Sebaliknya, kata Pudrovska, studi-studi menunjukkan para perempuan berkuasa mengalami "ketegangan interpersonal, interaksi sosial yang negatif, stereotip negatif, prasangka, pengucilan sosial dan resistensi dari bawahan, kolega dan atasan."
Beban stresor dan tekanan ini memicu munculnya gejala depresi. Para pimpinan perempuan yang memiliki gejala depresi lebih sering ditemukan daripada pimpinan pria yang tidak berkuasa. Demikian pula, para pria yang berkuasa bahkan lebih rendah peluangnya menderita depresi.
Riset ini dilakukan dengan bantuan dana dari National Institute on Aging milik National Institutes of Health. Temuannya dipublikasikan di Journal of Health and Social Behavior.
Temuan itu menjadi bukti bahwa "kita harus memecahkan diskriminasi gender, permusuhan dan prasangka terhadap para pimpinan wanita untuk menekan dampak psikologis dan meningkatkan imbalan psikologis dari para pekerja wanita yang berkedudukan tinggi."
Jadi, apakah saya anti pemimpin perempuan?Â
Sama sekali tidak!Â
Justru saya ingin mengajak agar kita sebagai masyarakat dan bangsa bisa bahu-membahu untuk bersama-sama mendukung kinerja para pemimpin perempuan ini lebih baik dan di saat yang sama, agar mereka lebih tahan terhadap serangan depresi.Â
Caranya dengan memupus diskriminasi gender, prasangka, dan sikap meremehkan atau memusuhi para pemimpin perempuan. (*/Twitter: @akhliswrites)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H