Beberapa waktu yang lalu, kita mendapati berita soal beberapa lembaga (LBH Jakarta, Green Peace dan Walhi) yang menggugat secara perdata ke pemerintah provinsi DKI Jakarta dan juga presiden RI perihat kualitas udara Jakarta yang makin memburuk.
Saya cukil dari Kompas, perkara ini sudah diketahui publik dan baru-baru ini ditanggapi secara serius oleh masyarakat karena sudah sangat mengganggu aktivitas dan kesehatan.Â
Dikatakan tujuan gugatan ialah "agar masyarakat mendapat hak atas lingkungan yang baik dan sehat."
Saya sendiri sebagai warga pendatang cukup terdampak juga oleh tingkat polusi udara di ibukota yang makin menggila. Seakan sudah tidak terbendung lagi.
Tapi mau bagaimana lagi?
Semua kendaraan bermotor yang menghasilkan polusi itu juga tidak bisa dibendung untuk masuk ke Jakarta. Dan semua orang ingin cepat sampai di kantor, tanpa keluar banyak tenaga, tanpa menunggu, tanpa repot. Semua punya alasan masing-masing untuk memiliki mobil atau motor.Â
Dari kepraktisan menjemput anak atau istri, hingga alasan sudah jengkel dengan perilaku sopir taksi yang berani menolak order di saat kondisi darurat (teman saya ada yang sampai kredit mobil cuma karena saat anaknya sakit, sopir taksi itu tidak mau masuk ke gang rumahnya, lalu ia merasa terhina dan mengajukan kredit pemilikan mobil).
Menurut saya sendiri, polusi itu juga dipicu oleh kegiatan masyarakat sehingga gugatan tadi kurang tepat.
Masyarakat kita masih belum paham caranya agar bisa menekan polusi. Masih banyak ditemui kegiatan masyarakat yang abai terhadap aspek lingkungan.
Kalaupun pemerintah harus digugat, yang menjadi fokus gugatan harusnya kegagalan mereka dalam memberikan fasilitas transportasi umum yang memadai (yang seharusnya sudah menjadi fokus kerja mereka dari dulu) dan pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi dan mencegah polusi udara agar tidak makin parah atau malah kalau bisa makin menurun.
Di tulisan ini saya ingin menyoroti kegagalan baik pemerintah dan masyarakat soal mengubah kebiasaan lama dalam menangani sampah secara umum.
Saya perhatikan masyarakat kita masih saja, sekali lagi MASIH SAJA menganggap sampah plastik dan sampah berbahaya sama dengan sampah organik seperti sampah dapur. Apapun yang tinggal ditimbun lalu dibakar dengan bensin dan api. Kelar perkara.
TUNGGU DULUUUUUU!!!!
Saya ingin ceritakan kegelisahan ini setelah menderita dampak kebiasaan membakar sampah di tengah masyarakat Jakarta ini yang masih saja dilestarikan padahal mereka tahu polusi di Jakarta ini sudah parah.
Bahkan di pagi hari yang justru udaranya masih enak dan segar, ada saja oknum masyarakat yang sudah rajin menyapu lalu membakar sampahnya.
Entah apa yang mereka pikirkan hingga sampai membakar sampah?Â
Mungkin kebiasaan semacam itu masih bisa dimalumi jika kita tinggal di sebuah rumah di tengah hutan yang tidak ada tetangga di sekitar.
Namun, di Jakarta, tetangga kita banyak sekali. Dan orang pikir asap itu hanya akan mengenai halaman rumahnya. Lagipula membakar adalah cara praktis untuk mengenyahkan sampah apapun dari pandangan kita.
Ini yang menurut saya cacat logika!
Bagi saya yang selalu menyempatkan berolahraga di pagi hari, menghirup udara segar adalah kemewahan di tengah Jakarta yang sebentar lagi akan panas dan pengap dengan asap.
Tapi pagi ini saya merasa sudah tidak bisa mentolerir kebiasaan membakar sampah masyarakat kita karena sikap abai atau ketidaktahuan itu rupanya masih luas dan belum bisa disingkirkan. Mereka mungkin masih berpikir bahwa akibat pembakaran sampah itu kan tidak seberapa dibandingkan industri atau para pengguna kendaraan bermotor di jalan-jalan Jakarta.Â
Kalau semua orang berpikiran seperti itu, kapan kita bisa menekan polusi?
Serius. Ini sangat memprihatinkan.
Kita selalu sibuk menuduh orang lain tetapi bagaimana dengan diri kita sendiri?
Bagaimana kita menangani sampah?
Tahukah kita bahwa pembakaran sampah yang tidak diregulasi dan tidak dilakukan secara sempurna di seluruh dunia justru memperparah polusi udara di atmosfer bumi, melebihi dari angka di catatan resmi. Temuan ini dihasilkan oleh tim peneliti dari National Center for Atmospheric Research tahun 2014 lalu.
Mereka memerkirakan ada lebih dari 40% sampah dunia yang dibakar begitu saja sehingga membuat gas-gas berbahaya dan partikel yang memicu gangguan kesehatan dan perubahan iklim. Dan meskipun Anda mungkin cuma membakar sampah di rumah, itu berakumulasi di atmosfer dan berdampak pada semua makhluk di bumi ini.Â
Jadi, kita semestinya sudah harus menyingkirkan pola pikir sempit:"Lho kan ini saya lakukan di tempat saya sendiri jadi tidak merugikan orang lain lah!" Tapi kita lupa atmosfer kita cuma satu dan kita berbagi!!!
Saya merasa kebiasaan ini sudah harus diberantas karena kita masih banyak menganggap remeh. "Apalah arti kontribusi polusi pembakaran sampah rumah tangga dibandingkan polusi udara pabrik, motor di jalan, bla bla bla", mungkin begitu alasan dalam benak kita.
Tapi bukankah kita yakin dengan keampuhan premis "sedikit demi sedikit lama lama menjadi bukit"?Â
Di sinilah peran pemerintah untuk memberikan edukasi (penyuluhan dan penyadaran) bahwa ada banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk mengelola sampah, dari memilah sampah organik dan menjadikannya pupuk kompos, hingga menyortir sampah anorganik untuk kemudian diolah kembali, didaur ulang, dan sebagainya.
Pemerintah juga gagal dalam menyediakan sistem manajemen sampah yang paripurna. Saya tidak ingin membandingkan dengan negara lain yang konon sudah maju. Saya lelah. Saya tidak ingin membandingkan lagi. Saya ingin mulai melakukan.
Masyarakat kita sudah begitu dimanjakan dengan ketersediaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Bantar Gebang. Tinggal angkut ke sana, kelar perkara! Bodo amat mau gimana nantinya. Pokoknya rumah sudah bersih.Â
Pola-pola pikir semacam ini perlu kita ubah dari sekarang jika kita tidak ingin melihat bumi ini makin dipenuhi sampah. (*/ akhlis.net)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H