KEMARIN seseorang mengeluh di linimasa media sosial. Katanya: "Belum Senin kalau nggak meeting Zoom sampai 3 jam nggak ada putusnya."
Ya, saya juga bisa merasakan lelahnya 'cuma' mengikuti rapat virtual seperti itu. Fisik tidak ke mana-mana tapi pikiran capek sekali.Â
Hal ini juga dirasakan oleh mereka yang kuliah virtual juga. Dan mungkin lebih parah karena anak-anak sekolah atau kuliah sekarang bisa belajar di depan laptop selama berjam-jam melebihi orang kerja juga. Â Sesuatu yang sangat melelahkan mata, pikiran dan jiwa.
Gejala yang dinamai "Zoom Fatigue" ini makin lumrah dijumpai di tengah masyarakat dunia. Jadi ini bukan cuma kita saja yang merasakan.Â
Dan tenang saja, karena ada satu kiat yang bisa Anda lakukan untuk mengurangi kelelahan ini: matikan kamera.
Betul. Jangan merasa tidak sopan atau sungkan hanya karena mematikan kamera saat rapat atau kuliah online jika memang dirasa sedang lelah.
Tip ini didukung oleh temuan dari penelitian di University of Arizona Eller College of Management yang dipublikasikan di Journal of Applied Psychology.
Peneliti mengatakan Zoom Fatigue memang sebagian dipicu oleh kamera web yang dinyalakan saat mengikuti rapat virtual.
Lebih lanjut, mereka mengatakan banyak yang berasumsi bahwa dengan menyalakan kamera, orang akan lebih terdorong untuk mengikuti jalannya rapat.Â
Hal itu bisa saja terjadi tetapi harus disadari juga bahwa keharusan menampilkan diri di layar Zoom memberikan kita tekanan mental juga. Saat Anda dalam lingkungan kerja dan selalu harus bersikap profesional serta berjuang mengendalikan kondisi di sekitar Anda (yang mungkin tak bisa dikendalikan secara sepenuhnya), tentu Anda akan merasa stres. Bayangkan saja misalnya Anda harus mengasuh anak saat bekerja di rumah dan mengikuti rapat. Beban pikirannya jadi dobel pasti.
Anehnya, peneliti menemukan bahwa mereka yang mematikan kamera justru lebih bisa menyerap isi pembicaraan selama rapat virtual dibandingkan mereka yang menyalakan kamera sepanjang rapat. Ini bertentangan dengan asumsi banyak orang selama ini, bahwa menyalakan kamera adalah jaminan seseorang lebih aktif dan terlibat dalam pertemuan.
Uniknya, ilmuwan juga menemukan adanya kelompok yang rentan Zoom Fatigue ini. Mereka adalah pekerja baru, pekerja junior dan karyawan perempuan. Ini masuk akal karena para pekerja perempuan yang mengasuh anak di rumah juga dituntut harus profesional dengan meminimalkan 'gangguan' dari anak-anak mereka saat mereka harus bekerja.Â
Ada semacam tuntutan halus bahwa saat seorang pekerja menampilkan dirinya di layar, mereka harus sempurna, kondisi rumah harus rapi, sepi dan kondusif. Teriakan anak atau tangisan bayi adalah sebuah cacat yang memalukan. Di sinilah penghakiman semacam itu membebani orang.
Karenanya, ada baiknya kita tidak memberikan ekspektasi yang memberatkan rekan-rekan kerja atau karyawan yang memang memiliki anak-anak yang harus diasuh di rumah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H