Baru-baru ini Gwyneth Paltrow dan anaknya Apple menjadi bahan perbincangan. Berawal dari unggahan foto Paltrow di media sosial Instagram yang sebetulnya sekilas terkesan normal dan biasa saja. Foto itu memuat wajahnya sendiri beserta sang buah hati. Wajah seorang ibu yang bangga melihat anaknya sudah tumbuh besar dan berbahagia karena bisa  menghabiskan waktu bersama.
Tetapi tak dinyana, si anak muncul di kolom komentar. Dan bukannya memuji isi foto atau hal-hal yang menyenangkan di dalamnya, Apple mengkritik tindakan mengunggah foto itu ke media sosial sementara dirinya sudah berpesan agar foto wajahnya tidak diumbar di media sosial.Â
Apple mengatakan ibunya telah melanggar privasinya dengan turut memamerkan mukanya di depan jutaan pengikut Instagram Paltrow.Â
Sementara itu, Paltrow mempertahankan tindakannya dengan mengatakan wajah anaknya itu bahkan tidak 'telanjang'. Muka Apple memang sebagian tertutup kacamata dan topi sehingga menurut Paltrow 'relatif aman'.
Kejadian ini membuat publik terpolarisasi. Ada yang meyakini bahwa reaksi Apple pada unggahan ibunya itu berlebihan. Ibu mana yang bermaksud jahat dengan mengunggah foto anaknya? "Ia hanya seorang ibu yang bangga," komentar seorang netizen di kolom komentar konten tersebut.
Tetapi di sisi Apple, ada juga sebagian netizen yang mengatakan privasi seorang anak tak semestinya dilanggar meskipun pelakunya adalah orang tua si anak sendiri yang notabene menjadi pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan si anak selama ia masih belum dewasa dan mandiri.Â
Apalagi jika si anak sudah menekankan itu sebelumnya dan orang tua masih tidak menghormati keinginan tersebut. Jadi, dalam kasus Paltrow, keinginan Apple untuk dihormati privasinya seharusnya dihormati ibunya.
Memang tidak banyak orang yang menyadari pentingnya privasi ini. Ada yang serta merta menghakimi:"Tahu apa sih anak sekecil itu soal privasi?" Tetapi di zaman sekarang saat beragam pengetahuan sudah bisa diperoleh dengan mudahnya, orang dewasa juga perlu paham bahwa kemampuan dan perkembangan kognitif dan kejiwaan anak-anak masa kini sangatlah berbeda dari generasi orang tua mereka. Mereka sudah digital, orang tuanya analog. Jangan disamakan.
Para orang tua meski yang sangat terdidik dan berkecimpung di dunia pendidikan pun masih bisa membuat kesalahan soal respek pada hak-hak privasi anak mereka.Â
Orang tua terkadang merasa lebih tahu dari anak mereka dan mengambil keputusan sendiri dengan mengatasnamakan 'masa depan' atau 'kebaikan' si anak yang bersangkutan padahal tak lain itu semua juga untuk menutupi egoisme atau kepentingan pribadi orang tua.Â
Mereka berpikir si anak bakal serta merta menuruti pendapat orang tuanya, dan kalaupun tak sependapat, si anak seharusnya menuruti kemauan orang tua karena orang tua hanya ingin hal yang terbaik untuk anak-anak mereka.
Orang tua juga kadang mengambil keputusan yang berseberangan dengan anaknya karena merasa mereka sudah paham betul keinginan dan selera si anak sehingga tanpa persetujuan pun mereka sudah tahu si anak akan sepakat. Padahal tidak semudah itu.Â
Kenapa? Karena tiap anak - sebagaimana diri orang tua - adalah manusia, individu yang memiliki keunikan masing-masing. Memang ada sebagian dari perilaku dan pemikiran manusia yang bisa ditebak, tetapi ada juga yang tidak semudah itu bisa ditebak, diramalkan dan dicerna.
Dan ini bukan hanya bisa terjadi pada keluarga-keluarga dengan nilai didikan Asia yang menjunjung tinggi respek pada orang tua. Bahkan keluarga-keluarga yang menganut nilai-nilai khas Barat yang mengutamakan kesetaraan dalam hubungan keluarga juga masih bisa terjebak dalam masalah yang sama. Mereka tidak lebih baik dari keluarga-keluarga Asia. Â (*/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H