Namun, Michael J. Socolow di theconversation.com menyatakan analogi itu kurang pas. Malah berkebalikan  karena skema berbayar tadi bisa membatasi akses publik menuju konten berkualitas.Â
Namun, Socolow meyakini jika pertaruhan Substack sukses, ia akan mengingatkan masyarakat sebagai konsumen berita bahwa membeli konten jurnalistik yang berkualitas itu pantas dan sudah seharusnya. Semua yang berkualitas dan bagus pasti ada harga yang harus ditebus.Â
Bagaimana dengan Penulis dan Jurnalis Indonesia?
Saya sendiri mulai mencoba Substack. Di sini Anda yang sudah memiliki basis pembaca (readership) yang luas dalam bentuk mailing list, bisa langsung memanfaatkan aset tersebut. Anda bisa langsung menulis newsletter untuk dikirimkan ke alamat surel pembaca.
Hanya saja, untuk wilayah Indonesia, menerapkan skema berbayar masih belum terakomodasi. Ini karena Stripe sebagai kanal pembayaran yang bekerjasama dengan Substack masih belum melayani teritori Indonesia sampai detik ini. Kapan bisa tersedia? Saya tak tahu.
Sementara ini, saya masih bereksperimen dengan platform untuk pencipta konten dari dalam negeri Karyakarsa.id yang memungkinkan menjual akses ke konten dengan cuma membayar Rp 10.000 atau 25.000 melalui pulsa ponsel atau saldo GoPay atau transfer bank dan melalui minimart.
Bagaimana dengan Kompasiana?
Platform kesayangan kita ini masih perlu bekerja lebih keras agar bisa lebih dari sekadar platform menulis rekreasional.Â
Karena terus terang, sampai sekarang menulis di Kompasiana belum mendatangkan cuan yang bisa membayar biaya hidup. Bahkan untuk membayar tagihan wifi dan listrik sebagai modal kerja saja belum memungkinkan! Haha. (*/ @AkhlisWrites)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI