Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

'Pemberontakan' yang Gagal (Sebuah Kisah Berbagi)

8 September 2016   18:35 Diperbarui: 8 September 2016   18:49 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagikan pengetahuan Anda. Itulah cara untuk mencapai keabadian.” - Dalai Lama XIV

Ada dua pilihan saat seorang anak tumbuh di sebuah lingkungan tertentu. Pertama, ia bisa meniru kemudian jatuh hati dengan suasana dalam lingkungan itu seterusnya hingga dewasa. Kedua, sejak kecil ia tahu begitu baik sisi luar dan dalam lingkungan tersebut lalu urung masuk lebih dalam dan memutuskan mencari dunia baru yang lebih menarik baginya.

Dibesarkan di lingkungan keluarga guru, saya sejak kecil selalu dibawa ke suasana kantor guru, ruang kelas, dan perpustakaan. Tapi anehnya tidak ada keinginan atau hasrat dari dalam diri saya untuk meneruskan jejak orang tua saya yang kebetulan dua-duanya mengabdi ke negara sebagai pengajar. Sebab saya pemalu, saya tidak pernah menginginkan tampil di depan, tidak peduli itu mereka yang saya ajar anak-anak, sebaya atau orang tua. Tetap saja berdiri dan berbicara di depan kelas itu sesuatu yang amat menakutkan. 

Menjelang akhir masa SMA, saya tetap tidak menghendaki menempuh jalur karier yang sama dengan orang tua saya dan memilih untuk memfokuskan diri belajar bahasa. Dalam benak saya, yang terpikir di masa depan ialah ingin bekerja sebagai pegawai kantor atau penulis. Mengajar tidak pernah terlintas sekalipun dalam impian.

Sepanjang 4 tahun menuntut ilmu di bangku kuliah, saya dengan antusias belajar sastra Inggris, sebuah subjek yang saya sedari dulu minati, tanpa paksaan dari siapapun. Maka saya tidak merasa terpaksa dalam belajar, kuliah, mengerjakan tugas. Semuanya terasa begitu mudah. Tidak ada yang membuat saya putus asa karena bara semangat belajar dan menjadi yang terbaik di antara yang lain itu terus terpelihara dalam dada.

Begitu saya lulus jenjang sarjana, ambisi saya pun menuju tingkat magister. Lagi-lagi saya menuju ke konsentrasi sastra Inggris. Tak ada salahnya, toh jika saya melintas ke disiplin ilmu lain, proses penyesuaian akan lebih lama. Saya lebih suka memperdalam apa yang sudah saya tekuni. Menjadi spesialis lebih seksi bagi saya daripada sekadar menjadi generalis yang bisa dan tahu apa saja tapi hanya di permukaan saja.

Di sini saya pun mulai menghadapi persimpangan, saya mulai harus mencari pekerjaan untuk turut membiayai pendidikan tinggi saya. Satu-satunya peluang kerja yang ada dan terbuka lebar ialah mengajar.

"Ah, kenapa harus mengajar?" saya memprotes dalam hati. Gundah karena merasa tidak mendapatkan pekerjaan yang saya idamkan, saya pun pasrah menerima posisi mengajar itu di sebuah kampus swasta di kota kelahiran. Saya membutuhkan uang dan peluang ini bisa memenuhi kebutuhan keuangan ini. 

Singkat cerita, saya mulai mengajar dan berhasil bertahan selama tujuh semester (3,5 tahun) di kampus tersebut. Studi S2 saya rampung dan tidak ada alasan lagi bagi saya untuk tetap bertahan. Saya tak sabar lagi menghirup udara kebebasan di luar dinding ruang perkuliahan yang terasa menghimpit. Dengan bekal gelar magister itu saya yakin saya bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih sesuai dengan minat saya. Saya sering berdoa agar pekerjaan idaman itu segera datang menghampiri.

Doa saya terkabul. Sebuah perusahaan memanggil saya ke kantornya. Saya pun sejak itu resmi menjadi bagian dari kerumunan bernama corporate slaves di ibukota. Akhirnya saya bebas dari pekerjaan mengajar!

Entah karena apa, meskipun sudah lepas secara formal dari dunia mengajar, saya seolah masih dibayang-bayangi profesi mengajar. Sebuah tawaran mengajar di kampus swasta lagi-lagi datang. Setelah sempat berpikir masak-masak, dengan pertimbangan mengisi waktu luang setelah bekerja dan menambah penghasilan, saya rasa tak ada salahnya menjalaninya. Tak ada tekanan. Jika saya tak suka, saya bisa mengundurkan diri kapanpun. Begitu tekad saya. Saya pun menjalani lagi profesi itu.

Jujur ada semacam kepuasan pribadi yang tidak bisa tergambarkan dalam mengajar. Itu mungkin karena saya bisa berbagi 'kekayaan' saya yang tidak seberapa. Dan berbagi membuat diri saya lebih berarti. Saya berangsur sadar saya memiliki self-worth atau nilai diri di lingkaran orang-orang terdekat saya. Kadang saya menyadari bahwa perlahan-lahan pekerjaan mengajar yang saya lakoni itu memupuk kepercayaan diri saya. Kemampuan berbicara di depan umum saya dulu begitu buruk selama masih menjadi pelajar. Saat berada di kelas, saya mendadak harus berubah menjadi sesosok guru yang dihormati, dituruti kata-katanya serta dijadikan teladan setiap tindak-tanduknya. 

Saya pikir lebih dalam lagi, 'pemberontakan' saya untuk keluar dari dunia mengajar yang digeluti orang tua saya terasa lebih berat. Namun, kali ini bukan karena saya sekuat tenaga menolaknya tapi karena saya mulai merasa jatuh cinta padanya.

Walaupun akhirnya saya memutuskan untuk tidak bisa mengajar lagi di kampus, ternyata saya masih terus terpanggil untuk berbagi pengetahuan saya dalam jalur lain yang saya tidak pernah terpikir sebelumnya. 

Jalan takdir mengantarkan saya ke dunia yoga 6 tahun lalu. Saya mulai mengenal yoga di komunitas Yoga Gembira di Taman Suropati, Menteng, kemudian makin menekuninya karena terpikat dengan manfaat kesehatannya. 

Dan lagi-lagi saya seperti digiring ke jalur yang sama lagi: mengajar. Saya pun masuk dalam pelatihan mengajar yoga tiga tahun lalu. Ilmu yang saya dapatkan terasa masih sedikit sehingga saya merasa masih terlalu 'hijau' untuk mengajar orang lain apalagi dalam sebuah kelas besar. Membayangkannya saja saya sudah bergidik.  

Tapi sekali lagi, saya merasa ada sebuah dorongan alami yang tidak lagi bisa saya bendung untuk berbagi sekecil apapun yang saya ketahui meskipun secara formal saya bukan pengajar dalam sebuah lembaga resmi. Sekali lagi saya tak kuasa untuk menolak dan luluh.

Tahun 2014 saya mulai mendapatkan tawaran mengajar yoga. Tawaran itu tidak datang dari orang yang saya sudah kenal. Justru tawaran itu datang dari orang yang sama sekali asing dan tidak berasal dari negeri ini. Ia seorang ekspatriat, eksekutif tertinggi di sebuah perusahaan maskapai penerbangan yang telah bangkrut sekarang. Saat saya membalas surelnya saya juga bertanya dari mana ia bisa tahu saya, jawabnya begini:"Saya tahu Anda dari blog." Sejak tahun 2009, saya memang sudah gemar menulis di blog pribadi. Dan begitu saya mempelajari yoga, saya juga mulai menuliskan sejumlah artikel dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tentang seluk beluk yoga. Dari situ saya sadar bahwa berbagi ternyata tidak hanya bisa dari aktivitas tatap muka seperti mengajar tetapi juga bisa dari menulis blog. 

Kisah 'pemberontakan' saya dari dunia mengajar formal mungkin termasuk sukses karena saya sudah lepas dari posisi mengajar di kampus atau lembaga formal manapun. Namun, semangat berbagi itu ternyata tidak padam dan diredam dengan mudah. Saya memang tidak lagi mengajar di ruang kelas, di depan para siswa dan mahasiswa. Akan tetapi, saya masih terus bisa berbagi dengan menyebarkan pengetahuan saya tentang yoga di alam terbuka seperti sekarang saat saya mengajar yoga di taman-taman kota sembari terus menuliskan pengalaman dan pengetahuan saya di berbagai media agar tetap bisa berbagi dengan semua orang melalui dunia maya. 

Kembali pada pilihan-pilihan saat seorang anak tumbuh di sebuah lingkungan tertentu yang saya bahas di awal tulisan singkat ini, saya pikir saya perlu menambahkan satu lagi. Pilihan ketiganya ialah biarkan anak itu menemukan jalannya sendiri meskipun itu artinya menolak mati-matian. Untuk itu, saya sangat berterima kasih pada kedua orang tua saya yang begitu demokratis. Ini sebuah kemewahan bagi saya karena sepanjang mengajar itu saya juga dihadapkan dengan begitu banyak anak muda yang saya ajar yang tidak memiliki kemewahan ini. Mereka dipaksa orang tua mereka untuk memasuki jurusan ini sehingga tidak aneh mereka tidak bisa menikmatinya. 

Karena itu, jika kita ingin anak kita atau orang lain menjadi pribadi yang suka berbagi, bebaskanlah mereka memilih hal-hal yang mereka sukai asalkan masih positif dan bermanfaat. Sebab berbagi itu harus ikhlas dari hati, bukan dari jiwa yang menderita karena terpaksa. (Foto: Dok. pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun