saya memakai botol isi ulang saat bepergian agar bisa menghindari pembelian air mineral dalam kemasan yang selain mahal juga secara konyol menyesaki daratan dan lautan dengan plastik. Namun, apakah itu semua cukup untuk menghentikan laju polusi sampah plastik yang seakan sudah tidak terbendung lagi?
Pengabaian
Kemudian beberapa waktu lalu, saya mendengar Presiden Jokowi yang selalu mendengungkan  pentingnya infrastruktur di berbagai pelosok Indonesia itu mengumumkan bahwa pemerintahannya terus menggenjot target perolehan jumlah kunjungan wisatawan ke beragam tujuan wisata unggulan seperti Mandalika, Labuan Bajo, Pulau Morotai, hingga Wakatobi (sumber: beritagar.id).
Kita ambil contoh kondisi pulau Komodo tempat Taman Nasional Komodo dan Labuan Bajo yang digadang-gadang sebagai destinasi wisata laris itu beberapa tahun belakangan ini. Di tahun 2013, pihak berwenang di pulau tersebut sudah menyatakan keluhan soal lingkungan yang terpolusi secara masif oleh sampah plastik di lautan. Pantai-pantai di pulau tersebut terus menerus dipenuhi sampah, yang menandakan betapa buruknya penanganan sampah di perairan sekitar pulau (sumber: Kompas.com).
Bayangkan kondisinya saat ini, dengan jumlah kunjungan turis yang makin banyak dan sering ke sana, kita tidak bisa bayangkan lagi volume sampah plastik yang dihasilkan dalam sehari mengingat tingkat konsumsi plastik para pelancong kita yang makin meninggi tetapi tidak diiringi dengan metode penanganan sampah yang jitu. Makin banyak kapal-kapal yang melintasi perairan di sekitar pulau Komodo dan kapal-kapal ini diduga keras membuang sampah sembarangan di laut.
Dan itu baru satu pulau saja!
Salah satu karakter bangsa kita yang paling 'menonjol' ialah kurang berpikir panjang ke depan. Sehingga walaupun mereka tahu bahwa plastik itu sampah, mereka tidak ambil pusing sepanjang tempat hunian sekitar mereka bersih dan sekarang mereka toh tidak merasakan dampak negatifnya. Padahal sampah plastik seperti kita ketahui bersama berbahaya bagi keberlangsungan ekosistem dalam jangka pendek dan jangka panjang.Â
Selain dalam segi estetika, sampah plastik mengganggu pemandangan dan kebersihan, secara ekologis dampaknya juga panjang dan mendalam. Ikan-ikan yang kita konsumsi makin 'plastik' karena mereka ikut makan plastik, garam kita juga makin tinggi kandungan plastiknya, satwa laut seperti paus dan penyu mati tercekik sampah plastik yang mereka pikir makanan.
Konsumsi plastik bangsa Indonesia seperti dikutip dari CNN Indonesiasudah mencapai taraf yang sangat mencemaskan. Begitu mencemaskan sampai kita dijuluki secara resmi sebagai bangsa penghasil sampah plastik di lautan kedua terbesar di dunia. Peringkat pertama ialah Tiongkok.
Laut, Tong Sampah Raksasa
Samudera di dunia sudah sejak lama berfungsi sebagai tong sampah raksasa bagi umat manusia. Memang bukan masalah besar selama sampah yang masuk ke laut adalah sampah jenis organik yang terurai secara alami dalam jangka waktu pendek. Tetapi begitu plastik menjadi bahan yang makin populer dipakai dalam industri, tingkat pencemaran sampah plastik di darat dan terutama laut pun melesat. Tidak terkendali.
Untuk memberikan gambaran umum mengenai parahnya polusi plastik di lautan dunia, kita bisa mencermatisebuah laporan penelitian  yang memberikan estimasi volume sampah plastik yang terus memenuhi samudera kita. Antara 4,8 juta hingga 12,7 juta metrik ton plastik masuk ke samudera dunia di tahun 2010 saja. Itu artinya kira-kira 8 juta ton plastik dimasukkan ke laut setiap tahun.
Akar masalah polusi ini ialah mismanajemen sampah plastik yang berakumulasi dari waktu ke waktu dan ditambah dengan pola konsumsi plastik yang makin tinggi. Infrastruktur penanganan sampah plastik masih minim tetapi warga dunia kurang peduli dan bahkan yang peduli pun masih harus berusaha mengurangi ketergantungan mereka pada plastik. Sebanyak 192 negara di dunia pada tahun 2010 masih belum memiliki infrastruktur penanganan sampah plastik yang memadai.