Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dunia Marketing, Masalah dan Peluang Bisnis di Tengah Badai Coronavirus

22 Maret 2020   19:20 Diperbarui: 23 Maret 2020   04:17 2234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pekerja kantoran. (sumber: workinmind.org via kompas.com)

Di masa awal ditemukannya beberapa penderita COVID-19 di Indonesia, masyarakat fokus pada peningkatan gaya hidup sehat. 

Mereka meningkatkan kewaspadaan untuk menjaga sistem kekebalan tubuhnya dengan melakukan banyak cara, seperti makan makanan bergizi, mengonsumsi suplemen kesehatan (jamu, multivitamin), berolahraga (melalui kelas daring di aplikasi maupun YouTube dan platform digital lainnya). 

Mereka juga makin sering menjaga kebersihan tangan sehingga penjualan produk pembersih tangan (hand sanitizer), cairan disinfektan berbahan dasar alkohol, sabun antikuman meningkat tajam.

Akan tetapi, begitu pandemi mulai menyebar lebih luas dengan ditandai oleh terus naiknya jumlah penderita COVID-19, kecemasan menjalar dan perilaku masyarakat akan makin mengarah ke pembelian bahan pokok dalam jumlah besar (stock-piling) yang agresif. 

Dan karena kegiatan di luar rumah semakin dibatasi, masyarakat juga akan makin bergantung pada platform belanja daring. Semua kegiatan jual beli dilakukan secara daring dan pengiriman paket makin tinggi frekuensinya. Inilah yang terjadi di China dan Italia, dua negara yang paling banyak mencatatkan jumlah penderita COVID-19.

Dan karena masa pandemi ini masyarakat lebih mencemaskan keselamatan, mereka juga lebih fokus pada belanja barang-barang kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. 

Mereka terutama cenderung banyak membelanjakan uang dalam bentuk makanan siap saji yang bisa disantap kapan saja saat diperlukan tatkala karantina di rumah diperpanjang, makanan kaleng juga menjadi buruan.

Bisnis jual beli daring seperti Amazon.com justru makin moncer di masa pandemi ini. Tercatat Amazon.com malah kerepotan melayani pesanan pembeli dan sampai harus menambah jumlah karyawan sebanyak kurang lebih 100.000 orang. Belum lagi ada kemungkinan suplai sulit sehingga diperkirakan harga-harga barang kebutuhan pokok akan makin membubung tinggi.

Sektor-sektor yang Gugur

Dengan begitu cepatnya pandemi ini menyebar, bisnis-bisnis di bidang pariwisata, akomodasi (seperti hotel, penginapan) dan transportasi (seperti travel agent, maskapai penerbangan) sudah dipastikan terpukul hebat sebelum sektor lainnya terkena. 

Di Amerika Serikat saja, maskapai-maskapai penerbangan sudah meminta suntikan dana dari pemerintah agar tetap bisa terus beroperasi, dan tidak jatuh pailit karena kekurangan kas yang bisa diibaratkan darah bagi tubuh perusahaan. Hal ini bisa dipahami karena larangan bepergian (travel ban) diberlakukan di mana-mana.

Dan karena masyarakat tidak keluar rumah dan membatasi tingkat konsumsi mereka secara drastis hingga ke level kebutuhan pokok saja, laju ekonomi makin berat.

Tidak heran jika bisnis barang elektronik rumah tangga (lemari es, AC), otomotif, ponsel pintar, serta produk-produk kebutuhan sekunder dan tersier lain akan makin turun peminatnya.

Sektor transportasi online juga menurun setidaknya 30% di Jakarta dan menurunkan pendapatan mereka. Karena itu, pemerintah mengimbau mereka beralih dari mengantar orang menjadi kurir barang saja karena justru saat ini makin banyak orang yang membeli barang dengan jasa pengiriman atau kurir.

Sektor perbankan juga diperkirakan bakal terpukul karena bank-bank akan terkena 'default'. Skenario terburuk ialah akan terjadi kelumpuhan ekonomi. Untuk menjaga diri dari kemungkinan terburuk inilah kita harus bersiap dari sekarang.

Sektor-sektor Subur

Sejumlah sektor bisnis justru mengalami pertumbuhan tatkala masyarakat didera krisis akibat Coronavirus (COVID-19). Di antaranya ialah sektor ritel (retail) yang di awal-awal pandemi mengalami lonjakan permintaan dari konsumen. 

Sektor ritel yang berbentuk toko konkret mungkin akan terpukul juga tetapi khusus untuk ritel di dunia maya alias online retail tampaknya akan berada di atas angin karena orang-orang segan ke luar rumah akibat kecemasan pandemi sehinga ada kemungkinan perilaku semacam ini akan terus tertanam di benak konsumen meski COVID-19 nantinya juga akan berlalu. 

