MEMBACA judul di atas mungkin Anda yang sekarang bisa bertahan sampai usia senja tanpa gelar sarjana akan membantah mentah-mentah.
Tapi tunggu dulu bung, ini bukan pernyataan saya.
Ini adalah temuan ilmiah!
Selama 2010-2019 sebuah studi digelar di Negeri Paman Sam terkait angka harapan hidup di sana. Duo peneliti yang terlibat di sini ialah Anne Case dan Sir Angus Deaton (salah satu penerima Penghargaan Nobel) dari Princeton University di AS.
Mereka meneliti 48,9 juta sertifikat kematian di AS sejak 2010 dan mereka mengumpulkan data megenai usia, jenis kelamin, ras, etnis, pendidikan dan tahun kematian. Dengan banyaknya jumlah subjek seperti ini, tentu saja hasilnya diharapkan bisa lebih akurat.
Untuk menghitung tingkat kematian, mereka menelaah data populasi American Community Survey dan Current Population Surveys, lalu menyesuaikan metodologi penelitian karena ditemukan sejumlah data yang hilang atau kurang lengkap.
Simpulan akhirnya ialah mereka yang tak memiliki gelar sarjana atau tak pernah mengenyam pendidikan tinggi mengalami kesulitan untuk bertahan apalagi untuk membangun hidup yang sukses dan bermakna di negeri itu. Mereka menyatakan bahwa para warga AS tanpa gelar sarjana memiliki risiko kematian lebih tinggi daripada rekan-rekan mereka yang mengantongi gelar S1. Dengan kata lain, tanpa gelar sarjana, seseorang lebih cepat meninggal.
Dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan ini masih sangat besar. Di AS saja, dua pertiga warganya masih belum punya gelar sarjana.Â
Jadi bayangkan porsinya di negara kita Indonesia tercinta ini. Pastinya persentasenya jauh lebih besar.
Manfaat pendidikan tinggi sungguh nyata bagi kesejahteraan manusia. Dua peneliti tersebut menemukan bahwa manfaat ini bisa dirasakan setiap manusia tanpa memandang ras, suku, dan faktor lain.Â
Warga kulit hitam AS, misalnya, bisa mendekati angka harapan hidup warga kulit putih jika mereka memiliki gelar sarjana. Ini tentu saja sangat mencengangkan mengingat kita tahu bahwa warga kulit hitam di sana sangat lekat dengan kemiskinan dan kriminalitas akibat rasialisme yang sudah mendarah daging oleh kalangan kulit putih di hampir segala bidang kehidupan.
Penjelasan selanjutnya mengapa angka harapan hidup mereka yang tidak memiliki ijazah sarjana menurun ialah sekarang makin kesulitan menemukan pekerjaan yang layak tanpa ijazah sarjana. Banyak pekerjaan yang sudah hilang akibat gelombang globalisasi dan otomatisasi.Â
Akibatnya para pemberi kerja tak mau merekrut mereka dan memilih tenaga kerja dengan kualifikasi lebih baik. Tanpa pekerjaan yang layak, bagaimana Anda bisa hidup sejahtera dan memelihara kesehatan?
Bagaimana dengan angka harapan hidup setelah pandemi begini?
Menurut prediksi peneliti, kesenjangan tingkat pendidikan di masyarakat akan terus melebar dan mengakibatkan mereka yang tak memiliki akses menuju pendidikan tinggi menaggung lebih banyak risiko dalam dunia kerja.Â
Sementara itu, mereka yang memiliki gelar sarjana akan masih bisa bertahan karena mereka bisa bekerja secara jarak jauh (remote) dengan berbekal gawai dan sambungan internet. Mereka masih bisa bekerja dari rumah sehingga kesehatan dan keamanan mereka juga jauh lebih terjamin.Â
Nah, dengan manfaat pendidikan tinggi yang sangat besar ini, marilah kita terus mengajak anak-anak , adik-adik atau keponakan kita untuk terus menuntut ilmu hingga setinggi mungkin.Â
Mungkin ada yang mencibir: "Ah sekolah tinggi-tinggi nanti juga menganggur!" atau "Masih bisa sukses kok tanpa harus kuliah dan bergelar sarjana. Lihat saja Bill Gates dan Mark Zuckerberg.".Â
Kita harus ingat bahwa sosok-sosok tadi adalah anomali. Bukan kasus yang kita bisa temui sehari-hari.
Jadi, yuk kuliah! (*/ @AkhlisWrites)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H