TIDAK BERLEBIHAN JIKA teman saya sering berang di media sosial tatkala menemukan gerbong kereta yang ia naiki masih saja berdesak-desakan meski ia sudah naik kereta di waktu yang lebih larut. Begitu sesak sampai pendingin udara di gerbong tidak kuasa melenyapkan kesumpekan di dalam.
Kereta komuter yang ia naiki ini memang jurusan yang 'istimewa'. Begitu istimewanya sampai orang berebutan naik ke dalamnya, seolah sangat antusias dan penuh semangat.
Kereta komuter itu tidak menuju ke Depok, Bogor, Tangerang, atau daerah penyangga ibukota lainnya. Kereta ini kereta yang menuju ke Bekasi, daerah yang kerap diolok-olok sebagai 'galaksi lain', yang memerlukan kesabaran untuk mengarungi jaraknya yang beratus-ratus tahun cahaya. Atau negara jiran yang memerlukan seseorang untuk berdiri mengantre lama cuma demi pemeriksaan paspor (lelucon itu dilontarkan teman lain yang begitu jengkel).Â
Saya sendiri tidak menggubris guyonan dan keluhan tadi, hingga suatu saat saya harus secara reguler berkunjung ke Jakarta Timur yang ternyata lebih efisien dan murah bila naik kereta komuter. "Baiklah akan saya coba naik kereta komuter jurusan Bekasi ini," gumam saya.
Keki betul saya menumpangi kereta itu. Keluhan-keluhan teman-teman saya tadi ternyata bukan lelucon hiperbolis belaka. Dan belum terpecahkan hingga sekarang.
Keluhan pertama ialah frekuensi kedatangan yang lebih sedikit daripada kereta komuter jurusan lain. Inilah yang membuat penumpang menumpuk, sampai mereka kesal dan beringas. Saya paham kekesalan mereka. Bayangkan saja Anda menunggu berdiri dengan barang bawaan yang banyak, cuaca panas dan membakar di peron lalu Anda melihat di jalur-jalur lain, kereta-kereta lain melintas mengangkut penumpang.
Sementara Anda yang bahkan sudah menunggu lama sebelum penumpang jurusan lain itu turun belum juga terangkut! Kalau kewarasan sudah hilang, saya pastikan para penumpang jurusan Bekasi dan Cikarang ini sudah memporakporandakan semua stasiun di Jabodetabek. Lalu saat ada kereta melintas di jalur empat di stasiun Manggarai, yang lewat ternyata kereta yang mau masuk ke dipo alias garasi atau kereta jurusan lintas Jawa. Patutlah mereka bersumpah serapah!
Ketimpangan ini memang hanya bisa diatasi dengan menambah jumlah armada kereta ke dan dari Cikarang-Bekasi. Tapi masalahnya hingga saat ini tampaknya belum diketahui ada niat dari pengelola untuk menambah armada. Kalaupun ada niat, percuma juga karena yang penting bukti. Bukan janji.
Selain kekerapan kedatangan yang lebih rendah dan jumlah armada yang lebih sedikit, keluhan lainnya ialah masih memprihatinkannya stasiun-stasiun di jurusan itu. Hal ini tampak dari kesemrawutannya. Dan memang benar, saat saya mampir ke stasiun Bekasi, suasana keteraturan sebagaimana di stasiun-stasiun Jakarta tidak saya temukan.Â
"Kereta pertama kalau bisa jam empat pagi," saran teman lainnya juga, seolah saya pejabat negara yang mengurusi perkeretaan di Bekasi. Saya tahu ia juga sudah jengkel sampai ubun-ubun karena sudah begitu lama penyelenggara layanan angkutan publik itu tidak mendengarkan aspirasinya sebagai penumpang setia.Â
Dan dengan semua keluhan ini, saya ingin tahu akar masalahnya lalu saya temukan tanggapan dari pihak PT KCJ atau Kereta Commuter Jabodetabek tiga tahun lalu (2015) yang menandaskan bahwa masalah itu bisa terjadi karena banyak kereta jarak jauh yang memakai lintasan rel Bekasi ini dan untuk memperbanyak jalur masih menunggu keputusan Menteri Perhubungan (sumber:Kompas).
Meskipun mungkin sudah ada upaya yang dilakukan demi perbaikan, saya merasa belum ada hasil yang optimal. Ini bisa dilihat dari waktu untuk menunggu yang masih lumayan lama dan membuat pengguna jasa kurang nyaman karena menunggu di peron yang cuma memberikan tempat duduk yang nyaman bagi kaum 'prioritas' yang beruntung duduk duluan di stasiun Manggarai (belum lagi jika di jam sibuk sehingga berjejal).
Saya sendiri pernah tertahan di stasiun Jatinegara sampai 15 menit dan menunggu di stasiun Manggarai sampai 20 menit. Ini sangat tidak efisien dan membuat mencolok mata ketimpangan dengan waktu yang terpakai untuk tiba di tempat yang sama dengan sepeda motor. Dengan sepeda motor saya cuma habiskan waktu 20 menit di akhir pekan. Dengan angkutan umum bus feeder dan kereta komuter plus angkot, saya habiskan waktu sekitar 60 menit dan bila sedang apes, 90 menit.Â
Jadi bagaimana pemerintah mau mengatasi kemacetan dan kesemrawutan jalan di ibukota jika tidak lebih gesit dalam menangani masalah-masalah riil seperti ini? Pahamlah saya kenapa lebih banyak orang memilih bersepeda motor di jalan raya yang walaupun panas dan semrawut tetapi sanggup memberikan mobilitas yang lebih baik dan luwes. Ya, karena angkutan umum membuat mereka cuma bisa pasrah, tanpa daya, tidak punya kuasa. Sementara itu, sepeda motor membuat mereka merasa lebih merdeka, bisa memilih jalan alternatif dan terus maju tak peduli ada kemacetan di sekitar. (*/akhlis.net)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H