Seperti kita ketahui, begitu presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia sebagian masyarakat sudah melakukan panic-buying di mana-mana terutama di Jakarta sebagai episentrum.

Produk-produk kebutuhan pokok (sembako) laku keras baik di toko offiline dan online. Hal ini sudah terbukti di China tatkala wabah SARS menyapu negeri itu tahun 2004, platform online shopping lokal banyak yang menuai laba berkat ketakutan masyarakat berbelanja secara langsung di luar rumah.

Di samping ritel sembako, sektor lain yang moncer ialah bidang kesehatan. Bisnis apotek tampaknya akan makin bersinar. Penjualan produk-produk kesehatan seperti vitamin C akan melonjak. Semuanya demi meningkatkan sistem kekebalan tubuh dalam menghadapi serangan virus.

Bisnis media seperti radio, berita daring akan terus bisa bertahan karena relatif aman sebab bisa dilakukan dari rumah atau dalam ruangan. Masyarakat yang tertawan di dalam rumah mereka sangat membutuhkan informasi untuk mengisi waktu. 

Konsumsi konten ini akan terus meningkat apalagi dengan berlakunya kebijakan bekerja dari rumah (work from home) sehingga makin banyak waktu untuk mengunjungi situs berita daring dan mendengar radio.

Untuk bisnis televisi, mungkin akan terganggu sebab lebih membutuhkan kehadiran fisik secara bersamaan, misalnya dalam siaran langsung (live programs).

Bisnis gim daring (online games) juga diramal tambah menjanjikan sebab di rumah dengan banyaknya waktu, masyarakat terutama kaum millennials pasti mencari gim.

Bisnis-bisnis hiburan digital semacam Netflix sedang di atas angin. Apalagi dengan tidak diperbolehkannya orang berkerumun di bioskop, mereka akan beralih ke hiburan yang lebih bisa diakses secara privat di rumah. Buktinya saham Netflix dan sejenisnya membubung tinggi setelah pandemi terus meluas ke berbagai belahan dunia.

Di dunia olahraga sendiri, bisnis fitness center akan menurun. Studio yoga juga akan menurun pengunjungnya akibat larangan berkelompok.

Sementara itu, sebaliknya platform olahraga online akan menjamur karena orang selain segan untuk berjejal dan menempuh perjalanan jauh, mereka akan memilih untuk di rumah dan berolahraga sendiri tanpa ada risiko tertular penyakit.

Platform-platform online yang menjembatani komunikasi yang dilakukan dalam bekerja di rumah juga akan berkembang sangat subur. Di Indonesia, bekerja di rumah rasanya masih jauh dari angan karena sebagian besar masyarakat kita tidak mengenal pekerjaan di rumah. 

Kalaupun mereka mengakuinya, profesi atau pekerjaan apapun yang bisa dilakukan di rumah adalah jenis yang mereka anggap tidak bergengsi, dipandang remeh dan tidak ada prestisenya. 

Dan ini bukan omongan saya saja, karena saya saja pernah mengalami ditolak permohonan perpanjangan paspor gara-gara saya dulu sempat hanya bekerja secara lepas alias tidak berkantor.

Negara seolah masih menganaktirikan mereka yang bekerja secara lepas di rumah dan tidak menghamba pada korporasi. Masyarakat Indonesia saat ini mau tidak mau diharuskan bekerja dari rumah.

Dan meski tidak bisa semuanya mengadopsi cara kerja begini, yang penting adalah masyarakat kita mulai sadar bahwa bekerja dari rumah adalah solusi yang sangat jitu bagi masalah yang mereka selama ini harus hadapi, dari kemacetan, banjir, dan sebagainya yang sangat menguras kondisi fisik, psikologis dan mental para pekerja. 

Perusahaan-perusahaan dan instansi pemerintah yang selama ini masih setengah-setengah menjalankan kebijakan bekerja dari rumah dipaksa menyelami plus minus bekerja dari rumah dalam beberapa bulan mendatang. 

Sebelum ini, pola kerja dari rumah memang sudah populer di kalangan Millennials yang mendambakan fleksibilitas kerja di mana saja tanpa terikat waktu dan tempat.

Tidak hanya Millennials tetapi generasi-generasi sebelumnya juga dipaksa untuk mengadopsi. Tidak heran mungkin saja pola kerja ini akan diterapkan bahkan jika pandemi COVID-19 ini sudah berlalu. Apalagi jika terbukti efektif.

Dampak diadopsinya pola kerja dari rumah (working from home) akan mendorong perubahan yang begitu luas dalam masyarakat kita. Misalnya, online delivery akan makin dianggap wajar dan bagian dari kehidupan. Dan perkembangan ini bisa jadi mendorong makin banyak bisnis untuk mengembangkan layanan pengiriman barang dan produk mereka sendiri tanpa menggantungkan diri pada layanan pihak ketiga.

