KEMUAKAN terhadap beredarnya berita bohong (hoax) di dunia maya saat ini sudah mencapai titik klimaks. Sampai-sampai media sosial Facebook mesti turun tangan dan mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya akan menempuh langkah konkret untuk memberangus konten berita bohong yang berlalu lalang di sana.
Dan parahnya lagi ialah hal ini tidak hanya melanda kaum muda yang secara intelektual belum matang tetapi juga kaum dewasa dan cendekia. Tak peduli pendidikan formal yang sudah ditempuh, seseorang masih berpeluang menyebarkan berita bohong sebab hasrat untuk menyebarkan berita yang sesuai dengan selera dan tendensi pemikiran kita memang akan selalu ada. Jika berita tidak mendukung opini yang kita sokong, apakah kita akan membagikannya di dinding atau me-retweet di linimasa kita?
Saya rasa kecil kemungkinan demikian kecuali untuk sebagian orang yang memang sangat berpikiran terbuka (open-minded), yang berani mengakui kesalahan pemikirannya sebelumnya dan meluruskan jalan pikirannya sendiri. Tetapi di era sekarang, orang macam itu sudah langka. Sangat langka. Kita semua, tak terkecuali penulis sendiri, juga berlomba untuk menjadi yang jawara. Mana ada yang mau terlihat bodoh dan kurang mutakhir di media sosial. Daripada terlihat dungu, lebih baik tidak usah tampil saja, bukan?
Dari pemilihan presiden RI tahun 2014 kita sudah banyak belajar mengenai soal jurnalisme abal-abal ini sebetulnya. Menjelang Pilkada DKI Jakarta kali ini, rasanya kita masih juga belum banyak belajar dari pengalaman tersebut. Bahkan akumulasi kekesalan di Pilpres masuk dan menambah parah kondisi di Pilkada DKI.
Dan ini juga bukan masalah yang dihadapi oleh bangsa kita saja. Amerika Serikat yang mengklaim dirinya lebih maju dalam banyak hal termasuk jurnalisme dan demokrasi juga mengalami masalah yang serupa. Publik AS kerap teperdaya semasa masa kampanye Pilpres mereka yang baru saja berakhir dengan hasil yang membuat banyak orang terperangah.
Menyebarkan berita bohong di media sosial memang sepintas tidak merugikan karena mudahnya menyebarkan. Tinggal klik ’bagikan’ atau ‘retweet’ atau ‘repath’ dan selesai. Tetapi kita seolah tidak bertanggung jawab atas apa yang kita sebarkan melalui akun-akun kita itu. Seolah kita sudah mempercayakan semuanya pada mereka yang sudah menyebarkannya sebelum kita. Namun, dampaknya makin lama tidak bisa diabaikan.
Namun, sekarang masalahnya ialah apakah kita bisa membedakan berita yang faktual dan objektif dari berita bohong di internet? Dan jika memang bisa, bagaimana caranya?
Pertama-tama ialah mengendalikan dulu diri akal sehat kita masing-masing. Emosi berperan penting dalam menyebarkan berita bohong. Para pembuat berita bohong tahu bahwa jika judul dan konten merangsang emosi naik, akan lebih mudah bagi mereka untuk mengeruk keuntungan.
Keuntungan apa? Banyak. Kalau mereka mengincar keuntungan ekonomi, mungkin bisa dari segi pendapatan iklan. Makin kontroversial sebuah artikel berita, makin banyak dikunjungi, makin banyak dibagikan, makin viral, otomatis akan makin banyak orang berkunjung dan tingkat kunjungan situs mereka naik pesat.
Dari sini, mereka bisa menjual traffic tinggi itu pada para pihak yang berminat memasang iklan (advertisers). Kalau bukan keuntungan material yang diincar, bisa jadi keuntungan tidak langsung lain yang tidak terpikir oleh kalangan awam, misalnya saja situs berita ‘aspal’ (asli tapi palsu) yang mengemas dirinya seolah situs berita tetapi hanya berisi opini satu pihak, tidak ada cross check, sehingga pemberitaannya menjadi penuh bias, dengan tujuan ingin mengarahkan opini masyarakat luas ke arah tertentu, atau menggerakkan massa.
Bahkan bisa saja ada situs yang berpura-pura menjelek-jelekkan satu pihak agar membuat pihak yang bersangkutan seperti difitnah dan dari sana citra korban fitnah yang tertindas akan terpatri dalam benak masyarakat dan simpati bermunculan untuknya. Intinya, semua bisa terjadi. Apalagi dengan makin murahnya pembelian domain dan hosting website saat ini. Untuk memiliki blog ini saja saya cuma harus bayar sewa Rp160.000 per tahun. Bagi mereka yang punya banyak modal, uang itu cuma sekeping receh.
Masalahnya saat kita menemukan berita yang kurang selaras dengan pemikiran kita, biasanya kita memverifikasinya pada orang yang pemikirannya sepaham dengan kita. Langkah semacam ini bukannya memberikan pencerahan tetapi kadang lebih menyulut emosi secara kolektif karena dengan begitu, kita hanya seperti ingin mencari pembenaran atas emosi yang muncul. Dari sini bola salju itu mulai menggelinding. Padahal semestinya, kita melakukan cross check ke pihak yang berseberangan itu, bukannya teman-teman yang sudah pasti sepemahaman dengan kita, yang dengan menggebu-gebu akan mengatakan kita benar.
Kedua ialah menghindari memakai popularitas sebuah situs sebagai ukuran kredibilitasnya. Kadang memang kita tidak bisa mempercayai mentah-mentah sebuah media (baik cetak dan daring) yang sudah mapan dan beredar luas di masyarakat selama jangka waktu lama tetapi kebanyakan sumber berita yang paling dapat dipercaya di dunia maya adalah organisasi-organisasi media lama. Materi berita mereka masih bisa dikatakan relatif lebih dapat dipertanggungjawabkan daripada isi berita dari portal-portal berita baru. Ini karena mereka lebih banyak makan asam garam di dunia jurnalisme.
Lain kasusnya jika media lama ini kemudian diintervensi oleh kepentingan pemilik modal di dalamnya. Secara otomatis, media lama semacam ini mesti dimasukkan ‘daftar hitam’. Sehingga bila kita ingin memastikan apakah sebuah berita di dunia maya benar atau tidak , kita bisa cek situs-situs berita media yang mapan dan sudah memiliki rekam jejak dan pengalaman yang lama. Jika ada di sana, artinya peluang berita yang Anda sebar adalah hoax lebih rendah. Namun demikian, kita juga mesti tetap waspada jika ada isi berita yang sengaja dilebih-lebihkan atau diberikan sorotan yang kurang proporsional agar mengaburkan kenyataan yang sebenarnya dan seutuhnya (sebab benar pun kalau tidak utuh bisa disalahartikan).
Ketiga ialah meneliti apakah ada banyak kesalahan ejaan (typo) dalam konten berita yang dimaksud, terutama jika itu adalah konten teks (artikel). Biasanya makin banyak typo yang ditemukan, makin tidak tepercaya juga isinya dan situs beritanya. Saya pernah menemukan sebuah artikel yang dengan sembrono dibagikan oleh kolega yang terdidik. Rupanya ia juga terjebak oleh judul yang bombastis dan mengukuhkan opininya sendiri soal seseorang atau suatu isu. Di dalam artikel, banyak dijumpai salah ejaan dan tipografi (gaya dan tampilan teks berita di sebuah situs berita) juga acak-acakan. Lain dari penataan situs yang lebih mapan, yang cenderung lebih rapi dan dibuat dengan pertimbangan matang.
Keempat ialah menemukan ada tidaknya nama (atau setidaknya inisial) reporter atau penyunting (editor) yang bertanggung jawab atas berita yang diunggah di situs tersebut. Selain itu, cari tahu juga di halaman “About” atau “Tentang Kami”, yang isinya mengenai seluk beluk situs daring tersebut. Siapa saja orang-orang di meja redaksinya? Bagaimana dan kapan mereka berdiri? Siapa pemilik dan pemegang sahamnya (karena ini sangat menentukan sikap mereka pada isu-isu tertentu)?
Berada dalam grup bisnis apa situs berita itu? Siapa pimpinan redaksinya? Dan juga carilah alamat kantor redaksinya. Ini sangat penting karena dengan mencantumkan alamat yang jelas dan nyata, mereka akan berpikir lebih panjang jika akan menyebarkan berita bohong atau yang tidak objektif. Media yang mencantumkan alamat resmi redaksinya bisa dikatakan patut diapresiasi karena itu sudah menjadi satu langkah berani. Jika ada sesuatu yang terjadi, citra mereka akan buruk di masyarakat dan aparat bisa langsung mendatangi kantor dan menciduk mereka jika ada aduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dari berita bohong yang disebarkan. Belum lagi risiko keselamatan jiwa yang dihadapi jika ada teror dari pihak-pihak yang berseberangan.
Kelima ialah bagaimana situs berita itu menggambarkan pihak lain dan mencoba meluruskan jika memang ada yang kurang benar. Jika situs itu menggambarkan pihak lain (baca: lawan) sebagai pihak yang 100 persen jahat atau patut dibasmi, Anda mesti waspada. Ini ciri berita bohong dan situs media abal-abal. Begitu juga sebaliknya jika Anda menjumpai berita yang isinya mendewa-dewakan satu pihak saja. Di dalam situs berita bohong, cuma ada hitam dan putih. Itu saja. Padahal di realita, tidak semudah itu.
Keenam ialah kewajiban untuk jeli memilah berita dari konten kehumasan (PR). Berita objektif berbeda dari artikel yang dibuat oleh staf humas sebuah korporasi. Berita objektif cenderung netral, tidak memihak dan menyuguhkan keterangan pihak-pihak yang bersangkutan dengan sebuah isu yang diberitakan. Sementara itu, konten kehumasan biasanya bersifat mengelu-elukan, mengunggulkan satu pihak saja. Tidak ada atau sedikit sekali unsur kritis dalam konten kehumasan sejenis ini.
Ketujuh ialah meneliti jika konten itu sangat memancing Anda untuk membagikannya di media sosial. Makin gatal Anda merasa untuk menyebarkannya setelah membaca (bahkan hanya dengan membaca judulnya saja), makin besar potensi berita itu hoax.
Kedelapan, apakah berita itu memiliki nada tajam dan penuh penghinaan pada satu pihak? Berita yang tendensius dan menempatkan satu pihak sebagai inferior, orang yang lebih rendah harkat dan martabatnya, atau lebih bodoh dan menjijikkan besar kemungkinan masuk dalam kategori hoax.
Kesembilan ialah monopoli atas fakta. Ketahuilah bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang bisa memonopoli fakta. Jika sebuah berita mengklaim apa yang disajikannya sebagai fakta dan berita di sumber lain sebagai fitnah semata, di situ Anda mulai harus berpikir cerdas.
Kesepuluh ialah status nonpartisan. Ini sangat berlaku dalam masa-masa pemilihan jabatan publik atau pemilu. Semakin ngotot sebuah media berkata dirinya bukan situs partisan, biasanya kenyataannya adalah sebaliknya.
Kesebelas ialah dengan meneliti apakah situs berita itu cuma menulis ulang berita dari sumber-sumber lain atau mereka juga melakukan peliputan sendiri? Jika Anda menemukan berita di sebuah situs yang beritanya kebanyakan diperoleh dari sumber lain yang lebih mapan dan besar, dan beritanya juga sedikit atau bahkan tidak ada yang bersifat analisis dan mendalam (alias cuma artikel-artikel pendek 200-300 kata sebagai pemuas dahaga pengunjung akan informasi semu), bisa jadi itu cuma situs berita palsu. Biasanya juga artikel-artikel itu dikemas dengan judul yang berlebihan, hiperbola dan memicu orang mengklik dan membagikan. Inilah yang namanya ‘click bait’. Tujuannya agar orang mau datang ke situs itu dan menaikkan pendapatan iklannya. (*)
P.S.:
Tulisan ini juga ditayangkan di blog pribadi penulis akhlis.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H