Jangankan memprediksi masa depannya, sekarang saja kita sudah menyaksikan sendiri semrawutnya media saat ini baik di Indonesia dan dunia. Demokrasi bahkan sampai hampir ambruk karenanya.
Frustrasi dengan semua kondisi ini, Hamish McKenzie, Chris Best, dan Jairaj Sethi mendirikan Substack, sebuah usaha rintisan yang bermisi menjadi penyelamat bagi jurnalis dan penulis dari kekacauan yang melanda dunia kerja mereka selama ini.
Solusi Lawas bagi Masalah Anyar
Sebetulnya tidak ada yang baru dari Substack. Ia 'cuma' memfasilitasi Anda untuk menulis newsletter yang bisa langsung dikirim ke kotak masuk surel pembaca.Â
Yang menjadi luar biasa ialah karena Substack memberi keleluasaan bagi penulis dan jurnalis untuk berkarya tanpa disensor pihak ketiga sekaligus mencari nafkah dari konten yang dihasilkan.Â
Substack membolehkan penulis dan jurnalis menerapkan tarif bagi pelanggan newsletter. Skema bagi hasilnya relatif menggoda karena Substack cuma minta 10% dari pendapatan penulis. Jadi masih termasuk adil dan wajar.
Kenapa layanan ini fenomenal dan diadopsi oleh para penulis dan jurnalis kenamaan di AS sana?Â
Karena Substack menyingkirkan keruwetan yang terjadi di industri berita dan media saat ini. Penulis dan jurnalis tak perlu pusing memikirkan apakah tulisannya bisa menarik pembaca dengan judul-judul menyesatkan atau sudah menerapkan prinsip SEO dengan baik sehingga bisa tertampil di halaman pertama hasil pencarian Google.Â
Mereka juga tak perlu berhadapan dengan kejamnya redaktur dan pemilik modal yang menyensor hasil kerja keras dan idealisme mereka. Mereka bisa melepaskan diri dari konflik kepentingan yang membelit tatkala mereka bekerja di bawah para pemodal dan politisi.Â
Tulisan mereka secara utuh dan murni bisa dinikmati para pembaca setia yang mau membayar jika newsletter itu memang dijual. Namun, newsletter Substack juga tidak tertutup kemungkinan untuk dibuat gratis oleh si penulisnya.Â
Meski ada yang menganggap solusi yang ditawarkan Substack ini bukan barang baru, McKenzie memandang startupnya itu sebagai 'revolusi jurnalistik awal' yang muncul di tahun 1830an.Â
Saat itu, dikenal adanya "penny papers", yakni surat-surat kabar yang dicetak murah akibat makin banyaknya jumlah mesin cetak modern. Surat kabar murah inilah yang kemudian mendorong era media baru di AS.