Pandemi COVID-19 juga mendorong perbankan digital untuk terus meluas di tengah masyarakat kita. Makin banyak layanan yang tidak memerlukan tatap muka sehingga risiko tertular menurun. 

Saat ini perbankan kita memang sudah menuju ke arah tersebut, ditandai dengan maraknya perbankan online di ponsel pintar. Kegiatan perbankan seperti membuka rekening sudah bisa dilakukan secara daring, tidak perlu ke kantor cabang bank yang bersangkutan dan mengantre dan menunggu lama dan berbicara dengan teller bank. 

Dengan pandemi ini, masyarakat akan secara otomatis tergiring untuk memanfaatkan kemudahan bertransaksi jarak jauh dari rumah mereka sendiri. Meskipun nantinya pandemi bisa berlalu, bisa jadi perubahan perilaku ini akan terus menetap dan menjadi permanen.

Semua kegiatan ekonomi akan dipaksa oleh pandemi COVID-19 ini agar menuju ke ranah digital. Konsumen menginginkan kontak fisik yang seminimal mungkin karena cemas dengan adanya virus dan di sisi lain perusahaan dan brand juga dipaksa menuruti kemauan pasar.

Bagi mereka yang masih menjalankan semua kegiatan ekonomi di ranah offline dan belum berniat ke ranah online, sekarang saatnya melakukan revolusi itu sebelum sepenuhnya terlambat agar bisa mempermudah transaksi/ pembelian setelah para konsumen enggan meninggalkan rumah.

Apa Yang Bisa Dilakukan Para Pemasar (Marketers)?

Lalu dari semua kondisi dan prediksi tadi, apa yang bisa dilakukan oleh para pemasar atau marketers di Indonesia terutama? Menurut penulis Yuswohady, yang paling masuk akal adalah menggenjot aktivitas dan kampanye di Humas (Public Relations). "PR yes, marketing no, selling absolutely no!" kata pembicara tersebut.

Saat inilah menurut Yuswohady, saat masyarakat dirundung musibah, saatnya brand sebagai corporate citizens melakukan aktivitas yang menunjukkan empati tinggi pada masyarakat. Perusahaan atau lembaga adalah warga negara juga dan mereka idealnya juga tidak hanya menjadi makhluk ekonomi yang mengejar keuntungan semata tetapi juga menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

"Inilah saatnya brand itu harus memberi (giving), bukan menerima (getting) dengan menjadi bagian dari solusi bagi masalah yang menghadang (Coronavirus)," tuturnya.

Namun di saat yang sama, lazimnya semakin banyak yang kita berikan, semakin banyak yang kita terima pula. Makin tinggi empati yang diberikan pada masyarakat yang terkena dampak pandemi, semakin tinggi juga peluang brand untuk mendapatkan citra positif di dalam benak masyarakat bahkan saat pandemi berlalu.

Cara-cara membangun citra positif itu seperti biasanya adalah mengadakan kegiatan-kegiatan bertema tanggung jawab sosial korporat (Corporate Social Responsibility). Hal ini bahkan sudah diterapkan oleh beberapa perusahaan seperti Kimia Farma yang sudah membatasi pembelian masker dalam jumlah besar.

Saat pihak lain menimbun dan mengekspor masker demi keuntungan pribadi, justru apotek Kimia Farma menyediakan masker dalam harga jual normal (Rp2.000 per lembarnya).

Ruangguru juga mengizinkan platformnya dinikmati secara gratis saat pandemi berlangsung sehingga sekolah-sekolah ditutup sehingga proses belajar mengajar di sekolah tidak memungkinkan dan harus diganti dengan proses belajar mandiri di rumah.

Beberapa media daring juga secara khusus berempati dengan menggratiskan konten premium mereka. Sekilas omset mereka justru menurun tetapi ini semua sejatinya adalah investasi jangka panjang sehingga konsumen akan terus mengingat brand mereka.

Sebenarnya ini adalah saat yang tepat bagi brand dalam membangkitkan kesadaran (awareness), kesetiaan (loyalty), sehingga advokasi bisa muncul dengan sendirinya. Advokasi ini terjadi saat sejumlah konsumen bangkit membela brand yang mereka anggap memiliki visi dan misi yang mulia dan selaras dengan pandangan mereka.

No Opportunism and Hard Selling!

Bahkan bagi brand-brand yang sedang menikmati keuntungan atas pandemi ini, ia menyarankan juga tidak secara blak-blakan melakukan kegiatan 'hard selling' sehingga mereka terkesan menikmati penderitaan orang banyak.

Brand mereka akan dianggap masyarakat kurang empatik dan buruk. Ia menandaskan pentingnya menghindari strategi marketing yang oportunistik, terkesan memanfaatkan musibah. "Yang saya sarankan CSR dan lebih ke PR," tegasnya.

Kondisi pandemi ini memberikan ruang bagi kehumasan (PR) yang selama ini dianaktirikan oleh brand karena dianggap tidak menghasilkan keuntungan secara langsung. "PR selama ini dicap sebagai kampanye pencitraan dan menghasilkan 'image' semata tapi justru di masa-masa sulit seperti sekarang ini, PR itu yang paling kuat dan berdampak (powerful and impactful)," ungkapnya. 

Kegiatan CSR sebagai bagian dari kehumasan misalnya dianggap kurang 'nendang' dan hanya sebagai formalitas bagi brand padahal ada juga dampak positifnya bagi brand dalam jangka panjang.

Dan memang hasilnya tidak bakal dinikmati saat ini juga (karena bagaimana mau mendapat untung karena masyarakat toh daya belinya melemah di saat pandemi). "Jadi (brand-brand -pen) sekalian 'nyemplung' dan empatik, menunjukkan itikad baik untuk menjadi warga negara yang baik untuk membantu masyarakat luas di tengah kondisi sulit."

Brand-brand yang sudah menunjukkan aksi cepat tanggap dalam pandemi ini misalnya Grab Food memungkinkan pengiriman makanan tanpa ada kontak fisik antara si pembeli makanan dengan si kurir. Fitur ini diberikan demi memenuhi imbauan pemerintah agar masyarakat menerapkan 'social distancing'.

Di sini brand masih bisa melakukan selling secara halus (soft), melakukan kegiatan bisnis mereka dengan tetap semaksimal mungkin menekan kontak fisik antarmanusia. Brand ini sukses mengedepankan solusi bagi masyarakat.

Mencontoh dari sini, brand-brand di Indonesia bisa mulai bekerja keras mencari masalah-masalah yang ada di masyarakat saat ini dan mempersembahkan solusi bagi mereka yang membutuhkan di masa kita semua harus bekerja dari rumah dan menjaga jarak dengan individu lainnya.

Resep Bertahan Bagi Bisnis Rentan

Bagi bisnis-bisnis yang rawan dengan efek negatif pandemi COVID-19 ini, sangat disarankan untuk mengamati perilaku konsumen dan mengubah strategi bisnis mereka agar bisa terus bertahan melewati krisis ini.

Akan ada banyak sekali perilaku konsumen yang berubah setelah mengalami pandemi COVID-19 ini. Misalnya bisnis restoran yang saat ini lesu karena siapa yang mau makan di luar dengan risiko tertular virus?

Nasihat pertama dan paling utama ialah dengan segera beralih ke platform online. Ini sudah tidak bisa ditunda. Jika Anda ingin bisnis terus bertahan dan dapat melewati krisis, bangun strategi Anda sendiri untuk menuju ke kanal daring. Ibarat katalisator, COVID-19 terus mendorong terjadi revolusi digital dan online.

Yuswohady juga menyarankan agar brand-brand berlomba menjadi yang pertama dalam menyuguhkan solusi di bidang mereka terkait pandemi COVID-10. Misalnya langkah yang dilakukan Ruangguru membuatnya menjadi yang terdepan dan paling diingat (top-of-mind) di antara banyak platform belajar daring sejenis. Begitu juga Telkomsel yang memberikan bonus paket internet bagi pengguna untuk bisa belajar di rumah.

"Karena itu carilah masalah-masalah yang berkaitan dengan pandemi COVID-19, kebijakan working from home dan social distancing ini dan memberikan solusi inovatif berupa program CSR/ PR yang pertama di bidang kita masing-masing agar terus diingat masyarakat. Karena siapa yang mau mengingat yang kedua dan ketiga dan seterusnya?"

Bagaimana dengan brand-brand produk tersier semacam otomotif, peralatan elektronik rumah tangga, dan sejenisnya yang masyarakat akan lebih jarang butuhkan selama pandemi ini?

Yuswohady mengatakan memang sulit. Salah satu jalan bertahan ialah dengan membangun brand saat mempertahankan penjualan sangat sulit. Bisa saja masih menjual tapi caranya dengan halus (soft selling), bukan hard selling.

Brand juga semestinya sadar bahwa penjualan mereka akan menurun dalam waktu dekat ini. Dan untuk merespon penurunan ini, mereka bisa mengandalkan PR (humas) untuk sekali lagi membangun brand. 

Karena toh mau berjualan sampai diskon habis-habisan pun akan percuma juga dengan melemahnya daya beli masyarakat dan pembatasan keuangan mereka untuk konsumsi barang-barang primer yang saat pandemi akan menjadi prioritas tertinggi. (*/disarikan dari penjelasan Yuswohady tanggal 19 Maret 2020 di Radio Smart FM)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun