Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Umat Muslim Terbelakang dalam Perkembangan Sains Modern?

19 November 2016   16:27 Diperbarui: 19 November 2016   17:06 8511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEBANYAK kurang lebih 41 persen negara-negara mayoritas Muslim (20 persen dari populasi dunia) berkontribusi kurang dari 5 persen pada perkembangan sains modern. Sementara itu, kita ambil satu negara mayoritas non-Muslim sebagai contoh, Inggris. Negara ini populasinya cuma kurang dari 1 persen dari populasi dunia tetapi mampu menyumbangkan 16 persen pada perkembangan sains modern. Suatu ketimpangan yang menyakitkan jika Anda seorang yang mengaku Muslim.

Indikator lain yang bisa mengukuhkan ketertinggalan itu ialah bahwa hanya ada tiga orang pemenang Anugerah Nobel sampai saat ini dalam bidang sains. Mereka adalah Abdus Salam, Ahmed Zewail dan Aziz Sancar. Padahal jumlah total pemenang Nobel sudah ada lebih dari 600 orang. Artinya cuma 0,00005 persen dari daftar pemenang Nobel adalah Muslim. Ini menjadi sebuah fakta yang mengiris hati karena populasi Muslim dunia mencapai lebih dari 15 persen dari populasi dunia.

Mengapa umat Islam bisa begitu ketinggalan dalam hal sains? Ada apa dengan para ilmuwan Islam saat ini?

Jika kita mau membaca lagi catatan sejarah, prestasi sains umat Muslim memang dahulu cemerlang sekali. Bahkan konon sampai melebihi pencapaian peradaban Barat ( Kristen Eropa). Muslim mendominasi perkembangan sains dunia semasa tahun 800 Masehi sampai sekitar 3 abad kemudian. Umat Muslim saat itu menikmati kemajuan sains, ekonomi dan budaya yang mengagumkan di bawah pemerintahan kalifah Harun al-Rashid (786-809 Masehi) hingga beberapa kalifah setelahnya. Inilah yang disebut sebagai Masa Kejayaan Islam. Masa ini berakhir setelah kalifah Abbasid ditaklukkan Mongol dan direbutnya Baghdad pada tahun 1258 M. Menurut Wikipedia, sejumlah cendekiawan sepakat bahwa akhir masa ini ialah akhir abad ke-15 sampai abad ke-16 M.

Apa yang terjadi kemudian ialah keruntuhan dari dalam diri umat Muslim itu. Faktor-faktor pendorong kemunduran itu misalnya ialah tingkat korupsi yang merajalela dalam pemerintahan negara-negara mayoritas Muslim. Para politisi dan pemerintah negara-negara mayoritas Muslim bukan penggemar sains. Mereka – meskipun tidak semua - berpolitik hanya demi kekuasaan dan kekayaan. Perkembangan negara apalagi umat bukan prioritas utama. Kita semua tidak usah mencari contoh jauh-jauh ke negara lain. Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia sudah menjadi contoh yang memalukan soal korupsi.

Faktor lain yang menjadi penyumbang kemunduran sains umat Muslim ialah karakteristik-karakteristik pendidikan masyarakat Muslim yang kurang tanggap terhadap perkembangan zaman. Konservatisme dalam segala lini pendidikan mereka yang sudah mengakar membuat umat Muslim sangat sukar mengembangkan sains. Akibat dari pendidikan yang terbelakang ini ialah kualitas pendidikannya yang juga lebih rendah, yang pada gilirannya menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu menyedihkan. Ditambah dengan ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat Muslim pada perkembangan pendidikan, peningkatan sains di negara-negara Muslim sudah bukan prioritas utama.

Indonesia sudah menjadi bukti nyata dengan menjadi raksasa paling pandir di kawasan Asia Tenggara (baca: Kualitas Pendidikan Indonesia Terendah di ASEAN). Rendahnya mutu pendidikan dalam negara-negara Muslim membuat manusia-manusia cerdas di dalamnya harus belajar ke Barat demi melanjutkan proses studi mereka. Karena itulah, mayoritas kampus Inggris dan AS mampu menghasilkan kontribusi sains yang besar. Itu karena mereka juga diperkuat oleh sumber daya manusia unggul dari berbagai negara termasuk negara-negara Muslim. Masalah kualitas pendidikan yang memprihatinkan ini menjadi pekerjaan rumah yang maha besar bagi umat Muslim saat ini dan sampai saat ini rasanya belum ada upaya berkesinambungan dan masif untuk mencapai tujuan tersebut.

Hal lain yang juga ikut menghambat perkembangan sains dalam peradaban Muslim ialah fakta bahwa produksi sains di tengah umat Muslim cuma diperuntukkan dalam lingkaran elit saja. Dan orang-orang di dalam kelompok eksklusif ini cuma segelintir saja dibandingkan umat yang begitu melimpah ruah. Padahal jika ingin lebih cepat maju dan perkembangan tercapai lebih mantap, seharusnya semua elemen Muslim kompak dan bersatu dan memajukan sains bersama-sama tanpa mempedulikan sekat elitisme.

Faktor lainnya ialah penindasan kaum perempuan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Barat sebetulnya. Tetapi dengan adanya sejumlah faktor lain, pengekangan kaum Hawa dalam menuntut ilmu yang setara dengan laki-laki ikut membuat perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan Muslim mandek. Mereka lupa bahwa wanita-wanita juga tiang umat. Kaum Hawa ialah pemberi pendidikan anak-anak mereka yang pertama dan utama. Di sinilah letak celah kelemahan penyebab kemunduran itu ada.

Faktor selanjutnya yakni dampak negatif dari penjajahan Barat di Asia. Sebagaimana kita ketahui, bangsa-bangsa mayoritas Muslim berada di Asia. Dalam masa penindasan Barat, bangsa-bangsa Timur yang didominasi Muslim seperti Indonesia juga mengalami kemandekan dalam perkembangan sainsnya. Sensor dan pelarangan karya-karya ilmiah dilakukan. Penerbitan dikekang. Penghancuran sejumlah tempat pendidikan yang didirikan Muslim juga bukan hal yang aneh semasa pendudukan kaum Kolonial Barat.

Faktor berikutnya yang tidak kalah siginifikan dalam menghambat perkembangan sains dalam umat Muslim ialah merajalelanya kemiskinan di negara-negara mayoritas Muslim. Kita ambil contoh Indonesia. Baru-baru ini Biro Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan Indonesia tahun ini mencapai 28,01 juta jiwa atau sebanyak 10,86 persen dari rakyat kita. Angka kemiskinan naik. Demikian juga tingkat kesenjangan ekonomi kita, yang sebelumnya 0,71 menjadi 0,79.

Karena membiayai perkembangan sains bukanlah perkara yang murah, bahkan amat sangat mahal, sementara sebagian besar negara muslim dunia masih terbelakang dan miskin atau masih berkembang, menjadikan sains sebagai prioritas (daripada pemenuhan kebutuhan pokok yang lebih vital seperti sandang, pangan dan papan) tampaknya konyol padahal investasi sains dalam jangka panjang sejatinya akan sangat menguntungkan. Tetapi itu teorinya.

Praktiknya? Orang akan menolak membaca buku apalagi belajar jika perut mereka masih lapar atau masih kebingungan harus tinggal di mana malam nanti. Kompleks memang masalahnya. Sementara itu, negara-negara Muslim lain yang lebih makmur seperti negara-negara di kawasan Teluk (Semenanjung Arab) yang kaya minyak bumi masih relatif muda usianya sehingga belum banyak memiliki lembaga penelitian kaliber dunia yang mumpuni dalam menelurkan inovasi-inovasi sains yang substansial.

Pola pikir yang turut membuat Muslim tidak membuat kemajuan berarti dalam dunia sains modern ialah konsensus atau kesepakatan bersama yang kuat bahwa peran agama ialah sebagai sebuah landasan berpikir yang konstan, absolut dan kaku. Sikap kritis terhadap agama ditolak, sehingga umat Muslim menjadi lebih eksklusif, tertutup dari perkembangan dunia luar. Seekor katak dalam tempurung kelapa, atau seekor ikan dalam gelas mungil. Pergerakannya terbatas. Tidak bisa ke mana-mana. Seperti itulah pengibaratan perkembangan sains dalam umat Muslim saat ini.

Alasan kemunduran sains itu juga diduga berasal dari upaya interpretasi sejumlah pihak atas karya Imam al-Ghazali (salah satu tokoh Muslim paling menonjol dalam perkembangan Islam sejak Rasulullah SAW sendiri). Interpretasi radikal itu memicu Muslim untuk menghapus sejumlah cabang sains yang dicap “tidak dikehendaki”. Salah satu tokoh bernama Hamid al_Ghazali bahkan pernah menyatakan bahwa matematika ialah “karya dari setan”. Pernyataannya itu amat berpengaruh dan membuat dampak yang besar bagi perkembangan ilmu tersebut di peradaban Muslim.

Alasan lainnya ialah karena menurut saya umat Muslim saat ini terlalu reaktif kegaduhan eksternal  dan ‘insecure’ (kurang percaya diri) mengenai dirinya sendiri dengan tersedot ke ranah politik. Mereka ingin sekali merebut hegemoni dunia dari Barat (baca:Kristen) sehingga sangat bernafsu mempertahankan kendali kekuasaan di berbagai lini. Tetapi sayangnya mereka lupa, bahwa hegemoni Barat itu dibangun tidak melulu dari aspek politik. Hegemoni itu dibangun dari berbagai bidang. Dan sains adalah salah satunya. Dan payahnya, sains merupakan salah satu di antara banyak celah kelemahan umat Muslim yang sebenarnya bisa menjadi kunci kebangkitannya tetapi kerap terlupakan. (*)

(Tulisan yang sama ditayangkan di blog pribadi penulis: akhlis.net)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun