Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengenali Gula "Baik" dan Gula "Jahat"

14 Desember 2020   10:17 Diperbarui: 14 Desember 2020   10:40 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidak semua makanan manis harus dihindari. Gula 'baik' bisa meningkatkan kesehatan kita. (Foto: Wikimedia Commons)

BAGI teman-teman yang memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit diabetes dan obesitas, konsumsi makanan manis memang perlu dibatasi. Apalagi di zaman sekarang saat makanan berpemanis ada di mana-mana tetapi aktivitas fisik kita lebih sedikit.

Gula memang zat yang paling lazim ditemui dalam makanan kita. Apapun itu pasti ada sedikit banyak mengandung gula. Jadi, sebenarnya tidak perlu terlalu paranoid terhadap gula.

Namun, patut kita ketahui bersama bahwa gula juga memiliki jenis yang bermacam-macam. Sama-sama manis tapi efeknya berbeda pada kesehatan kita.

Kita ambil contoh efek dua jenis gula pada kesehatan, yakni glukosa dan sukrosa. Yang satu berjuluk gula 'baik' dan yan kedua gula 'jahat'.

Apa pasal?

Ternyata saat seseorang mengkomsumsi minuman atau makanan berkandungan dominan sukrosa, tercatat tingkat hormon pengatur rasa kenyang dalam badan lebih rendah. Yang artinya, kita akan cenderung mengkonsumsi makanan atau minuman bersukrosa dalam jumlah banyak baru bisa terasa puas dan kenyang.

Sukrosa atau si gula 'jahat' ini terdiri dari glukosa dan fruktosa dan kerap ditambahkan pada makanan kemasan modern buatan pabrik seperti minuman bersoda, permen, sereal dan makanan kalengan.

Sementara itu, glukosa atau si gula 'baik' berefek berbeda. Setelah seseorang mengkonsumsi makanan atau minuman berkandungan glukosa (yang juga jenis gula yang lazim ditemukan di dalam aliran darah), tingkat hormon pengatur rasa kenyang dalam tubuh menjadi lebih tinggi, bahkan saat dibandingkan dengan setelah konsumsi sukrosa. Itu artinya, kita bisa merasa lebih puas dan kenyang hanya dengan mengkonsumsi lebih sedikit makanan/ minuman berglukosa.

Glukosa atau gula 'baik' ini bisa kita temukan secara alami di dalam bahan-bahan makanan natural seperti madu alami dan murni, buah-buahan yang dikeringkan, dan sebagainya.

Inilah kenapa kita semestinya membatasi konsumsi minuman ringan dan produk makanan dan minuman kemasan yang mengandung kadar sukrosa tinggi (selalu baca label kandugan gizi makanan sebelum mengkonsumsi). Alasannya sangat jelas di sini. Karena dengan mengkonsumsi lebih banyak porsi, kita baru akan bisa kenyang dan puas. Itulah kenapa kita makin menggemuk bila konsumsi sukrosa di luar batas kewajaran.

Alih-alih memuaskan kebutuhan gula tubuh dengan sukrosa, cobalah untuk mengalihkan diri ke makanan dengan kandungan glukosa alami seperti buah-buahan segar atau kering (bukan yang sudah jadi manisan atau kalengan). Dengan demikian, kita bisa lebih cepat kenyang meski baru mengkonsumsi lebih sedikit porsi.

Hal ini diketahui dari hasil sebuah studi yang dipublikasikan The Endocrine Society baru-baru ini (Desember 2020) yang melibatkan 69 subjek yang berusia 18-35 tahun. Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa membaca pemaparannya di tautan ini.

Studi sangat membantu kita yang masih muda agar bisa menekan risiko obesitas dan diabetes dini. Saat ini angka penderita prediabetes di Indonesia di kelompok usia muda semakin bertambah

Dikutip dari Tirto.id, Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa angka prevalensi diabetes RI makin tinggi dari tahun ke tahun. Sebelumnya di tahun 2013, angkanya 6,9% dan di tahun 2018 menjadi 8,5%. Yang tidak kalah penting ialah jumlah kasus  prediabetes (yang bisa dikatakan sebagai tahap awal/ bibit diabetes) di Indonesia juga terus meningkat saban tahun dengan kuantitas kasus yang dua kali lipat dari jumlah kasus diabetes. Jika tak ditangani segera dengan perubahan cara hidup sehat, kasus prediabetes akan menjadi kasus diabetes.

Nah, semoga pengetahuan ini bisa menjadi bekal bagi kita agar bisa mengubah jenis makanan dan minuman konsumsi kita sehari-hari agar lebih sehat. Salam sehat! (Twitter: @akhliswrites)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun