digiring ke sana kemari. Jadi korban iming-iming janji kosong melompong.

Sawit vs Kelapa: Lebih Ramah Lingkungan Mana?

Tim sebuah penelitian ilmiah dari University of Exeter yang hasilnya dipublikasikan tahun 2020 lalu menyatakan bahwa produksi minyak kelapa pada kenyataannya juga memiliki kemungkinan untuk merusak lingkungan layaknya perkebunan sawit.

Lho kok bisa ya?

Jadi begini, para peneliti dari universitas tersebut menguak temuan bahwa minyak kelapa tidak serta merta bebas dari dosa perusakan lingkungan hidup meski di media massa kita tidak melihatnya secara kasat mata.

Selama ini dari media massa kita tahu bahwa hutan hujan tropis di negara kita yang menjadi paru-paru dunia pelan-pelan jadi dibabat habis untuk dijadikan lahan perkebunan sawit.  Karena itulah citra sawit di mata warga dunia relatif negatif. Apalagi di masyarakat Barat yang notabene sudah lebih peduli dan prihatin soal lingkungan hidup.

Namun, temuan studi tahun 2020 itu menyatakan minyak kelapa mengancam keberadaan spesies lebih ganas jika diukur per liter produksinya daripada minyak sayur atau minyak sawit.

Masalahnya ada pada "konsumsi yang bertanggung jawab". Tidak asal dan jor-joran.

Konsumen awam cenderung kehilangan batasan mengenai dampak produksi bahan baku kelapa pada lingkungan hidup. Konsumen pun seolah terlena. Mereka pikir: "Minyak kelapa ini lebih ramah lingkungan jadi saya bisa memakai sebanyak mungkin, kapan saja, di mana saja, semau saya."

Tren berpikir bahwa minyak kelapa pasti lebih sehat dan ramah lingkungan muncul di Barat dan minim dampak negatif pada bumi. Padahal jika konsumsinya secara berlebihan dan tak terukur juga sama saja merusaknya.

Konsumen-konsumen yang yakin bahwa minyak kelapa lebih baik dari sawit biasanya mendapatkan 'edukasi' tersebut dari media-media di sekitar mereka, yang biasanya juga memiliki kepentingan-kepentingan tertentu terkait ekonomi yang berkaitan dengan komoditas ini. 

Dari penelitian ini, produksi minyak kelapa tercatat memengaruhi 20 spesies yang terancam kepunahan (baik itu flora dan fauna) per juta liter minyak yang diproduksi. Angka itu lebih tinggi daripada produksi minyak sawit (3,8 spesies per juta minyak) dan minyak kedelai (cuma 1,3 spesies per juta minyak).

Alasan kenapa ini bisa terjadi ialah karena produksi minyak kelapa banyak di daerah pulau tropis yang memiliki keanekaragaman hayati lebih tinggi dan spesies yang lebih banyak sehingga risiko merusaknya juga menjadi lebih tinggi dari sawit dan kedelai.

Perkebunan kelapa diperluas demi memenuhi permintaan pasar dan akhirnya menggerus habitat satwa langka semacam Marianne mata putih di Seychelles dan musang terbang Ontong Java di kepulauan Solomon.

Spesies tropis lain yang juga terancam akibat perluasan perkebunan kelapa adalah kancil Balabac yang hidup di kepulauan Filipina dan tarsier di Kepulauan Sangihe.

Lalu Harus Bagaimana?

Lagi-lagi konsumen yang peduli lingkungan dihadapkan pada pertanyaan: "Lalu sebaiknya saya harus bagaimana? Apa saya harus sepenuhnya menghindari minyak kelapa?"

Begitu mungkin suara dalam benak kita.

Apakah kita harus beralih ke minyak zaitun atau minyak jenis lain?

Tapi para peneliti ini juga mengatakan minyak lain juga tak bebas masalah sepenuhnya.

Nah! Ada baiknya kita sebagai konsumen mesti sadar bahwa apapun yang kita konsumsi ada dampaknya pada lingkungan kita (baca: planet bumi).

Kita harus sadar bahwa semua komoditas pertanian dan perkebunan memiliki dampak pada lingkungan secara keseluruhan.

Dan konsumen juga berhak mendapatkan informasi akurat mengenai risiko pilihan yang mereka buat.

Transparansi dari pihak produsen mengenai proses produksi dan dampak lingkungan juga sepertinya perlu dibeberkan ke konsumen karena dengan demikian konsumen bisa membuat keputusan yang lebih bijak.

Tantangannya sekarang ialah bagaimana pihak berwenang (pemerintah negara-negara di dunia) bisa menggodok sebuah standar yang universal agar bisa menyajikan informasi yang akurat bagi konsumen di manapun mereka berada. (*/ Twitter: @akhliswrites)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun