"Itu artinya apa?" tanya si ustadz,"Nabi mengikuti perkembangan dunia fashion!"
Namun, apakah dengan begitu serta merta kita mengubah gaya rambut menjadi panjang dan dibelah tengah? Kalau kita hidup di masyarakat Indonesia modern yang menghargai kerapian pria, tentu memotong rambut menjadi pendek lebih dihargai daripada rambut panjang.Â
Rambut panjang pada pria diasosiasikan dengan jiwa urakan, tidak disiplin, atau artistik. Mungkin gaya rambut semacam ini bisa diadopsi pria-pria yang bekerja di bidang tertentu tetapi jika bekerja di sektor formal, rasanya tak mungkin bisa.Â
Mari Utamakan Kearifan Lokal dalam Beragama
Di sinilah, kearifan lokal juga diperlukan dalam beragama. Makin banyak umat Islam yang kukuh untuk meniru perilaku dan sikap Nabi dalam kehidupan tanpa memperdulikan konteks. Pokoknya asal meniru. Tidak peduli faktor lain. Dan ironisnya malah melupakan esensi dari cara hidup nabi itu sendiri, yakni arif, tidak memaksakan diri dan mengutamakan yang lokal.
Hendaknya kita jangan terlalu mudah menghakimi seseorang belum meniru cara hidup Nabi hanya dengan melihat aspek-aspek superfisial. Misalnya, jika seorang dosen ingin mengajar di kampusnya, apakah perlu menunggang unta dan menolak memakai sepeda motor hanya karena Nabi tak pernah menunggangi kendaraan bermotor sepanjang hidupnya? Tentu konyol.
Yang perlu kita pegang teguh adalah esensi cara, pandangan hidup beliau. Dalam hal ini kita harus meniru kegigihan dalam menyebarkan ilmu. Namun, cara menyebarkan ilmu itu tak melulu harus persis dengan Nabi di masa lalu. Cara-caranya bisa disesuaikan dengan kondisi kebudayaan, peradaban, dan iklim di sekitar kita. (*/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H