JIKA dulu saya ditanya, mau jadi apa saat dewasa, rasanya lidah kelu. Tidak ada jawaban yang keluar. Jawaban saya sekenanya saja. Demi memuaskan si penanya.Â
Serius dipikir juga buat apa? Toh itu cuma cita-cita. Masih bisa berubah seiring perjalanan waktu.
Yang saya tahu saya suka dengan kata-kata dan buku. Saya lebih suka duduk membaca atau menulis. Saya belum tahu bahwa saya bisa menjadi penulis karena orang-orang di sekeliling saya belum ada yang dengan bangga memproklamirkan dirinya sebagai penulis penuh waktu.Â
Kalaupun mereka ini ada, penulis-penulis itu orang-orang yang terasa jauh di luar sana, meringkuk di balik buku-buku  dan tulisan-tulisan hebat yang saya pernah baca.
Sementara saya meniti jalur pendidikan formal, saya merasa hasrat menulis itu terpupuk juga lama-lama. Tidak bisa dibasmi. Makin mengakar kuat dan bagaikan gulma yang dibiarkan, ia makin lama makin melebar dan 'melahap' jiwa dan pikiran saya.
Di akhir pendidikan menengah, saya pun memutuskan di jalur Ilmu Sosial setelah sebelumnya bercokol 3 hari saja di jurusan IPA. Saya tak tahan.Â
Buat apa saya memperjuangkan diri di jurusan yang tak sesuai passion alias renjana karena toh saya sudah tahu benar apa yang akan saya lakukan di masa depan: saya ingin menekuni bahasa dan ilmu humaniora lalu menjadi penulis.Â
Memang ada teman-teman yang masih gamang memilih jurusan kuliah apa. Tapi saya sudah membidik: jurusan sastra sajalah!
Saya memilih jurusan Sastra Inggris saat itu. Dan saya beruntung karena saya mendapatkannya tanpa melalui ujian masuk.Â
Saya dididik dengan pemahaman bahwa tujuan bersekolah atau kuliah adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di kemudian hari. Pekerjaan yang menghasilkan dan bermartabat sehingga di mata masyarakat saya tidak dilecehkan atau dipandang sebelah mata.Â
Meskipun urusan besaran sangat penting, aspek gengsi juga jangan sampai ditinggalkan. Kalau pendapatan jutaan dalam sehari tapi didapat melalui cara berakting menjadi pengemis di jalan-jalan, tentunya orang yang waras dan masih punya harga diri malu dan enggan.Â
Akhirnya saya memasuki jurusan Sastra Inggris itu dengan tekad bulat. Inilah jalan yang saya pilih dan akan tempuh dengan segala konsekuensinya, baik yang manis seperti gulali maupun pahit bak bratawali.
Selama 4 tahun, saya pun bergumul dengan banyak karya sastra. Di ruang kuliah, saya disuguhi banyak mata kuliah yang tak satupun menyinggung soal angka atau rumus. Saya sangat menikmatinya. Inilah nirwana, gumam saya.
Namun, setelah beberapa lama saya merampungkannya, saya baru sadar bahwa kurikulum yang saya harus babat habis kala kuliah sastra itu justru menjauhkan saya dari cita-cita saya menjadi penulis.
Apa pasal?
Di dalam jurusan sastra yang saya tekuni selama setengah windu itu, saya lebih banyak mencerna sajian berupa mata kuliah yang bersifat telaah.Â
Misalnya, telaah prosa, telaah puisi, kajian Sastra Negara Anu, khasanah teori sastra, dan sebagainya. Dan itu tak cuma di satu semester tapi berseri hingga 3-4 semester berikutnya. Bisa saya katakan porsi mata kuliah jenis telaah ini cukup mendominasi.
Saya pun makin terampil menyusun makalah yang isinya meneliti karakter dalam novel X, atau makalah tentang pengaruh perjalanan hidup pengarang Y pada karya-karya sastra yang ia tulis semasa hidupnya.
Selain mata kuliah jenis analisis tadi, mata kuliah yang bersifat teoretis seperti Grammar (Tata Bahasa), Syntax (Sintaksis), Fonetik, Morfologi, dan sebagainya juga terasa makin menjauhkan saya dari cita-cita saya sebagai penulis.Â
Saya tak menafikan pentingnya ilmu-ilmu linguistik ini bagi seorang penulis, tapi saya hanya merasa agak kewalahan dengan porsinya.Â
Justru saya merasa aneh karena mata kuliah yang mengajarkan saya menulis dengan baik dan kreatif seperti Writing malah porsinya jauh lebih sedikit.
Jadi kalau saya ditanya oleh seorang pelajar yang mau menjadi penulis, saya sarankan bahwa mereka jangan berekspektasi seperti saya.Â
Dengan kuliah di jurusan sastra (apapun jenis sastranya), belum tentu ambisi Anda untuk menjadi penulis akan tercapai dengan lebih mulus dibandingkan jika Anda kuliah di jurusan lain.Â
Dari pengalaman saya, kuliah di jurusan sastra rasanya lebih cocok untuk mereka yang ingin menjadi linguis, peneliti kebahasaan, ahli bahasa, pendidik bahasa, tetapi urusan menjadi penulis fiksi atau pengarang, tunggu dulu!Â
Itu karena isi kurikulumnya memang tidak secara khusus dirancang untuk menghasilkan para lulusan dengan pola pikir penulis kreatif.Â
Entah dengan Anda, tetapi seolah masuk kuliah jurusan sastra membuat imajinasi saya makin redup. Padahal saya ingin membuatnya makin mekar.Â
Bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah jurusan kuliah Anda dulu membantu Anda menjadi penulis yang lebih baik atau malah tidak? (*/ Twitter: @akhliswrites)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI