Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Money

Kreasi Digital Akan Antar Indonesia jadi Negara Adidaya

23 November 2016   12:56 Diperbarui: 28 November 2016   10:05 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

SELAMA enam tahun ini, saya menyaksikan adanya sebuah euforia yang membahana dari Jakarta hingga ke berbagai daerah di pelosok nusantara berkat kehadiran Facebook dan Twitter. Anak-anak muda makin banyak yang tertarik dengan startup digital. Tiba-tiba menjadi entrepreneur digital seolah menjadi cita-cita baru yang lebih ‘keren’ dari cita-cita konvensional seperti keinginan menjadi insinyur, dokter, pegawai negeri, dan sebagainya. Hal ini tentu saja meggembirakan karena bangsa ini dikenal dengan jumlah populasi mudanya yang melejit, hampir tak terkendali. 

Sayangnya, kanal-kanal penampung tenaga kerja baru ini sudah luber semua. Kemungkinan meningkatnya angka pengangguran pun tidak terelakkan. Namun, kemunculan hasrat menjadi entrepreneur digital di tengah kalangan muda bisa menjadi alternatif untuk menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja baru dengan produktivitas dan semangat berkarya yang sangat tinggi ini. 

Perlahan-lahan tren membuat startup digital tidak cuma terjadi di pusat kegiatan ekonomi Indonesia seperti Jakarta dan kota-kota besar di Jawa tetapi juga sampai ke sejumlah kota di luar Jawa. Dari lomba membuat business plan sampai ‘kencan kilat’ (speed dating) antarentrepreneur digital dan investor potensial, kita dapat saksikan adanya geliat di sektor anyar ini. Di sisi lain, makin banyak juga korporasi dan lembaga baik pemerintah dan swasta yang ikut serta dalam upaya-upaya mendorong kreativitas generasi muda di industri yang masih sangat baru ini.

Tantangan Pola Pikir Kolot

Akan tetapi, semuanya masih terkesan berjalan sendiri-sendiri. Sepanjang pengamatan saya, belum ada upaya yang benar-benar terpadu dan terintegrasi antara berbagai pemangku kepentingan untuk membangun negeri dengan kreasi digital dengan membantu menciptakan sebuah pusat kreasi digital terpadu, layaknya Silicon Valley di Amerika Serikat sana. Pemerintah meski sudah berada di rezim baru yang dikenal lebih gesit masih menunjukkan kelambanannya untuk bergerak menanggapi perkembangan pasar sementara para entrepreneur dan pasar tidak bisa berdiam sendiri. Mereka terus bergerak meski harus ‘bergerilya’. 

Beberapa berhasil melejit hingga dikenal oleh pelaku industri digital di mancanegara. Ambil contoh  startup jejaring sosial asli Indonesia, Koprol, yang pernah dibeli Yahoo (meskipun akhirnya harus dilepas lagi karena Yahoo mulai sekarat). Dan kalangan awam masih buat mengenai tren startup digital. Go-Jek pun menjadi satu ikon yang mewakili tren baru ini.

Saya pernah bertemu dengan sejumlah entrepreneur muda. Beberapa dari mereka memang menekuni dunia startup ini sebagai mata pencaharian utama tetapi masih lebih banyak lagi yang menekuni startup sebagai pekerjaan sampingan saja. Dan selama bertahun-tahun tetap saja demikian, karena mereka dituntut oleh lingkungan (keluarga, masyarakat) agar memiliki sebuah pekerjaan utama yang stabil. Startup yang baru dan lincah memang bagus untuk menyalurkan ide-ide segar yang tidak bisa diwujudkan dalam sebuah korporasi besar dan mapan tetapi kaku dan lamban. Tetapi dalam segi kemapanan finansial, para pelaku startup harus mengakui kekurangannya. 

Dan masyarakat kita belum bisa memahami dan memaklumi mereka yang seolah tidak memiliki pekerjaan tetap (alias pergi ke kantor setiap hari kerja dengan memakai seragam dan pakaian formal), terutama masyarakat Indonesia di daerah-daerah yang umumnya masih kolot soal konsep kerja yang mapan.

Apa yang masih terjadi ialah banyak orang tua masih tidak membolehkan anak-anak mereka menjadi entrepreneur begitu mereka lulus dari sekolah. Kalian harus bekerja di perusahaan atau pemerintahan, begitu mungkin kira-kira pesan mayoritas orang tua Indonesia.

Pola pikir semacam ini tentunya kurang mendukung perkembangan dunia startup digital kita. Padahal mereka – kelompok baby boomers yang dibesarkan dengan kondisi ekonomi stabil -- tidak tahu bahwa tatanan ekonomi dunia sedang mengalami pergeseran. Korporasi-korporasi besar global, contohnya Lehman & Brothers, tidak sekokoh yang mereka kira. Bahkan jika ada yang masih berpikir menjadi PNS itu pekerjaan termapan di dunia, ketahuilah bahwa sebuah pemerintahan pun bisa bangkrut dan kebangkrutan itu memicu krisis keuangan nasional dan regional (lihat saja kasus Yunani).

Kebanyakan masyarakat Indonesia juga masih mencap mereka yang bekerja sebagai entrepreneur sebagai pengangguran. Ini pemikiran yang salah besar! Anak-anak mereka dibesarkan dengan dogma bahwa menjadi pegawai adalah sebuah kebanggaan, sehingga tidak ada alternatif lain bagi mereka, bekerjalah dalam sebuah entitas yang mapan dan pasti daripada bekerja secara mandiri dan menciptakan lapangan kerja untuk sesama. Hal ini ditambah dengan sikap menghakimi mereka yang gagal dalam upaya menjadi entrepreneur digital sebagai pecundang. Ini memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat kita yang masih menganggap kegagalan adalah sebuah aib daripada sebuah batu loncatan menuju kesuksesan.

Memang saya akui masih banyak tantangan yang lain terkait dengan perkembangan dunia startup digital di Indonesia. Tetapi jika dirunut akarnya, saya menemukan dua tantangan utama ini. Jika tantangan berupa pola pikir dan sikap yang konservatif mengenai konsep kerja ini sudah disingkirkan dalam benak masyarakat Indonesia, saya sangat optimis makin banyak orang yang mau menjadi entrepreneur dan bahkan menganggap pekerjaan itu sebagai sebuah profesi yang tidka kalah bergengsi sebagaimana profesi-profesi lain yang sudah dikenal dalam masyarakat kita.

Mengapa Startup Digital?

Bisa Anda semua amati bahwa sejauh ini ekonomi Indonesia lebih banyak digerakkan oleh sektor sumber daya alam tak terbarukan seperti minyak dan gas alam serta dari sektor sumber daya alam terbarukan. Ekonomi kita sangat mengandalkan pemasukan dari sektor-sektor ini. Akibatnya kita sudah tahu. Kelestarian lingkungan yang semestinya menjadi sebuah warisan yang dijaga malah diobrak-abrik. Ironisnya, perusakan dan eksploitasi besar-besaran yang melampaui batas itu tidak hanya dilakukan oleh orang kita sendiri tetapi juga pihak asing yang sudah berkonsolidasi dengan oknum dalam sendiri.

Industri digital membuka sebuah gerbang peluang baru. Mereka lebih berfokus pada manusia, sumber daya yang terlupakan untuk digarap di Indonesia (sampai bangsa ini saja dicap memiliki kualitas pendidikan terendah di kawasan Asean). Dengan menggarap dan meningkatkan mutu sumber daya manusia, kita bisa menemukan cara-cara kreatif untuk menghasilkan pemasukan bagi negara tanpa harus banyak menyedot kekayaan alam. Hanya karena negeri kita memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, bukan berarti kita bisa semena-mena menghabiskan dan bermanja-manja seolah sudah hidup di surga. Surga semu ini terbukti sudah membuat kita sebagai bangsa yang mudah berpuas diri dan  akhirnya terpuruk dan terbelakang. Yang menggelikan lagi, begitu dijadikan pasar oleh pelaku industri asing, baru merasa terhina, gusar dan marah. Padahal, semua itu dari sikap kita sendiri sebagai bangsa yang kurang bervisi ke depan.

Untuk bisa menjadi bangsa yang bervisi ke masa datang, kita harus membuka mata bahwa sekarang komoditas yang termahal bukanlah kayu, emas, perak, timah, dan sebagainya. Tetapi yang makin mahal dan lebih dihargai sekarang ialah ide, gagasan, informasi dan data. Jadi, mau sampai kapan bangsa ini hanya mengandalkan pemasukan dari sektor SDA-nya?

Jika kita cermati, bisa disaksikan bahwa startup-startup digital memegang peran penting dalam ekonomi sebuah negara. Mereka mewakili ide-ide alternatif yang segar dan belum pernah terpikir sebelumnya. Dan ide-ide inilah yang bernilai tinggi sekarang.

Kehadiran startup digital dalam sebuah bangsa bisa menjadi peluang untuk menggenjot perekonomian negara di masa kini dan mendatang. Saya ambil contoh India. Negara asal tokoh besar Mahatma Gandhi itu melakukan reformasi pada tahun 1991 pada industri teknologi informasinya. Dan sejak itu, mereka melesat cepat. Dengan dukungan faktor-faktor lain, entrepreneurship digital di sana bangkit. Dengan kebangkitan entrepreneurship itu, India yang memiliki bonus demografi yang tinggi (berupa banyaknya orang berusia produktif yang trampil, masih muda dan giat bekerja) mampu mengubahnya menjadi sebuah aset bangsa daripada menjadi beban (karena jika tidak termanfaatkan dengan baik, orang-orang muda di usia produktif bisa menjadi pengangguran yang membebani bangsa dan negara).  Dengan semua aset ini dan ditambah dengan entrepreneurship di bidang digital, India diramalkan akan menjadi negara maju dalam 10 sampai 15 tahun lagi.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai sebuah negara berkembang dengan segudang potensi untuk menjadi negara adidaya, kita juga sebenarnya memiliki kondisi yang kurang lebih sama dengan India. Tetapi apakah kita mau menggunakan potensi itu secara maksimal dan keluar dari zona nyaman ini? Jawabannya ada pada diri kita. (*)

Facebook: Akhlis Purnomo

Twitter: @akhlis27

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun