UMKM Indonesia saat ini memang sedang terhimpit dan menjerit. Kita paham betul sengsaranya usaha-usaha kecil di seantero negeri sejak PSBB pertama hingga PPKM saat ini diberlakukan.Â
Kondisi ekonomi yang tak menentu membuat tekanan makin menyesakkan dada para pengusaha mikro dan kecil.
Tapi pandemi ini sebenarnya satu ujian besar pertama. Munculnya virus baru bernama Covid-19 ini seolah menjadi pertanda bagi kita bahwa alam sudah mulai tidak bersahabat kita sebagai manusia harus mulai bersahabat dengan alam.
Ujian besar berikutnya adalah KRISIS IKLIM yang perlahan tapi pasti sudah kita rasakan. Bencana-bencana 'alam' yang skalanya begitu masif dan seakan tak pernah terjadi sebelumnya sedang terjadi di berbagai tempat di dunia.Â
Aktivis iklim dunia Greta Thurnberg menyoroti terjadinya kebakaran lahan dan hutan, banjir bandang di Jerman dan China, kekeringan di Madagaskar Selatan yang begitu parah, gelombang udara panas di Amerika bagian utara yang menembus batas historisnya, dan sebagainya.
Terkait dampak krisis perubahan iklim ini, sebuah studi dilakukan tim riset University of Stanford dan temuan dipublikasikan tahun 2019 lalu.
Mereka menemukan kenyataan bahwa para pemilik bisnis lokal di daerah pesisir Amerika Serikat sudah mulai merasakan dampak perubahan iklim yang tak bisa disetop.
Dampak itu dirasakan mulai dari makin seringnya banjir terjadi menimpa tempat usaha mereka. Mereka harus menanggung kerugian finansial yang tak sedikit akibat naiknya permukaan air laut ini.Â
Dari penelitian mahasiswa Stanford Miyuki Hino dan rekan-rekannya, ditemukan bahwa di pusat kota Annapolis, negara bagian Maryland, sudah terjadi kerugian hilangnya 3.000 kunjungan di tahun 2017 saja akibat naiknya permukaan air laut ke tempat-tempat usaha lokal yang biasa dikunjungi warga.Â
Tak bisanya orang berkunjung artinya kerugian kehilangan pemasukan yang setara dengan 86.000 hingga 172.000 dollar AS. Dan ini jumlah yang tak sedikit untuk sebuah UMKM.
Di kota tersebut banjir tersebut mendera berbagai infrastruktur kota yang ada di pesisir pantai. Dan tercatat adanya kenaikan permukaan air laut sebesar 60% jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu.Â
Diperkirakan dengan laju yang sama, pada tahun 2035, sekitar 170 komunitas lokal di pesisir sekitar Annapolis mengalami 26 hari banjir selama setahun dan estimasi kerugian bisa diperkirakan makin melonjak.Â
Itu sama dengan 1 bulan didera banjir jika diakumulasi dengan kerugian puluhan ribu dollar seharinya. Wow!
Kita sendiri sudah menyaksikan bahwa di Indonesia para pejabat tinggi sudah kehilangan akal untuk menanggulangi makin parahnya banjir rob di banyak kota di pesisir pantai terutama di Pulau Jawa yang sangat padat.Â
Lihat saja di Semarang yang bagian utaranya menjadi langganan rob. Saking parahnya, sempat isu rob ini menjadi isu nasional yang diperdebatkan antara Megawati dan gubernur Jateng Ganjar Pranowo (sumber: "Ditegur Mega, Ganjar Klaim Klaim Usaha Atasi Rob Sejak 2016").
Alih-alih menggunakan dan membatasi banjir rob sebagai komoditas politik semata, kenapa kita tidak berpikir lebih luas, bahwa ini adalah masalah seluruh umat manusia juga?Â
Karena menurut peneliti UGM, pemicu banjir rob juga bukan cuma soal pemompaan air tanah yang berlebihan, pengerukan alur pelayaran, dan reklamasi pantai yang selama ini dilakukan kita sendiri tapi juga mencairnya es di kutub bumi akibat ulah umat manusia sebagai sebuah akumulasi.
UMKM Indonesia tidak bisa mengandalkan pemerintah dan mesti mulai memutar otak agar usaha mereka bisa lebih tahan krisis iklim yang bakal makin parah karena kita tak peduli.Â
Dan saya yakin kondisi ini makin akan memburuk dari tahun ke tahun karena di Indonesia sendiri tidak ada kesadaran komunal apalagi upaya tersistematisasi untuk menanggulangi dampak perubahan iklim.Â
Jangankan memikirkan dampak perubahan iklim pada kesejahteraan manusia sekarang, memikirkan upaya mengatasi dampak perubahan iklim pada ekonomi di 5 tahun mendatang saja pemerintah tidak sanggup.Â
Marilah kita ingat bahwa saat alam rusak dan tenggelam, kita manusia akan tenggelam bersamanya. (*/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H